Berbeda untuk Saling Mengenal, Menerima dan Menghargai

Diposting pada 61 views

Kesadaran untuk saling menghargai dan menerima perbedaan perlu ditanamkan sejak dini. Bagi negara plural seperti Indonesia, permasalahan akibat adanya perbedaan merupakan sebuah keniscayaan. Keutuhan suatu negara bergantung pada sikap yang diambil dalam menghadapi permasalahan dalam kehidupan yang penuh keberagaman, apakah mampu menjadikannya sebuah kekuatan yang unik, atau malah justru menjadi pemecah belah.

Pemikiran untuk menyatukan keberagaman telah menjadi semboyan bangsa Indonesia—Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kondisi globalisasi, semboyan ini sangat relevan diterapkan untuk membangun kerjasama antarnegara. Keberagaman yang sering menjadi sorortan ialah terkait suku, ras, dan agama. Agama menjadi salah satu hal yang paling sensitif dan sering diperdebatkan. Isu terorisme yang dikaitkan terhadap agama atau kelompok tertentu menimbulkan prasangka dan stereotip. Salah satu contoh akibat stereotip ini adalah Islamophobia.

Era informasi digital membuat semua orang dapat menyebarkan berita tanpa mempertimbangkan kelayakan berita tersebut untuk disebarluaskan. Berita mengenai terorisme yang dikaitkan pada agama Islam di Indonesia juga menjadi sorotan masyarakat global, terlebih Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Islam terbanyak di dunia. Usaha yang dapat dilakukan untuk menghapus stigma Islam identik dengan teroris dan image intoleransi di Indonesia adalah dengan mengadakan dialog antarnegara.

Pada pertengahan Maret 2019 di Bandung, Indonesia dan Australia mengadakan Dialog Lintas Iman. Delegasi dari kedua negara memiliki latar belakang etnis dan agama yang beraneka ragam. Saya berkesempatan menjadi salah satu peserta aktif dari kalangan pemuda, khususnya dari kalangan santri. Rangkaian acara yang dibuka oleh Bapak Cecep Herawan, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik dan Duta Besar Australia H.E. Gary Francis Quinlan AO. Kegiatan ini terdiri dari tiga sesi yaitu sesi “Demokrasi, Agama, dan Pluralisme”, kemudian sesi “Kebebasan Berpendapat: Menyebarkan Pesan Perdamaian dan Melawan Penyalahgunaan Media” dan ditutup dengan “Mengatasi Masalah: Memperkuat Kerja Sama dan Mengajukan Kebijakan menuju Masyarakat yang Inklusif.”

Secara keseluruhan rangkaian acara ini membuka lebih luas pengetahuan mengenai filosofi ajaran antaragama dan mencari titik temu yang dapat menyatukan perbedaan. Tentu telah dipahami bahwa semua ajaran agama mengajarkan kebaikan dan kedamaian. Hal yang menjadi pemicu konflik terkadang datang dari pribadi atau sekelompok orang yang memiliki kepentingan pribadi mengatasnamakan agama. Pendidikan merupakan salah satu aspek penting untuk memahamkan bahwa perbedaan merupakan hal yang wajar dan bukan untuk dipermasalahkan. Dalam Islam sendiri telah disebutkan dalam Al-Quran bahwa Allah memang berkehendak untuk membuat manusia menjadi berbagai macam golongan untuk saling mengenal. Ide mengenai pendidikan agama yang tidak hanya mempelajari agama yang dianut juga diperbincangkan dalam forum ini. Hal ini bertujuan untuk memberi pemahaman bahwa penganut agama lain bukanlah musuh. Bila dikaitkan dengan prinsip ukhuwah wathaniyah (persaudaraan bangsa) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan umat manusia), hal ini merupakan upaya menjaga persatuan bangsa Indonesia dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Selain itu, memaparkan perbedaan antaragama, menerima dan mengetahui cara menghargainya, serta mencari persamaan untuk dicapai demi kepentingan bersama juga merupakan upaya mencapai kalimatun sawa (titik temu) guna menghindari konflik dan perpecahan.

Baca Juga:  Bahaya Tidur di Pagi Hari

Arus informasi digital perlu diimbangi dengan penyaringan informasi. Banyak berita palsu atau sering disebut hoaks yang rentan menjadi pemicu konflik. Kembali lagi dalam prinsip ajaran dalam Islam yang mengajarkan tabayyun (konfirmasi). Dalam forum ini juga dijelaskan pentingnya untuk tidak menyebarkan berita negatif. Meski berita tersebut merupakan sebuah fakta, tapi kita bisa menyikapi dengan lebih bijak untuk menghentikan arus informasi yang memicu kebencian.

Selain berdialog dengan panelis, diadakan pula screening film Da’wah karya Italo Spinelli yang mengisahkan pengalaman para santri di Daarul Lugoh Wa Da’wah di Bangil, Pasuruan. Film ini dibuat sebagai salah satu media untuk menghapus Islamophobia di Eropa, kemudian film ini ditayangkan dalam festival film di Roma. Dalam film ini disisipkan pesan bahwa Islam merupakan agama yang damai dan anti terhadap kekerasan. Digambarkan kehidupan santri yang bersifat kolosal dan membutuhkan sikap saling menghargai dan saling menjaga kerukunan. Salah satu tanggapan dari delegasi Australia adalah mereka terkesan dengan kehidupan pesantren yang bersifat serba komunal dengan segala kesederhanaannya. Hal ini merupakan salah satu cara untuk melatih sikap menghadapi perbedaan dalam keragaman. Ada pula pertanyaan apakah di pesantren hanya diajarkan mengenai agama saja, tanpa memberikan ilmu sains dan sosial seperti pada sekolah umumnya. Melalui perbincangan makan siang, saya berusaha menjelaskan sedikit lebih detail mengenai jenis-jenis pesantren di Indonesia dan menekankan bahwa kami juga diajarkan untuk mengikuti perkembangan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai kerendahan hati dan kesederhanaan, karena pada hakikatnya dunia hanyalah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih kekal di akhirat.

Kegiatan ini ditutup dengan kunjungan ke kampung toleransi bernama Gang Ruhana dan Masjid Tionghoa bernama Masjid Lautze. Gang Ruhana merupakan salah satu kawasan di Bandung yang terdapat gereja, masjid, dan vihara yang berimpitan. Bangunan ini tidak sengaja dibangun demi menciptakan image kerukunan, namun terjadi secara alami tanpa dibuat-buat. Penduduk setempat telah terbiasa menjalankan kehidupan sosial bersama tanpa saling terganggu dengan kegiatan ibadah masing-masing. Destinasi selanjutnya adalah Masjid Lautze. Masjid ini diinisiasi oleh Muslim Tionghoa. Namun pada perkembangannya, masjid ini dikelola dan mendapat dukungan bantuan dari berbagai macam etnis dan agama. Masjid ini menerapkan kosep “open mosque” di mana siapapun boleh datang untuk mempelajari agama Islam maupun melakukan diskusi terkait kegiatan sosial. Masjid ini juga mengelola dana bakti sosial yang disalurkan dari berbagai macam donatur dengan latar belakang etnis dan agama yang beragam kepada kaum dhuafa’.

Baca Juga:  Workshop Literasi Finansial dalam OSPEP 2019

Oleh: Afifa Naila