Kisah Santri Angkatan Pertama MTPA (Madrasah Tahfidz Putri Anak-anak) Komplek Q Krapyak

Diposting pada 187 views

Bocah-bocah perempuan kecil itu datang pada hari Rabu sore, tanggal 24 Juni 2015. Aku tidak menyaksikan kedatangan mereka karena pada pagi harinya aku sudah cabut ke SMP 5 Yogyakarta untuk mengikuti Pesantren Kilat sebagai salah satu perwakilan Diniyah Ali Maksum. Aku dan rombongan Diniyah diantar oleh Bapak Yusuf Toha yang tak lain adalah wali santri dari salah satu santri MTPA. Setelah pembukaan Pesantren Kilat, pak Yusuf bilang kalo beliau tidak bisa menemani kami lama-lama. Beliau akan langsung pulang saat kami sudah masuk kelas. “Iya Pak, mboten nopo-nopo” jawabku.

“Soalnya mau siap-siap, nanti sore mengantarkan anak mondok”, lanjut Pak Yusuf.

“Oh, iya ya Pak, nanti sore kan sudah pembukaan MTPA, Sofia (nama putri pak Yusuf) mboten nangis Pak?”

Dimantepi aja Mbak, ikut nitip ya?”

“Oh nggih Pak”.

Hari Kamis siang aku sudah pulang dari Pesantren Kilat. Sebenarnya aku penasaran akan wajah-wajah baru penghuni Komplek Q.  Bagaimana suasana Komplek Q setelah kedatangan bocah-bocah mungil itu?. Aku ingin segera menengok mereka di gedung baru, namun aku belum bisa karena kembaranku yang bernama Upin kecelakaan, lalu sorenya aku harus berangkat ke Diniyah. Jadilah malam hari sebagai waktu yang tepat untuk mengintip wajah-wajah mereka. Duh-duh-duh, ada semacam rasa haru saat memandangi wajah-wajah mereka. Bocah sekecil itu sudah jauh dari orang tuanya.

Jumlah mereka berkisar belasan orang. Coba kuabsen satu per satu. Zayyin, Zaya, Zahra, Zahwa, Awa, Naila, Kaysa, Husna, Azka, Elifia, Sofia, Ines, Naila, Najma dan Shela. Cerita tentang mereka unik, lucu dan penuh haru.

Saat berkunjung pertama kali, aku melihat Zaya dan Sofia yang wajahnya tidak asing lagi bagiku karena mereka belajar di Diniyah. Kutanya pada mereka berdua, apakah mereka mengenaliku. Sofia terdiam agak lama dan keduluan Zaya yang menjawab kalo aku merupakan tenaga pengajar di Diniyah. Alhamdulillah, meski mereka nggak menyebut namaku tapi setidaknya mereka masih mengingat wajahku. hehe.

Setelah datang menengok mereka satu kali, aku selalu ketagihan pengen menengok lagi dan lagi. Kusempatkan bertandang ke gedung baru saat aku sempat. Terkadang sebelum berangkat ke Koppontren, setelah pulang dari Koppontren, sehabis shalat Subuh maupun saat malam hari. Wajah-wajah mereka selalu membuat kangen dan rindu. Hanya dengan berada di dekat mereka, aku bisa merasakan suatu kebahagiaan. Ajaibnya mereka dalam kehidupanku.

1)      Awa-Najma

Awa adalah tipe anak yang harus menggerak-gerakkan tubuhnya alias nggak bisa diem dan anteng. Ketika shalat, ia menjinjit-jinjitkan kakinya semacam orang yang senam dengan gerakan loncat-loncat kecil di tempat sembari mengedarkan pandangan matanya ke segala arah. Saat tidak ada kegiatan pun, ia mondar-mandir dan jalan-jalan kemana ia suka. Dengan keaktifan fisiknya, seolah ia terlihat sebagai anak yang sulit ditangani karena seringkali berontak. Meski perawakannya seperti anak laki-laki, ternyata ia feminim. Ia suka dandan. Bedaknya pun dibeli sendiri olehnya.

Awa berasal dari Ngabul-Jepara, sama dengan kota asalku. Dengan kesamaan kota asal di perantauan, aku menganggapnya seperti saudara dan tetangga sendiri. Apalagi, ia masih sangat-sangat kecil. Aku memanggilnya dengan panggilan “tetanggaku sayang”. Saat kupanggil, ia selalu cuek bebek dan hanya melirikku sekejap saja.  Namun, di suatu kesempatan, ia merangkulku dan bilang kalo ia ingin jalan-jalan. Barangkali ia sudah menganggapku seperti saudara dan tetangganya sendiri. Wkwk.

Upin adalah pembimbing Awa dan Najma. Kini, ia terbaring di kamar 6B paska kecelakaan. Mungkin ia suntuk dan bosen berada di kamar seharian-semalaman. Kuajak ia mengobrol tentang kronologi kedatangan anak bimbingannya. Aku selalu tertarik mendengarkan cerita bocah-bocah polos itu.

