GUS QOYYUM: PESAN TERHADAP ORANG YANG BERILMU

Diposting pada 193 views

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” [QS. Fathir:28]

Fakhruddin Ar-Razi dalam kitabnya Mafatihul Ghaib, mengatakan bahwa derajat kemuliaan seseorang ditentukan dengan seberapa banyak ilmu yang dimilikinya. Ia menunukkan bahwa semakin banyak ilmu yang dimiliki maka semakin tinggi derajat ketakwaannya. Sementara itu Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat:13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa karomah, kemuliaan, atau kehormatan seseorang diukur dari ketakwaannya. Dan ketakwaan diukur dari ilmu, dalam artian bukan hanya diukur berdasarkan amal. Jadi harus terdapat perpaduan antara takwa, ilmu, dan amal. 

“Kemuliaan dan kehormatan seseorang itu diukur dari ketakwaannya. Dan ketakwaan tidak hanya diukur berdasarkan amal, melainkan juga diukur dari ilmu. Jadi harus terdapat perpaduan antara takwa, ilmu, dan amal.”

Baca juga:

Baca Juga:  Surga dan Neraka (3): Tiga Bentuk Kesadaran dalam Islam

Seseorang yang berilmu harus memiliki sifat khasyah, yaitu adanya rasa takut dan tenggung jawab di sisi Allah. Imam Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir Asy-Sya’rawi, pada ayat إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ beliau mengatakan yang dimaksud dengan ulama dalam potongan ayat tersebut adalah ulama yang mempelajari alam atau ahli ilmu alam, dan bukan hanya ulama syariat saja. Dengan begitu ulama dalam bidang kealaman juga harus tetap memiliki sifat khasyah

Bagaimana bentuk sifat khasyah? Yang pertama, yaitu dalam bentuk berbicara dengan hikmah. Seorang ulama harus berbiacara dengan hikmah, yang berupa ilmu. Hikmah bersumber dari Allah, karena Allah memiliki sifat hakim. Contoh sifat hakim Allah salah satunya yaitu yang terdapat dalam QS. Luqman ayat 12;

وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.”

Hikmah yang diberikan dalam ayat di atas yaitu hikmah ke dalam jiwa dalam bentuk rasa syukur. Hal ini merupakan implementasi dari sifat khasyah kepada rasa syukur. Terutama rasa syukur akan ilmu yang telah dititipkan oleh Allah kepada hambaNya.

Bentuk sifat khasyah yang kedua adalah wira’i. Salah satu contohnya adalah seperti yang digambarkan oleh Imam Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalatul Qusyairiyah. Terdapat kisah yang digambarkan oleh Imam Qusyairi; suatu ketika Nabi Isa As melewati sebuah kuburan, kemudian Nabi Isa As memanggil salah satu mayit yang ada di sana. Atas izin Allah, maka salah satu mayit itu dihidupkan oleh Allah, Nabi Isa lantas bertanya kepada mayit itu “man anta (siapa Engkau)?” Mayit itu lalu menjawab, “semasa hidup di dunia, kami adalah kuli. Kuli yang biasa mengangkut, membawa, dan memindahkan barang milik orang,” mayit itu lalu bercerita kepada Nabi Isa As bahwa ketika memindahkan barang milik orang lain, tanpa seizin pemiliknya, Ia mematahkan dan mengambil sepotong kayu itu dan digunakannya sebagai tusuk gigi. Kemudian kuli tersebut bertanya kepada Nabi Isa As mengenai akibat dari perbuatannya. Nabi Isa As menjawab bahwa perbuatannya itu akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Baca Juga:  Kuliah Subuh Bersama Ustaz Tajul Muluk

Berdasarkan kisah di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berilmu harus selalu mengingat bahwa segala sesuatu yang dilakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, sekecil apapun itu. Potongan kayu yang digunakan untuk tusuk gigi dan didapatkan secara tidak halal saja dimintai pertanggungjawaban. Lalu bagaimana dengan ilmu? Maka hendaknya seseorang yang berilmu harus dengan hati-hati dan amanah dalam menyampaikan ilmunya. 

Oleh: Husna Nailufar

Sumber: KH Abdul Qoyyum: Peringatan Terhadap Ulama dan Ilmuwan

Photo by Mukhtar Shuaib Mukhtar from Pexels