Duka Alam Semesta

Diposting pada 46 views

“Sesungguhnya aku akan meninggalkan kalian dan aku akan menjadi saksi kalian semua. Demi Allah, saat ini aku benar-baner melihat telagaku dan aku telah diberi kunci-kunci dunia dan akhirat. Demi Allah, aku tidak takut kalian akan berbuat syirik sepeninggalmu nanti. Yang aku takutkan, kalian akan bersaing dalam urusan dunia.”

Itulah Pidato singkat yang disampaikan Rasulullah diawal bulan Shafar setelah ziaroh ke makam para Pahlawan Uhud. Bagi sebagian sahabat tentu pidato itu menyimpan misteri yang menakutkan. Namun, bayangan mengerikan itu langsung mereka hempaskan. Mereka tanamkan prasangka baik bahwa Allah akan senantiasa memberikan umur panjang terhadap Rasulullah.

Sebagai seorang suami yang punya beberapa istri, Nabi Muhammad SAW selalu mengunjungi istri-istrinya secara bergilir. Ketika tiba kunjungan di rumah Maimunah, beliau merasakan tidak enak badan. Keesokan harinya tiba giliran Aisyah yang mendapat kunjungan. Tengah malam tanggal dua puluh sembilan Shafar, beliau ziarah ke pemakaman Baqi. Setelah ziarah, beliau mengalami sakit kepala berat dan segera kembali ke rumah Aisyah. Sakit kepala sedemikian parahnya hingga membuat beliau demam. Di saat yang bersamaan, diluar rumah sana terjadi kasak-kusuk menyikapi keputusan Nabi memilih Usamah untuk memimpin pasukan ke utara, meneruskan misi ayahnya yang gugur di sana.

Ketika pasukan yang dipimpin oleh Usamah, putra Zaid bin Haritsah telah sampai di daerah Jurf, sekitar empat puluh mil utara Madinah. mereka menghentikan perjalanan karena mendengar kabar bahwa sakit Rasulullah semakin parah. Mereka mendirikan tenda dan menunggu keputusan lebih lanjut dari Nabi. Meskipun dalam keadaan sakit, Nabi tetap mengimami shalat seperti biasanya dan melakukan kunjungan ke istri-istri beliau sesuai jadwalnya masing-masing.

Pada saat Nabi pindah ke rumah Aisyah, badannya terlampau lemah, maka saat itu beliau dipapah oleh Fadhal, putra Abbas, dan Ali bin Abi Thalib. Selama Nabi di rumah Aisyah, Aisyah selalu membacakan surat Mu’awidzatain, Al-Falaq, dan An-Nas, kemudian ditiupkan ke tangan dan diusapkan ke tubuh baginda Nabi.

Para sahabat bertambah sedih tatkala mendengar kabar Nabi yang kian hari bertambah parah. Mengetahui sahabatnya bertambah cemas, bahkan sahabat Abu Bakar meninggalkan perkemahan muslim di Jurf, maka Nabi dengan sekuat tenaga mencoba menemui mereka agar tenang. Dan sebelum berangkat ke Masjid, beliau meminta agar dimandikan.

“Siramalah aku dengan tujuh ember air dari tujuh sumur yang berbeda agar aku bisa menemui sahabat-sahabatku dan memberi nasihat pada mereka”

Istri-istri Nabi segera melaksanakan perintah itu. Kemudian selesai mandi beliau berangkat ke masjid dengan mengenakan selimut dan sehelai ikat kepala. Lalu beliau memulai khutbahnya di atas mimbar.

Kutukan Allah akan ditimpakan kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka telah menjadikan kuburan para Nabi sebagai tempat bersembah sujud. Janganlah kalian menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah. Orang-orang Anshar, aku wasiatkan kepada kalian semua. Mereka adalah keluargaku dan golonganku. Mereka telah melaksanakan seluruh kewajibannya dan yang tersiisa hanyalah hak mereka. Terimalah orang yang baik di antara mereka dan maafkanlah orang-orang buruk di antara mereka. Lambat laun akan bertambah banyak dan orang-orang Anshar akan semakin sedikit. Saat itu mereka tak ubahnya garam dalam makanan. Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah antara diberi kemewahan dunia seisinya atau memilih pertemuan dengan-Nya, dan hamba itu memilih pertemuan dengan-Nya.