Baca Juga:  Cucun dan Nita Bahas Khataman di FDSM Edisi Ke-7

Rabu sore, semua bocah diantar oleh para orang tua ke Komplek Q. Sore itu, acaranya adalah ramah-tamah, penyambutan santri baru, buka bersama serta perkenalan orang tua dengan para pembimbing. Setelah serangkaian acara tersebut usai, anak-anak diserahkan pada pembimbing masing-masing. Tak terkecuali Awa. Saat itu Awa sudah bersama dengan Upin. Upin mengajak Awa untuk mengantar Uminya sampai mobil. “Kalo ngomong sama mbak-mbak, sing alus yo!” Buya dan Uminya berpesan. (NB: Maklum, ia berasal dari pantura yang terkenal agak kasar dalam berbicara—sama sepertiku.wkwk)

Sesampai di tangga, Awa melihat ada sekumpulan awan mendung di wajah Uminya. Sebentar kemudian, awan mendung tersebut sudah berubah menjadi air mata yang meleleh secara perlahan-lahan. Paling tidak, Awa juga mengalami kesedihan seperti uminya karena jarak yang bakalan terbentang begitu jauh. Namun, Awa mencoba tegar dengan menyeka dan mengusap air mata uminya. Lalu, ia mencium perut uminya yang sedang mengandung sang adik.

Mobil keluarga Awa mulai merangkak dan menjauh. Awa sudah berada di kamarnya yang terletak di lantai dua. Tiba-tiba Awa lari begitu saja dan berteriak sambil menangis sesengukan, memanggil-manggil buya dan uminya. “Buyaaaaa-Umiiiiiik” raung Awa. Beberapa pembimbing mengejar, memegangi tubuh dan membujuk Awa supaya ia kembali ke kamar dan segera bermain dengan teman-teman barunya. Awa terbujuk dan naik ke atas. Namun, belum lama kemudian, ia sudah memanggil-manggil lagi umi-buyanya. “Umiiiik-Buyaaaa”. Ia lari lagi ke pelataran pondok, barangkali ia bisa menemukan umi-buyanya di sana. Tapi, harapan Awa tidak terwujud. Ia tidak bisa mendapati buya-umi lagi, baik ketika menjelang tidur, bangun tidur, lapar, haus, kangen dan lain-lain.

Begitulah adanya keadaan adik-adik baru kami. Aku yang hanya mendengar cerita dari teman-teman saja selalu berkaca-kaca, apalagi adik-adik kami, keluarga-keluarga adik-adik kami dan juga teman-teman yang menyaksikan secara langsung. Perasaan mana yang tega melihat peristiwa tersebut? Semua pihak harus rela dan ridho dengan hal tersebut, demi masa depan adik-adik kami.

Najma. Awalnya ia kepingin sekolah di SD layaknya salah satu tetangganya yang juga baru masuk SD—tanpa mondok. Ibuknya membujuk supaya Najma mau mondok dan ngafalin Qur’an. “Kalo Najma mau menghafal Qur’an, nanti Najma dapat surga yang bagus, ada kesukaan-kesukaan Najma di sana”, demikian kira-kira Ibu Najma membujuk. Lalu Najma pun tidak berhenti berfikir. Kemudian bertanya pada ibunya, “Apakah tetangganya yang masuk SD biasa tidak akan masuk surga?”. “Ya masuk surga kayak Najma, tapi surganya tidak sebagus punya Najma”. Singkat cerita, Najma berkenan dipondokin. Alhamdulillah.

2)      Zayyin

Perawakannya mungil dan imut. Suaranya serak-serak basah. Kalau bicara, suaranya kenceng sekali. Meski berangkat dari keluarga berada, ia tidak manja. Lucunya, saat teman-temannya sudah jamaah Isya, ia baru selesai dari kamar mandi, habis pup. Kemudian ia nyusul teman-temannya di aula. Ia sudah ketinggalan satu rekaat. Aku menunggu-nunggu imam salam. Bagaimana bocah kecil ini melakukan shalat saat sudah ketinggalan satu rakaat dan imamnya sudah salam. Apa ia ikut-ikutan salam atau menambahnya satu rakaat lagi. Eh, tak kusangka ia berdiri lagi, menambah satu rakaat. Weh, bocah kecil ini sudah ngedonk babakan shalat, aku membatin.

Suatu ketika, aku ikut jamaah dengan adik-adik kecil. Sebelum takbir, Zayyin bertanya padaku, “Mbak, sudah”? sambil memperlihatkan wajahnya ke arahku. Ia ingin tahu apakah ia sudah benar memakai mukena apa belum. Apakah rambutnya sudah tidak terlihat lagi. Lalu kurapikan mukenanya, memasukkan anak rambut Zayyin yang nyembul dari mukenanya. Sekali lagi ingin kutegaskan bahwa ia memang sudah ngedong babakan shalat. Mantaff.

