Puasa Tasu’a dan ‘Asyura 

Diposting pada 128 views

Pada tanggal 20 Agustus kemarin, umat Islam telah memasuki tahun baru Hijriyyah 1442. Penghitungan waktu yang didasarkan atas peredaran bulan ini dimulai pada bulan Muharram. Masyarakat Jawa banyak menyebutnya dengan Suro. 

Muharram atau Suro memang istimewa. Masyarakat Jawa memiliki berbagai tradisi yang dilaksanakan pada bulan Suro, misalnya pencucian benda-benda pusaka seperti keris, labuh laut, yakni tradisi melarungkan sesajen ke tengah laut dan masih banyak lagi. Umat Islam sendiri memiliki amalan-amalan sunnah yang dianjurkan oleh Nabi saw. Salah satunya yaitu puasa. 

Dalam kitab Tahrir diterangkan beberapa macam puasa sunnah yang sebagian di antaranya jatuh pada bulan Muharram. Apa saja?

Ada banyak macam puasa sunnah, lima belas di antaranya bersifat sangat dianjurkan; yaitu puasa (hari) Senin-Kamis, puasa sepuluh hari bulan Muharram dan bulan-bulan Haram, puasa Tasu’a, puasa ‘Asyura…”

Puasa Tasu’a jatuh pada tanggal sembilan bulan Muharram, sedangkan puasa ‘Asyura jatuh sehari setelahnya, yakni tanggal sepuluh. Pada suatu hadis yang diriwayatkan Muslim disebutkan tentang keutamaan puasa ini.

“Nabi ditanyai perihal puasa yang dilakukan beliau (yakni pada tanggal 10 Muharram/’Asyura). Nabi menjawab bahwa puasa ini dapat menghapus dosa-dosa yang lalu. Kemudian Nabi melanjutkan, jikalau aku masih hidup di tahun yang akan datang niscaya aku akan berpuasa sejak tanggal Sembilan (Muharram). Akan tetapi Nabi meninggal sebelum itu”

Mengapa Nabi mengisyaratkan puasa pada tanggal sembilan Muharram di tahun berikutnya? Ternyata ada kisah dibalik hadis tersebut. 

Para sahabat menanyakan puasa Nabi yang hanya dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram di mana puasa tersebut juga dilakukan oleh umat Yahudi. Mereka takut puasa tersebut akan menyerupai ibadah orang Yahudi. Oleh sebab itu, Nabi mengisyaratkan jika beliau masih hidup tahun berikutnya, maka beliau akan berpuasa sejak tanggal 9 Muharram. Hanya saja, takdir Allah berkata lain. Nabi sudah kembali ke hadirat-Nya terlebih dahulu. 

Baca Juga:  Gus Baha: Kenapa Al-Fatihah Menjadi Ummul Kitab? (Tafsir Jalalain QS. Al-Fatihah)

Menghapus dosa-dosa yang lalu sebagai keutamaan dari puasa ini memberi nilai tersirat terhadap diri kita untuk upgrade jiwa. Sebagaimana aplikasi yang harus selalu di upgrade untuk kelancaran penggunaannya, pun begitu dengan jiwa kita. Pembersihan diri dari dosa-dosa untuk kembali menjadi pribadi yang baru, dan meningkatkan mutu untuk menjadi pribadi yang lebih baik harus dilakukan. Karena dengan itulah artinya manusia selalu berkembang. 

Oleh : Ma’unatul Ashfia