Baca Juga:  Biografi Imam Sibawaih

Ketika mendengar kalimat terahir yang disampaikan Nabi, Abu bakar menangis, ia tahu bahwa baginda Nabi sedang membicarakan dirinya dan pilihan yang dimaksud beliau adalah kematian. Rasul tahu Abu Bakar memahaminya meskipun sahabat yang lain tak paham tentang kalimat terahir itu. Kemudian Nabi menenangkan Abu Bakar.

“Tenanglah wahai Abu Bakar”. Kemudian Rasulullah melanjutkan pidatonya.

Beliau kemudian mengamati seluruh penjuru masjid lalu berkata “Semua pintu menuju masjid harus ditutup kecuali pintu Abu Bakar.”

Sampai pada hari Kamis, atau empat hari sebelum Rasul wafat, keadaan beliau sama sekali tidak membaik. Saat itu Nabi mendiktekan sebuah wasiat. Mendengar hal itu, terjadilah perbedaan pendapat Nabi mengucapkan hal itu karena terpengaruh demamnya, sehingga tidak perlu kiranya mereka memberatkan beliau dengan berpikir keras untuk memberikan wasiat. Apalagi sebelumnya Nabi telah memberitahukan cukup bagi umat Nabi berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup. Sahabat yang lain meminta agar segera melaksanakan perintah itu, karena perintah Nabi tidak boleh diabaikan. Perselisihan itu menimbulkan suasana ruangan itu menjadi ribut hingga akhirnya Rasulullah meminta agar mereka meninggalkan ruangan.

Malam itu Rasulullah masih dapat mengimami shalat maghrib. Menjelang shalat isya, sakitnya bertambah parah sehingga beliau tak sanggup untuk menjadi imam shalat. Sahabat-sahabat terus menunggu dan ketika Nabi mengetahui mereka belum shalat, maka Nabi meminta dipersiapkan air untuk mandi. Setelah mandi, beliau hendak beranjak ke masjid namun tubuhnya terlampau lemah hingga akhirnya jatuh pingsan. Ketika sudah siuman beliau mencobanya sampai tiga kali, tetapi kondisinya benar-benar tidak memungkinkan. Oleh karena itu, Nabi meminta Aisyah agar menemui Abu Bakar dan menyuruhnya untuk mengimami shalat.

Mulai hari itu, Abu Bakar lah yang menjadi imam di masjid Nabawi.

Fajar hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun ke- 11, Rasulullah menyibakkan tirai kamar Aisyah. Beliau menampakkan wajahnya kepada barisan sahabat yang sedang melaksanakan shalat shubuh. Wajah beliau nampak begitu tampan, berseri-seri tidak seperti biasanya. Abu bakar hendak mundur mihrab namun Nabi memberi isyarah agar nabi melanjutkan shalatnya. Rasul kembali menutup tirainya setelah melempar senyum kepada jamaah shubuh. Para sahabat begitu gembira ketika melihat hal itu dan menyangka bahwa beliau telah pulih.

Pagi itu, Abu bakar mengunjungi Habibah Putri Kharijah, salah satu istrinya yang ia nikahi di Madinah. Habibah tinggal bersama keluarganya di daerah Sunh, dataran tinggi Madinah dan Abu Bakar sering melakukan kunjungan seperti ini. Sementara itu, putrinya, Aisyah, terus merawat Nabi. Semenjak sakit, ia selalu menidurkan beliau dipangkuannya. Ketika Fathimah datang untuk membesuk bersama kedua putranya, Hasan dan Husain, Aisyah keluar mempersilahkan ayah dan putrinya untuk bersama-sama. Pada kunjungan kali ini, Aisyah melihat Nabi membisikkan sesuatu pada Fathimah hingga putrinya itu menangis. Di sela-sela tangisnya, Rasul membisikkan hal lain. Kali ini Fathimah tersenyum. Ketika keluar, Aisyah menanyakan apa yang dikatakan Nabi padanya dan dijawab itu rahasia yang tak boleh diberitahukan kepada siapapun. Namun kemudian hari ia menuturkan pada Aisyah.

