Pesantren Pelestari Ajaran Ahlu Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia

Diposting pada 341 views

 

Selain ahli hadist, muncul ahli teologi seperti Abu Hasan Al Asyari dan Abu Mansur Al Maturidi. Lahir juga pada awal abad ke-4, para ahli tasawuf seperti Abu Junaid al Baghdadi dan Imam Al Ghozali. Imam 4 mahzab dipilih sebagai rujukan dalam fikih karena keempat mahzab ini adalah mahzab yang paling berkembang sementara dipilihnya kedua ulama tasawuf tersebut sebagai rujukan ajaran tasawuf  Aswaja, karena keduanya merupakan ulama yang tidak condong antara syariat dan hakikat.

Dalam bidang teologi, Imam Abu Mansur dan Imam Al Asyari sudah diakui sebagai imam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah sejak abad ketiga.  “Dengan demikian, sejarah keilmuan Aswaja An Nadliyah sangat sempurna, karena tergolong imam-imam dari ulama salaf semua,” jelas ustadz yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin, IIQ An Nur tersebut.

Sementara kelompok yang mengaku salaf atau salafi pada saat ini ada dua, pertama  pengikut Ibnu Taimiyah dan kedua, para pengikut dua murid besarnya yakni Ahmad bin Wahab di Mekkah yang memutus hubungan dengan Turki Usmani kemudian mendirikan Wahabi dan Muhammad Abdul (Mesir), salah satu pelopor gerakan pembaharuan dengan muridnya Rasyid Ridho.

Kapan Ibnu Taimiyah ini lahir? Imam Ibnu Taimiyah lahir pada abad ke-12 jauh setelah para ulama salaf. Ketika Baghdad dihancurkan oleh Hulagukhan. Apabila melihat sejarah ini, apa yang dipelajari oleh NU dan pesantren adalah yang paling salaf. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada 7 teori yang berbicara mengenai proses masuknya Islam ke Nusantara.

Diantaranya adalah teori Arab, Mesir Cina, Turki, Campa, dan lain-lain. Dalam teori Arab disebutkan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada awal abad ke-7 M. Sejak kekhalifaan Umar, Saad bin Abi Waqash melakukan perjalanan hingga ke nusantara. Di Indonesia, Saad sempat singgah di Kerajaan Sriwijaya, Palembang dan dilanjutkan ke Jepara tepatnya di kerajaan Kaling. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Guangzhou, Cina. Di sana ada masjid yang saat ini disebut sebagai masjid Saad bin Abi Waqash. Setiap teori memiliki bukti dan pendapatnya masing-masing.

Baca Juga:  Habib Syekh, Sang Pelantun Sholawat Ajarkan Utamakan Akhlak

Teori Campa, Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-15 dengan ditandai hadirnya da’i-da’i dari Campa atas permintaan kerajaan Majapahit. Pasca Hayam Wuruk dan Pati Gajah Mada wafat, terjadi perang saudara dan masyarakatnya melakukan molimo (medok, main, maling, madat, dan mabok). Salah satu rajanya, Kertawijaya atau Brawijaya menikahi salah satu putri asal Campa. Putri ini mengusulkan agar Majapahit mengundang ahli akhlak dari Campa yang berhasil melakukan islamisasi di Campa, yaitu Sayyid Ibarahim as Samarkandi yang dinikahkan dengan salah satu putri Campa.

Empat da’i yang datang ke wilayah Majapahit adalah Ibrahim as Samarkandi, Ali Ridho, Ali Rahmatullah, dan Abu Huraira. As Samarkandi dakwah di wilayah Tuban hingga wafat di sana. Sementara ketiga lainnya melanjutkan hingga Trowulan, Mojokerto. Keberhasilan dakwah membuat salah satu da’i, Ali Rahmatullah memperoleh tanah bebas pajak di wilayah timur, tepatnya di Surabaya. Tanah ini dikenal dengan sebutan Ampel Denta, oleh karena itu Ali Rahmatulah dikenal dengan Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Di tanah ini Sunan Ampel mendirikan pesantren dengan murid pertamanya berjumlah 3 orang.

Kemudian, raja Brawijaya menikahi salah seorang Putri Cina. Pernikahan ini membuat Putri Campa cemburu. Brawijaya kemudian menceraikan Putri Cina. Dalam keadaan hamil ia pergi menuju wilayah Sriwijaya dan bertemu dengan Ariodamar yang sudah beragama Islam. Putri Cina melahirkan seorang putra bernama Raden Patah dan kemudian menikah dengan Aryodamar dan melahirkan anak laki-laki lagi bernama Raden Khusain.

Kedua putranya berlayar ke timur hingga wilayah Ampel untuk belajar kepada Sunan Ampel. Setelah nyantri di Ampel, Raden Patah berdakwah ke wilayah rawa-rawa. Rawa-rawa merupakan wilayah yang memiliki banyak air. Air dalam bahasa Arab disebut maun, dan banyak air disebut dimaun, sehingga daerah tersebut disebut dengan Demak.

Baca Juga:  Santri dan Tantangan Literasi Digital