Mengenal Tafsir Berbahasa Aceh dan Keunikannya

Diposting pada 229 views

Islam di Nusantara telah menunjukkan eksistensinya sejak abad ke-7 Masehi. Berbicara mengenai proses masuknya Islam ke Nusantara, tentunya tak lepas dari daerah di ujung barat Indonesia yakni Aceh. Aceh yang dikelilingi Selat Malaka menjadi wilayah yang kala itu sangat sibuk didatangi pedagang Islam dari berbagai penjuru untuk menjajakan dagangannya atau hanya sekedar transit sekaligus menyebarkan agama mereka. Hal ini menjadikan Aceh sebagai daerah di Indonesia yang pertama kali dimasuki Islam. Terbukti dengan adanya kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berada di Aceh. 

Aceh sendiri merupakan daerah di ujung barat Indonesia yang terkenal akan keislamannya yang kental sehingga dijuluki dengan “Serambi Mekah”. Tak ayal banyak ulama-ulama dengan karya yang variatif lahir di Aceh, salah satunya ulama dalam bidang tafsir. Karya ulama di bidang tafsir terlihat dari lahirnya tafsir pertama berbahasa Melayu di Asia Tenggara berjudul Turjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Teungku Abdurrauf al-Fansuri atau lebih dikenal dengan Teungku Syiah Kuala. Tafsir ini merupakan terjemahan dari kitab Tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan ‘Abdullah ibn ‘Umar ibn Muhammad al-Syirazi al-Baydawi. Menurut Anthony H. Johns pada abad ke-16 akhir,  apa yang dilakukan Teungku Syiah Kuala merupakan suatu pembahasalokalan Islam di Nusantara yang disimbolkan dengan aksara (script) Arab yang disebut aksara pegon dengan memakai serapan dari bahasa Arab, Persia, dan lain-lain.

Selain Turjuman al-Mustafid, ada beberapa tafsir Aceh yang lain dengan berbagai macam corak seperti sufi, falsafi, fiqhi, ‘ilmi, dan sebagainya. Keberagaman corak tafsir ini tak luput dari pengaruh peradaban dan dinamika serta persoalan-persoalan yang terjadi di Aceh, seperti hukum, sosial budaya, politik, dan seterusnya. Dari segala permasalahan yang terjadi akan menciptakan sebuah setting kondisi yang melahirkan produk tafsir yang berbeda sesuai yang dialami oleh mufasir. Sedangkan dilihat dari perspektif metodologis, tafsir Aceh menggunakan metode yang beragam, ada yang menggunakan metode tahlili (analisa), ijmali (global), muqaran (komparasi), serta maudhu’i (tematik). Dari sekian banyak tafsir Aceh, yang akan dibahas dalam artikel ini terbatas pada Tafsir Pase serta Tafsir Bebas Bersajak.

Baca Juga:  Tetap Ngaji Walaupun Ngantuk
Tafsir Pase

Tafsir yang disusun berdasarkan permintaan dari para jama’ah pengajian yang diselenggarakan oleh Kerukunan Masyarakat Aceh ini melibatkan lima mufassir sekaligus. Mereka adalah Drs. T.H.Thalhas, SE., Drs. H. Hasan Basri, Drs. Zaki Fuad MA., dan Drs. H. Mustafa Ibrahim. Kelima mufassir ini memiliki perbedaan latar belakang pendidikan, kondisi lingkungan, serta sarana prasarana yang nantinya akan terlihat pada produk dan corak penafsiran. 

Metodologi yang digunakan dalam Tafsir Pase menggunakan pendekatan tahlili-maudhu’i yang diaplikasikan secara sederhana meskipun tidak utuh dan akurat karena keterbatasan ruang dan waktu dari para mufassir. Tafsir Pase memiliki kriteria yang berbeda dengan tafsir-tafsir klasik maupun modern lainnya, di mana biasanya runtutan ayat dan surat didasarkan kepada tartib al-mushafi, namun pada tafsir Pase memiliki kriteria tersendiri dalam sisi penetapan tema, unsur asbab an-nuzul, munasabah ayat, serta kerangka penetapan ayat-ayat yang mendukung ayat yang ditafsir. Selain itu, penafsir juga menetapkan tema sentral terhadap suatu surah yang akan ditafsirkan. Tema ini mewakili kandungan makna dalam ayat-ayat dalam suatu surah.

