Kalau Saya Perempuan, Memangnya Kenapa?

Diposting pada 123 views

Kalau lihat produk kecantikan dengan spesifikasi lightening dan glowing,  tanpa kita sadari sebenarnya kita sedang dijajah oleh standar kecantikan lho.  Perempuan dengan paket putih, berkilau dan bercahaya selalu jadi sasaran pertanyaan “Kamu pake skincare apa?”. Kalau dijawab pake air wudu, pertanyaan masih bakal berlanjut, “Wudunya pake skincare apa?”. Aaaaarghhh!!!

Standardisasi cantik pada produk kosmetik perlahan memudarkan kecintaan pada diri sendiri. Yaa meskipun pemakaian skincare itu sebuah bentuk self-love, tapi kalau sampai berlanjut pada level insecure jadi ngga baik. Kulit yang sawo sepet matang atau bahkan yang sehitam jelaga ndak masuk kategori cantik.

Nggak cuma di ranah kosmetik, di banyak aspek perempuan sering dipandang sebelah mata. Stigmatisasi masyarakat yang sangat patriarkis memojokkan perempuan sebagai kaum nomor dua. “Ngga usah sekolah tinggi-tinggi, toh setelah ini kamu bakal menikah dan ngurus anak”. Atau yang lebih parah “Ngapain sih sekolah tinggi-tinggi, ntar calon suamimu minder lo”.

Tidak hanya itu, nas agama dan lembaga agama juga sangat patriarkis. Al-Qur’an kalau dipahami secara letterlek bakal bersifat patriarki banget. Misal, dilarangnya perempuan menjadi saksi dalam utang-piutang. Padahal, kalau dipahami latar belakangnya, tidak diperbolehkannya perempuan menjadi saksi pada waktu itu disebabkan banyak perempuan yang belum terpelajar sehingga mengurangi kualitas saksi. Jadi, pelarangan itu terikat dengan kondisi waktu ya.

Lembaga agama, atau saya contohkan disini adalah pesantren, sudah banyak dikenal sebagai lembaga yang patriarkis. Hal itu tidak dapat dipungkiri karena peraturan-peraturan dalam pesantren banyak yang bersifat agamis. Tidak boleh pulang malam. Tidak boleh boncengan dengan lawan jenis . Dan dijodohkan, dimana pihak perempuan lebih sering sam’an wa tho’atan. Padahal, menurut saya, peraturan dan kultur pesantren yang seperti itu memberi kita kesempatan untuk mengubah pola pikir. Misal, tidak diperbolehkannya pulang malam adalah bentuk tanggung jawab kita sebagai santri untuk mengikuti kegiatan pondok. Bukan semata karena stigmatisasi gender.

Baca Juga:  Tantangan Menjadi Santri Sekaligus Mahasiswa?

Perempuan dianggap ngga bisa kalo ngga ada laki-laki. Dianggap tabu kalo keluar di atas magrib. Dipandang sebelah mata kalau tidak bisa menyusui anaknya. Diposisikan untuk memilih antara karier dan keluarga. Dianggap jelek kalau jerawatan. Rumit dan serba salah pokokmen. Belum lagi kalau jadi korban pelecehan atau perceraian, perempuan akan mendapat stigmatisasi yang seksis. “Sudah berbulan-bulan pisah dari Jerinx, kehidupan seks Nora Alexandra dipertanyakan netizen. Apa jawaban Nora?”. Netizen sungguh kakehan takon wkwk

Stigmatisasi dan standardisasi tentang perempuan ngga akan berhenti kalau terus didukung oleh perempuan itu sendiri. Dalam ranah agama misalnya, menurut saya, mbak-mbak santri sangat potensial untuk mendobrak ketimpangan tersebut. Sebagai orang yang hidup dalam lembaga yang sangat bersifat patriarki tentu sangat tahu kondisinya. Selain itu, mereka mempelajari al-Quran yang menggunakan bahasa Arab yang bersifat patriarki bisa sangat membantu untuk dapat meluruskan pandangan orang awam terkait agama dan al-Qur’an terhadap ketimpangan perempuan.  Kebiasaan hidup bersama banyak orang dengan berbagai karakter dan asal daerah yang berbeda menjadi pondasi dalam menghargai perbedaan dan memperjuangkan kesetaraan.

Selamat Hari Perempuan Internasional!

Oleh : Ma’unatul Ashfia