Desember dan Luka

Diposting pada 141 views

Jahe hangat buatan Dido pun habis seiring terbenamnya matahari. Malam datang dan Dido pamit pulang. Tapi ayah melarang. “Nginap saja Do, tidur bareng Bima, biar Ami ada temen ketawa, nggak nangis terus.” Pinta ayah. “Iyaa do, nginep dong. Kan udah lama juga kita nggak becanda bareng.” Rengekku pada Dido. “Hehe, gimana yaa, yaudah deh demi kamu apa sih yang nggak.” Ucap Dido pada Ami.

“Mi, ke taman depan yuk, liat bintang.” Ajak Dido

“Mana ada bintang, habis hujan gini kok.” Ketusku

“Ada kok, sebenernya enggak keluar pun ada bintang disini.” Ucap Dido

“Dih mana ada coba.” Ucapku

“Itu loh di mata kamu, eaaaa.” Rayu Dido

“Dih apaan si, nggak jelas ah. Udah yuk ke taman aja, aku tunggu di ayunan, bawain coklat hangat sama wafer, ambilin didapur.” Pintaku sembari berjalan menuju taman.

“Siap tuan puteri.” Balas Dido ramah.

Tak lama kemudian Dido datang dan membawa dua gelas coklat hangat dan 3 cup kecil wafer rasa cokelat. Kita yang lama tak bersua dan tiba-tiba berjumpa dengan perjumpaan akibat duka. Bukan tangis yang Dido bawa, bukan sedih penambah duka. Tapi Dido benar-benar menghiburku. Tak ada lagi tetesan air mata setelah kehadirannya. Dia benar-benar sosok sahabat sejatiku. Pelipur laraku.

“Mi, seminggu sebelum ibumu pergi meninggalkan kita, dia berpesan padaku untuk menjagamu setelah ibumu tak ada, aku mengiyakan permintaan ibumu. Tapi aku tak berjanji aku bisa sempurna menjagamu. Aku bukan laki-laki baik seperti yang ibumu kira, menjaga diriku sendiri pun aku masih kesulitan.” Tutur Doni

“Menjaga? Maksudnya?” tanyaku heran

“Bukan menikahi mi, tenang aja, ya kali aku mau nikah sama bocah pendek, pesek, kurus kaya kamu. Jadi apa anakku nanti, wkwk.” Celetuk Dido

Baca Juga:  Buku Penyimpan Goresan Harapan

“Dih apaan sii ah nggak lucu deh.” Jawabku kesal

“Yeee siapa juga yang ngelawak? Nggak ada si. Udah intinya sekarang jangan nangis lagi, ikhlasin ibu yang udah tenang di kehidupan barunya. Kamu juga harus tetap semangat melanjutkan kehidupanmu.” Tutur Dido

“Iya siaap, udah nggak nangis lagi kok, ini loh senyum manis banget.” Jawabku dengan meringis.

Jam tangan menunjukkan pukul 00.00, mataku semakin terasa berat, kantuk pun tak lagi tertahan. Namun tiba-tiba………. *dyaaar* ayah mengagetiku dari belakang dengan meletuskan balon hijau, Dido menyiramku dengan ember berisi air, dan tak ketinggalan Bima yang melempariku dengan tepung. Lengkap sudah, dingin, lengket serta kantuk.