Sistematika penafsiran tiap surah dalam Tafsir Pase ditempuh dalam beberapa tahap sebagai berikut:

  1. Pemberian nama surah beserta jumlah ayat dalam bahasa Arab dan Latin kemudian mengutip ayat-ayat dalam suatu surah secara utuh.
  2. Pemberian ikhtisar pada bagian awal surah yang ditafsir agar memudahkan pembaca dalam memahami ayat-ayat dalam surah.
  3. Penafsir menonjolkan unsur muqaddimah sebagai pembuka surah (dalam hal ini berisi informasi mengenai surah tersebut) dalam menguraikan surah pada tahapan pertama.
  4. Asbab an-Nuzul dicantumkan pada ayat-ayat tertentu.
  5. Pemberian tema pada kelompok ayat di samping tema sentral dalam suatu surah, inilah yang disebut maudhu’i.
  6. Penyalinan ayat-ayat bertulisan Arab kepada tulisan Latin.
  7. Penafsiran dengan berbagai langkah dan pola pikir mufassir.
  8. Munasabah al-ayah (korelasi ayat) dari ayat-ayat dalam surah yang berbeda. 
  9. Pemberian mau’izah yang berisi nasihat, petuah, serta hikmah dari ayat-ayat yang telah ditafsirkan. Ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian penafsiran.
Baca Juga:  Lamanya Antri Berhaji, Apakah Umroh Lebih Utama?
Tafsir Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh

Terjemahan Al-Qur’an karya Teungku Mahjiddin Yusuf ini disebut tafsir karena mengandung penjelasan-penjelasan meskipun singkat. Tafsir ini memiliki corak kebahasaan (lughowi) yang kuat dilihat dari cara Tgk. Mahjiddin dalam menerjemahkan tiap ayat menggunakan diksi-diksi yang indah dan kaya akan nilai sastra yang tinggi layaknya puisi. Tafsir lughowi sendiri bermakna tafsir yang memaparkan kandungan-kandungan Al-Qur’an dengan memperhatikan kaidah dan aspek-aspek kebahasaan. 

Metodologi yang digunakan oleh Tgk. Mahjiddin Yusuf yakni ijmali (global) atau tarjamah tafsiriyyah. Caranya dengan menjelaskan seluruh ayat Al-Qur’an secara ringkas dengan bahasa yang populer, mudah dipahami, serta enak dibaca ke dalam bahasa Aceh sehingga mudah dimengerti oleh pembaca. Dalam mengungkapkan makna, Tgk. Mahjiddin tidak terikat dengan susunan kata dalam bahasa Arab, yang terpenting ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna sesuai yang dikehendaki dengan sebaik-baiknya.

Tafsir Bebas Bersajak dalam Bahasa Aceh ini memiliki keunikan dan karakteristik. Penggunaan bahasa Aceh membuat karya tafsir ini memiliki karakteristik kedaerahan yang kental. Tafsir ini memadukan unsur qur’ani dengan nuansa kultural. Selain itu, karakteristik  dari segi sastra juga sangat jelas dilihat dari penggunaan kata-kata yang indah bak puisi.

Dua karya tafsir berbahasa Aceh menjadi bukti bahwa keanekaragaman corak tafsir bisa dipadukan dengan keanekaragaman unsur-unsur yang bersifat kedaerahan menghasilkan karya yang unik nan indah di bidang filologi terutama filologi Islam.

Oleh: Nur Kholifah

Sumber: 

  • Safriani, 140303022 (2019) Ungkapan Keunikan Tafsir Bebas Bersajak Dalam Bahasa Aceh Karya Teungku Mahjiddin Jusuf. Skripsi thesis, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
  • Talebe, T. (2012, June 15). PARADIGMA PENAFSIRAN ALQURAN NUSANTARA (Analisis Tafsir Aceh ‘Tafsir Pase’). HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 9(1), 131-148. https://doi.org/https://doi.org/10.24239/jsi.v9i1.47.131-148
  • Fauzi Saleh. (2012, December 01). Mengungkap Keunikan Tafsir Aceh. Jurrnal Al-Ulum Vol. 12 No. 2 (2012): Al-Ulum.

Gambar oleh Afdhal Haris dari Pixabay