Baca Juga:  Grup Hadroh Tsamrotul Muna Raih Juara 2 dalam Festival Shalawat Se-DIY

3)      Sofia

Beberapa hari sebelum liburan, adik-adik MTPA membuat surat buat para bundanya. Surat-surat tersebut berisi pesan kalo adik-adik kami kangen berat dengan ayah-ibunya. Mereka juga menulis kalau mereka juga sayang dengan ayah-ibu. Ada juga yang membungkus hadiah. Entah hadiah tersebut berisi apa. Demikian juga dengan Sofia. Ia menulis surat untuk uminya. Mbak Nabila yang kebetulan membaca surat tersebut. Ia hampir saja ikut menitikkan air mata kalau saja mb Nabila tidak membaca kalimat terakhir surat Sofia. Kira-kira demikian isi surat Sofia. “Sofia sayang sama umi. Sofia kangen adek. Umi, jaga kebersihan ya!”.

Ada yang janggal dari surat tersebut? Membaca dua kalimat pertama, mbak Nabila hampir mewek. Namun saat membaca kalimat terakhir, mb Nabila menjadi geli sendiri. Mungkin, Sofia ingin berpesan pada uminya supaya sang umi tetap menjaga kesehatan. Tapi karena barangkali Sofia melihat tulisan “Jagalah kebersihan” di dekat sampah, tembok, ruangan, kamar mandi, musholla, sekolah dlsb, Sofia jadi langsung nyambung pada kata “kebersihan” saat menulis kata “jagalah”. Hehe. Aku jadi berspekulasi sendiri.

4)      Zahwa

Ia selalu bertanya “kenapa” pada mbak-mbak pembimbing. Ia adalah bocah-bocah kritis. Saat belum boleh menambah hafalan, ia bertanya “kenapa tho nggak boleh lekas nambah? Padahal aku pingin cepat nambah”. Ada banyak macam kenapa dalam benak Zahwa.

5)      Elifia

Menurut Ayim selaku pembimbingnya, ia suka belajar dan membaca sendiri. Tidak terlalu suka bergerombol dengan teman-temannya. Bermain dengan temannya ya sekedarnya saja. Memang ia akan naik ke kelas dua, sehingga penguasaannya terhadap pelajaran-pelajaran dasar pun sudah oke. Bahkan aku tidak paham saat diajak tebak-tebakan. Saat Mbak Aina memberi buku dua kardus untuk adik-adik MTPA, Elifia sangat antusias dan langsung bertanya buku-buku tersebut berasal dari mana.

6)      Zaya

Zaya juga menulis surat untuk keluarganya. Menurut penuturan uminya, meski ia cuek dan berlagak cool, hatinya lembut dan sensitif. Sebelum hari liburan datang, uminya sudah menjemputnya di pondok karena Zaya akan diajak pergi ke Bandung. Saat merapikan lemari Zaya, uminya melihat ada sebuah kado terbungkus kertas buku tulis. Dalam kertas bungkus kado tersebut tertulis “Zaya sayang sama umik dan abah dan kakak dan adek. Zaya kangen sama umik dan abah dan kakak dan adek”. Seketika itu sang umi menunduk agak lama dan menyeka air yang keluar dari kedua mata.

Kemudian, umi bertanya pada Zaya. “Mbak Zaya, kado sama suratnya untuk siapa?”. “Nggak tahu”, jawab Zaya. Padahal, sebelum-sebelumnya, semua pembimbing dan teman-temannya sudah tahu kalau entu kado plus surat untuk uminya. Tapi berhubung Zaya bergengsi tinggi, ia tidak mau mengakuinya di depan umi. hehe

Surat-surat yang ditulis adik-adik kami memang terdengar sangat standar, sederhana dan biasa-biasa saja. Namun, kalo melihat bentuk fisiknya, seluruh hati manusia bisa rontok. Tulisan khas anak kecil yang polos dan jujur.

Bagi mbak-mbak pembimbing yang bersentuhan langsung dengan adik-adik MTPA, monggo melengkapi cerita-cerita yang telah ditulis. Pasti seru abis dan dijamin bakal mengaduk-aduk perasaan para pembaca. Thanks to para pembimbing dan pengurus MTPA yang celalu tabah dan cabar. Hehe. Mb Idhut, Mb Nova, Mb Maila, Ayim, Upin, d Ithul, Nyonya, Mb Yamen, Semenyim, Mb Lala, Mb Kuni, Mb Ika, Mb Nabila, mb A’yun, Mb Iwil, Simbok dkk. Semoga kebaikan kalian mendapat ganjaran dari Gusti Allah. Amin

Sumber : Elysa