https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/10/05/mbf4qo-mendahulukan-cinta-kepada-allah-3habis

Muharram dan Kelapangan Hati

Diposting pada 107 views

Damai terasa menikmati malam awal di tahun hijriyah ini. Muharram adalah bulan perdana di peradapan Islam. Hembusan angin dengan mesra membelai semua apa yang Allah gariskan di alam. Tari-tarian rumput yang tak sengaja dapat terlihat di panorama sepanjang pinggir jalan. Mengarungi malam ini, takkan lepas bayanganku dari indah paras jelita yang Allah gariskan di wajah alami ayunya. Ning Syeila namanya, memang tak pantas jika insan seperti aku terlalu larut mengaguminya. Semoga rasa ini takkan mengubah rasa cintaku pada sang pencipta rasa cinta.

Di gubuk reot ini aku arungi hidup untuk berkhitmat dan mengaji pada kiai di ma’had, dengan gubuk yang hanya berbahan bambu-bambu yang sudah tua dan beratapkan alang-alang coklat kumal seadanya yang melilit di bagian atas. Di ruang kecil seluas dua meter persegi aku pasrah kan jiwa pad Raab dari terik matahari dan derasnya hujan. Meski dengan hidup yang serba sederhana, tapi nurani ini terasa jauh lebih nyaman dibanding kehidupanku di rumah yang serba ada.

Sambutan kuning mentari yang tak pernah lelah memberikan energi untuk seluruh isi alam, mulai tersenyum lembut menyambut aktifitasku untuk segera membersihkan kandang, memberi makan dua ekor sapi yang sudah lima tahun ku pelihara, seusai mengaji pagi, tak lupa ku persiapkan rabit satu karung besar ke atas tali dan becak tua untuk mencari rumput di daerah Serbang. Kira-kira butuh waktu satu jam untuk mencari rumput sebagai makan pokok dua sapi yang ku pelihara tersebut. Mulai aku mondok di pesantren ini tak pernah aku merasaka asyiknya bercengkrama bersama sahabat-sahabat dengan suasana ramai. Pendiam adalah sifat yang melekat padaku, kata santri-santri di pesantren ini.

Baca Juga:  Haji Minimalis, Bolehkah?

“ Dani, kamu sudah tau tidak, kalau bulan depan Ning Syeila mau menikah? “ tanya Kang Rijal yang membuntutiku saat naik tangga menuju ruang kelas. “ Belum, memang Ning Syeila mau nikah dengan gus mana  ? “, tanya ku balik yang dengan ekspresi santai, meski ini ekspresi palsu ku. “Gus Nawa, dari pondok kudus “.

Kabar yang indah itu terasa bagai tajamnya pisau yang siap mengayat garis nadiku. Tak ada lagi harapan kecilku untuk Ning Syeila, meski harapan kecil ini takkan tergapai. Entah mengapa aku bisa menaruh rasa ini Ning Syeila. Meski rasa ini tak pantas untuknya. Ya Allah.. mengapa engkau gariskan senyumanya menghiasi kalbu ini. Memang baru sebulan terakhir ini rasa kagumku lebih dalam untuk Ning Syeila, bukankah hak manusia untuk mencinta atau dicintaI. Ataupun yakin dan pasti kalau Ning Syeila tak mempunyai rasa seperti yang ku rasakan.

Bangku di kelas ini biasanya selalu setia menemani untuk mengisi serpihan-serpihan ilmu lewat ulasan ikhlas dari ustadzah-ustadzah, kini kan ku jadikan sebagai sandaran hati remukku yang takkan mungkin utuh kembali. ”Allahku.. maafkan hamba jika hari ini tak bisa fokus untuk menyerap ilmu-ilmu-Mu,.” guman hatiku yang sadari tadi melamun dan tak memperhatikan sama sekali pemaparan pelajaran dari wali kelas.

Kertas kosong dan tarian pena adalah dua teman setiaku yang tak pernah lelah menerima curhatan hati, ku tuliskan semu isi hatiku dalam buku kecilku.” Ning.. maaf, jika aku terlalu berlebihan menumpahkan langit ini di cawan madumu.” Allahku… terangilah gadis jelita ini dengan pancaran cintamu agar dia takkan pernah gelap akan sinarmu. Allahku.. lapangkanlah hati gadis jelita ini agar ia takkan pernah lelah akan kesabarannya. Allahku.. abadikan rasa ini untuk Ning Syeila meski ia takkan pernah berpadu tangan denganku di pergantian tahun ini.. Jadikanlah hidup Ning Syeila bahagia dengan dia yang engkau kehendaki.

Bel tanda pulang berbunyi, aku pulang ke kamar dengan hati yang lusuh. Akupun menenangkan dengan berbaring akan memejamkan mata ini. Tiba-tiba suara Kang Rijal mengagetkanku, “ Hei bangun, kamu dipanggil Ning Syeila “. Mataku sontak terbuka cepat. ” Benarkah ? “, kataku. Aku tidak lagi memperdulikan Kang Rijal di hadapanku, dengan cepat aku menghampiri Ning Syeila.

Baca Juga:  Bakti Itu Ada

“Assalamualaikum” salamku padanya. “ Apakah kamu yang maninggalkan buku kecil ini dikelas rabi’? Aku telah membacanya, maaf ku kira buku ini buku pelajaran, aku menghargai perasanmu, tapi sepertinya Allah takkan pernah mengubah nasibku untuk bersama Gus Nawa, aku juga telah menetapkan keputusanku dan kamu akan menjadi sahabt baruku. Mari mengenal kehidupanku dan menjadi sahabat baruku juga menjadi sahabat Gus Nawa nanti “, kalimat-kalimatnya membuatku semakin gemeteran. Ning Syeila tersenyum manis kepadaku, akupun membalas senyumanya dengan lapang dada. Dengan penjelasan Ning Syeila tadi, aku sedikit malu karena telah meninggalkan bukuku lantas dibaca semua isi hatiku oleh Ning Syeila, ya begitulah Allah akan mempertemukan yang baik dengan yang baik, mungkin aku perlu menjadi lebih baik lagi. Dan akupun merasa sangat bahagia menjadi sahabat baru Ning Syeila dan juga menjadi sahabat baru untuk gus Nawa. (2Asquad)