KH. Ahmad Warson Munawwir

Literasi Digital Pesantren dan Semangat Meneladani Kyai Warson

Diposting pada 51 views

Siapa tak mengenal kamus bahasa Arab Al Munawwir? Salah satu maha karya ulama nusantara. Karya ini telah dinikmati oleh berbagai santri, kyai, hingga akademisi, baik lokal maupun internasional. Bahkan, kamus ini telah menjadi koleksi sebuah perpustakaan di Vatikan.

Siapa dibalik maha karya ini? Ya dialah K.H. Ahmad Warson Munawwir. Putra maha guru Al-Qur’an, Kiai Munawwir dari tanah Yogyakarta. Kamus yang memiliki tebal lebih dari 1550 halaman ini adalah buah perjuangan budaya literasi yang tak tidak sebentar. Kamus ini mematahkan dominasi kamus karya Louis Ma’ruf, yaitu kamus Al Munjid.

Jangan berfikir kamus ini lahir bak cerita Bandung Bondowoso dalam menciptakan candi Prambanan sebagai bentuk permintaan Roro Jonggrang. Dengan bantuan para jin, 1000 candi hampir terselesaikan dalam kurun waktu semalam.

Kiai Warson bukan Bandung Bondowoso dalam serial cerita legenda Indonesia. Putra Kiai Munawwir dari jalur Nyai Sukis ini menulis kamus sejak usia 23 tahun, bahkan sebelum ia menjadi pengasuh komplek pesantrennya sendiri.

Selain menulis kamus, Kyai Warson juga santri dari K.H. Ali Maksum. Tercatat, Kyai Warson tidak pernah nyantri kepada selain Kyai Ali. Saat itu, Kiai Warson juga menjadi pengajar serta aktif di beberapa organisasi.

Perjuangannya tak sia-sia, pada tahun 1997, kamus diterbitkan. Sampai sekarang, kamus sudah dicetak hampir lebih dari 20 kali cetakan. Bahkan putranya, K.H. Fairuz dan menantunya K.H. Kholid Arif Rozaq mengikuti jejak menulis kamus. Kamus Al Munawwir versi Indonesia-Arab lahir dari kolaborasi Kyai Warson dan Kyai Fairuz. Dua kamus lagi adalah Kamus versi pelajar karya Kyai Fairuz serta versi istilah modern karya Kyai Kholid.

Lahirnya maha-maha karya ini tak lepas dari budaya membaca dan menulis yang sudah sejak dulu dimiliki oleh ulama nusantara. Selain kamus Al Munawwir, beberapa ulama nusantara juga melahirkan karya-karya tulisan yang bisa dinikmati hingga kini. Sebut saja Kitab Siraj at Thalibin karya Syek Ihsan Dahlan Al-Jampesi. Karya ulama asal Jampes, Kediri ini mendunia hingga Al Azhar, Kairo, Mesir.

Baca Juga:  Kisah Ning Fah: Kedekatan KH. A. Warson Munawwir dengan Santri

Budaya Literasi di Era Digital

Literasi digital adalah sikap dalam penggunaan teknologi digital dan alat komunikasi. Literasi digital bertujuan untuk memberikan wawasan dalam mengakses, mengelola, mengevaluasi informasi, serta berkomunikasi yang baik dalam dunia digital.

Literasi digital bagi santri dapat menjadi solusi dalam menekan laju arus informasi yang mengandung kebohongan maupun ujaran kebencian.

Seperti dalam menyikapi maraknya kasus penistaan agama. Dalam suatu riwayat, seorang lelaki Arab Badui pernah datang kepada Rasulullah Saw. di masjid. Seorang Arab Badui tersebut memanggil Rasulullah dengan sebutan Muhammad saja tanpa ada kata nabi atau rasul. Lebih dari itu, ia juga mengencingi masjid.

Melihat kelakuan si lelaki ini, sahabat marah. Lantas apakah nabi juga akan marah? Nabi berkata kepada sahabat : “ Berdirilah, ambilkan seember air dan guyurlah air kencing tersebut,”. Sahabat bangkit dan melaksanakan perintah nabi ini.

Nabi bersabda : “ Sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk membuat kesulitan. “ Dalam riwayat lain ada yang menyebutkan, “ Berkata lah dengan lembut dan jangan biarkan dia lari dari Islam. “.

Nabi sebagai panutan umat Islam, tidak marah kepada lelaki tersebut, apalagi meminta sahabat untuk menghakiminya. Coba bayangkan jika kejadian tersebut terjadi di era sekarang, maka yang terjadi laman akun media sosial kita akan penuh dengan berita, “ Kencingi Masjid Rasulullah, Lelaki Ini Menistakan Agama “.

Lalu bagaimana santri menyikapi persoalan seperti ini? Cara santri tabayyun atau menyikapi isu-isu yang memanas dalam dunia digital jelas tidak sama dengan mereka yang tidak mengaji. Menyikapinya dengan tidak menggunakan suhu panas pula. Tetapi dengan mengaji.

Mengaji adalah salah satu budaya literasi peninggalan ulama yang harus terus dilestarikan. Pada era digital ini, budaya peninggalan ulama ini bisa digitalisasikan sebagai konten dalam media sosial. Tentunya agar media sosial tetap menyegarkan kita sebagai user. Mengaji kepada kyai dengan membuka kitab-kitab jelas berbeda dengan mereka yang hanya mengandalkan terjemahan.

Baca Juga:  Macam-Macam Puasa Sunnah

Kyai Warson lewat kamus Al Munawwirnya mengajarkan santri pentingnya budaya literasi, yaitu budaya membaca dan menulis. Santri tinggal menyesuaikan budaya tersebut di era yang disebut dengan era digital ini.

Santri harus kembali menghidupkan semangat untuk meneladani para kiai dan ulama seperti Kyai Warson dan kyai-kyai lainnya.

Dengan demikian santri telah berperan dalam membangun peradaban digital bangsa dengan konten-konten yang menarik dan tentunya tidak mengandung hoaks dan ujaran kebencian apalagi penipuan.

Oleh: Hafidhoh

Sumber: Harakatuna