Covid-19: Pentingnya Pilah Informasi agar Tak Jadi Ahli Dadakan

Diposting pada 23 views

Di tengah kondisi menghadapi pandemi, wajar apabila manusia mengalami kecemasan. Berbagai himbauan, baik yang bernada halus hingga yang bernada ancaman, bertebaran di media sosial. Masyarakat mengalami semacam kegugupan. Ketika pemerintah belum mengumumkan kasus positif Covid-19, masyarakat sudah berbondong-bondong menyetok berbagai barang yang sekiranya bisa melindungi diri dan keluarga mereka dari ancaman penyakit tersebut.

Berbagai himbauan dikeluarkan pemerintah, dari rajin mencuci tangan dengan handsanitizer atau sabun, memakai masker, menjaga pola makan dan hidup, tidak keluar rumah, menghindari kerumunan dan lain sebagainya. Sekolah dan universitas hingga tempat ibadah ditutup. Semua berbondong-bondong menghalau laju penyebaran virus. Meskipun masih banyak yang tidak mengindahkannya bahkan menolaknya.

Sebenarnya selain virus itu sendiri ada juga yang tidak kalah berbahaya, bahkan bisa berdampak lebih parah. Apakah itu? Yakni munculnya para ahli baru di bidang kesehatan, pervirusan, perekonomian, hingga pemerintahan. Ahlun-ahlun yang bersifat ndadak ini tentu tidak semua berbicara atas dasar otoritas keilmuan yang sesuai dengan apa yang dibicarakan. Anehnya, masih ada juga sekelompok masyarakat yang mengindahkan bahkan mengagungkannya.

Para ahli baru ini berbicara kepada umat mengenai banyak hal, tak jarang apa yang dibicarakan bertentangan dengan seorang yang memang memiliki keahlian dalam bidang tersebut. Menjadi ahli baru merupakan ancaman bagi semua orang, apalagi di tengah kemajuan teknologi dan  informasi, kita dengan mudah menemukan berbagai informasi, tak terkecuali informasi mengenai bahaya dan penyebaran virus corona ini. Dengan berbekal pengetahuan seadanya, kita bisa menjadi ahli dadakan bagi orang-orang di sekitar kita.

Menjawab semua pertanyaan, terlebih tanpa dasar keilmuan yang mumpuni adalah tanda kebodohan. Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam kitab Al Hikam menyatakan: 

من رايته مجيبا عن كل ما سئل ومعبرا عن كل ما شهد وذاكرا كل ما علم فاستدل بذلك على وجود جهله

Beberapa bentuk dari kebodohan adalah ketika seseorang itu menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepadanya, menceritakan semua yang ia lihat, dan menyebutkan semua hal yang diketahui. Mengapa orang tersebut dikatakan bodoh? Karena jika ia berilmu, tentunya ia mengetahui bahwa untuk menjawab suatu pertanyaan haruslah didasari oleh suatu keilmuan yang sesuai dengan bidangnya. Sementara keilmuan yang dimiliki manusia sifatnya terbatas.

Baca Juga:  Hukum Menggunakan Hand Sanitizer untuk Salat

“Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (Q.S. Al-Isra’, (17):85)

Sebelum menjawab pertanyaan sepertinya kita harus mengetahui beberapa hal yang sudah dijelaskan dalam kitab Al Hikam. Pertama, menjawab pertanyaan harus disertai dengan ilmu yang mumpuni dalam bidangnya. Jika tidak memilikinya, cukup katakan tidak tahu. Atau jika mengetahui sedikit saja, maka gunakan isyarat, jangan gunakan kata-kata.

Kedua adalah kemampuan untuk memahami orang yang bertanya. Sebelum menjawab hendaknya kita mengetahui jawaban apa yang tepat untuk diberikan kepada penanya tersebut. Kondisi penanya memungkinkan kita untuk memilih redaksi yang tepat agar ia mudah memahami dan meminimalisir kekeliruan, apalagi jika jawaban itu akan ia sebar kepada yang lain, tentunya bahaya dari kesalahpahaman tersebut semakin luas.

Ketiga, kegunaan untuk mengetahui siapa yang bertanya adalah untuk mengetahui apakah pertanyaan tersebut layak ditanyakan. Tidak semua pertanyaan layak ditanyakan dan tidak semua orang patut menanyakan hal tersebut. Jika kita tetap saja menjawabnya, maka itu juga disebut sebagai kebodohan.

Keempat, perlunya untuk memilah-milah pertanyaan yang ditanyakan. Tidak semua pertanyaan harus dijawab, sekalipun kita berposisi sebagai guru, ustaz atau pemerintah. Karena untuk menjawab, kita juga harus memilah mana ilmu yang tepat untuk menjawab pertanyaan tersebut. Tentunya ada saja kemungkinan bahwa ilmu yang kita miliki tersebut tidak layak untuk menjawab pertanyaan atau ilmu tersebut tak layak untuk diberitahukan kepada khalayak.  Jika tetap saja dipaksakan, maka akan membawa bahaya serta kerusakan bagi si penanya maupun masyarakat.

Salah satu sahabat Rasulullah Saw, Abu Huraira ra. berkata, “Aku mendapatkan dua kantong ilmu dari Rasulullah. Satu kusebarkan ke seluruh manusia dan satu lagi tidak kusebarkan. Sekiranya kusebarkan juga satu kantong ini, pasti kalian akan menggorok leherku ini”

Seorang Abu Hurairah, sahabat yang banyak meriwayatkan hadis tidak serta merta mengeluarkan semua ilmunya untuk menjawab pertanyaan. Ada beberapa hal yang merupakan rahasia yang seharusnya disimpan dan tidak disebarkan. Rahasia adalah amanah, dan amanah tidak boleh dikhianati. Selain itu ada juga beberapa pengalaman yang tergolong dapat dipahami melalui perasaan atau dzauq, pengalaman ini tidak bisa dijelaskan kepada orang lain melalui kata-kata. 

Baca Juga:  World Mental Health Day di tengah Pandemi Covid-19

Di tengah merebaknya wabah Covid-19, semua dari kita sama-sama dapat terjerumus menjadi ahli baru. Menjawab segala bentuk pertanyaan dan tanpa disertai otoritas keilmuan yang mumpuni. Jika hal ini dipaksakan, maka jawaban kita bisa lebih berbahaya dari pada Covid-19 itu sendiri. Meskipun kita punya niat baik untuk membantu atau mengingatkan orang lain. Oleh karena itu, pentingnya kita untuk memilah informasi, mana yang baik untuk diri sendiri dan mana yang baik bahkan harus disebarkan kepada orang lain.

Oleh: Hafidhoh Ma’rufah
Photo by cottonbro from Pexels