Baca Juga:  NAWAF DAN RASA INSECURE-NYA

Nabi mengatakan padaku, beliau wafat dalam sakitnya ini sehingga aku menangis. Lalu beliau mengatakan, akulah orang pertama dari keluarganya yang akan menyusul, karena itu aku tersenyum.”

Kemudian Nabi memeluk kedua cucunya, Hasan dan Husain seraya berkata.

Kerjakanlah shalat! Kerjakanlah shalat! Dan jagalah budak-budak kalian”.

Aisyah kembali mendekati Nabi dan merengkuhnya, memangku kepala beliau. Saat itu segenap kekuatan beliau telah melemah. Ketika Abdurrahman masuk ke kamar sambil membawa siwak, Nabi menatap benda itu karena menginginkannya. Maka Aisyah mengambil siwak itu untuk dibersihkan. Karena siwak itu terlalu keras akhirnya sayyidah Aisyah memamahnya sebelum diberikan kepada baginda Nabi. Hingga Aisyah mengatakan : “Termasuk nikmat Allah yang diberikan kepadaku, Allah menyatukan ludahku dengan ludah baginda Nabi menjelang wafat beliau.” Rasul kemudian menyikat giginya dengan siwak tersebut. Sesaat kemudian Nabi mengangkat tangannya dan pandangannya menatap ke atas dan bibir beliau berucap lirih.

Bersama orang-orang yang engkau beri nikmat dari golongan para Nabi, siddiqin, syuhada dan shalihin. Ya Allah ampunilah dosaku dan rahmatilah aku. Pertemukanlah aku dengan teman-teman termulia. Ya Allah pertemukanlah aku dengan teman-teman termulia. Ya Allah pertemukanlah aku dengan teman-teman termulia.”

Tangan beliau mulai melemah. Hari itulah, Senin 12 Rabiul Awwal baginda Nabi Muhammad SAW bertemu dengan Allah SWT, berpulang ke haribaan Allah SWT. Seluruh hidupnya telah beliau curahkan untuk berjuang menegakkan agama Allah. Meninggalkan sebuah persatuan kukuh di antara suku di Jazirah Arab. Beliau tegaskan pada mereka bahwa tujuan penciptaaan bersuku-suku bukan untuk saling berlomba mengunggulkan suatu golongan masing-masing. Tidak pula saling menguasai, meminggirkan atau menghancurkan suku dan bangsa lain. Tujuan dari perbedaan itu adalah untuk saling mengenali. Dengan perbedaan, berarti mereka harus siap bertemu dengan orang lain dan hidup berkerabat dengan mereka. Baginda Nabi telah berhasil mengkonsep ulang arti kemuliaan bagi umat manusia. Mengganti kejahiliahan dengan nilai-nilai saling berbeda rasa dan tidak mementingkan diri sendiri.

Innalillahi wa innalillahi raji’un. Seluruh warga Muslim tenggelam dalam keadaan duka di Madinah Munawwarah, kota cahaya. Tubuhnya memang telah tiada, namun jiwa dan ajarannya tetap tertancap kukuh dalam hati setiap muslim. Dan Al-Qur’an hingga sekarang menjadi satu-satunya kitab suci yang dibaca paling banyak orang. Diulang-ulang dan terus digali ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.

Sumber : Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW Lentera kegelapan untuk Mengenal Pendidik Sejati Manusia.

Oleh : Nada Fikriyani