Ramadan di Pesantren

Diposting pada 195 views

Membingkai hati menyambut bulan penuh ampunan, dengannya doa doa terbaik dipanjatkan.

Sore ini terasa sedikit berbeda, banyak santri berbondong bondong membeli beberapa makanan untuk persiapan sahur pertama. Semua nampak tersenyum memandang langit sore yang seakan turut lebur dalam suka cita menyambut bulan ramadan. Ada yang berdua saja dan ada yang berjalan empat sampai enam orang, bersarung batik dipadu atasan dan hijab yang disesuaikan menambah suasana sore itu semakin syahdu saja.

“Mbak Fatma…!!” Panggil seorang gadis berwajah sedikit mirip orang chinese.

“Iya Nad… Ada apa??” Jawab wanita bernama Fatma Lailatun Nikmah itu.

“Mbak, sudah beli lauk untuk nanti sahur belum??” Tanya Nadia.

“Wah… Ngapain beli Nad?? Kan biasanya dapet dari ndalem!” Jawabnya.

“Ya nggak papa Mbak, nambah beli sendiri anggap saja bentuk suka cita menyambut ramadan” kilah  Nadia sambil cekikikan.

“Kamu ini ada ada saja, ya sudah aku ikut ninge saja kalau begitu” sahut Mbak Fatma dengan nada bercandanya.

Ramadan memang selalu dapat mengubah suasana di sekelilingnya menjadi lebih positif. Demikian pula dengan kegiatan di pondok pesantren. Secara jadwal pasti akan lebih padat, dari ba’da subuh sampai ba’da salat tarawih pasti akan diisi banyak pengajian kitab kitab kuning. Meski terkadang santri banyak yang mengeluh tapi, justru aktivitas seperti ini sangat meMbakerikan kesan tersendiri ketika dapat nikmat menjalani ramadan di pondok.

“Nad!! Kita mau beli apa ini?? Aku bingung…” tanya Mbak Fatma pada Nadia.

“Gimana kalau gorengan saja Mbak? Selain murah, kan tahan lama.” Sahut Nadia pada Mbak Fatma yang  tiga tahun lebih tua darinya.

“Masa gorengan Nad? Nyawa baru kumpul langsung dikasih yang berminyak.”

“Lah terus apa Mbak? Apa kita beli buah saja? Tapi patungan.”

“Wah boleh juga tuh, kan kita butuh banyak nutrisi apalagi hari pertama puasa.”

“Oke kalau begitu kita beli buah yang paling murah.”

“Buah apa ya Nad??”.

“Aha! Buah pepaya saja Mbak, harganya enam ribu rupiah.”

“Ya boleh boleh, nutrisi terpenuhi… dompet tetap terisi.” Canda Mbak Fatma.

Keduanya lantas tertawa bersama.

***

“Sahur… sahur… sahur…”

“Nad… bangun!! Sahur!!”

“Iya Mbak… lima menit lagi”.

” Nad… ayo bangun.. biar bisa ke musala lebih awal.”

” Iya Mbak iya….”

Mbak Fatma dan Nadia lantas mencuci muka dan berkumur. Lalu, mereka berdua menuju dapur ndalem untuk mengambil makan sahur. Antrian sudah cukup panjang ternyata, menandakan begitu antusiasnya para santri menyambut bulan suci. Untung saja mereka datang tidak terlalu lambat, karena selang beberapa menit antrian sudah macam permainan ular naga panjang.

Baca Juga:  Abdi Cinta dalam Pusara—“Kyaiku, Aku Rindu”

Suasana sahur di pondok selalu seru. Ada saja kelakuan para santri, ada yang makan sambil mengantuk, ada yang makannya ditinggal tidur menjelang imsak langsung cepat cepat dihabiskan, dan lain lain. Selesai sahur kebanyakan tidak tidur, justru dipergunakan untuk berzikir atau membaca Al-Quran, meski beberapa banyak yang ketiduran.

Mbak Fatma dan Nadia memilih langsung mengenakan mukenah dan berangkat ke musala pondok lebih awal, karena mereka hendak melaksanakan iktikaf (berdiam diri di masjid).Sungguh semarak ramadan yang luar biasa.

Mbak Fatma memilih duduk di shaf paling depan, sedang Nadia di sampingnya. Dengan khusyuk keduanya melantunkan zikir yang terus menerus sampai menjelang waktu subuh tiba. Menjelang subuh santri santri biasanya akan melantunkan solawat Abu Nawas bersama-sama sambil menunggu azan subuh berkumandang.

Ilahilas tulill firdaussiahla wala aqwa ‘alannaril jahimi…”.

Semua santri begitu menikmati irama demi irama, meresapi bait demi bait yang teramat menyentuh hati. “Sungguh, nikmat mana lagi yang hendak engkau dustakan”.

“Allahhuakbar allahu akbar…” Suara azan terdengar begitu nyaring. Semua terdiam mendengarkan azan. Selesai azan berkumandang, salah satu santri membaca iqamah—tanda sholat berjamaah hendak dimulai. Santri-santri mulai memenuhi musala sampai ke teras. Dipimpin oleh seorang pengurus putrid, para santri menjalankan salat subuh.

***

Mengisi pagi pertama bulan suci dengan kitab “Jawahirul Bukhori”.

Tak ada waktu santai setelah subuh, sebab semua harus sudah mulai bersiap siap ngaji pasaran (kegiatan ngaji kitab-kitab kuning khusus di bulan puasa). Tepat pukul 06.00 semua santri sudah harus berkumpul di aula putri.

“Mbak Fatma!  Aku antri mandi sehabis Mbak ya??” Panggil Nadia.

“Iya. siap, eh tapi tumben lo mandi cepet!!”. Goda Mbak Fatma pada Nadia.

“Iya dong.. biar gak ngantuk, masa hari pertama ngaji pasaran udah tepar aja”. Jawab Nadia sambil tertawa.

“Halah… gak ngantuk apa gak ngantuk, bukannya karena yang ngisi Ust. Amir? Biar paling sueger hahahhaha.” Goda Mbak Fatma lagi.

“Ih, gak boleh suuzon tau Mbak.. Masa hari pertama pahala puasa udah dikurangin aja!” Jawab Nadia sambil nyengir kuda.

“Ah masa… Nanti Ust. Amirnya digondol wong liyo baru tau rasa”.

“Hih… Mbak Fatma… Udah udah, mending Mbak buruan mandi, nanti antriannya diambil orang lo!” Jawab Nadia mengalihkan topik pembicaraan.

Baca Juga:  Aku Hanyalah Santri Putri

“Iya iya… ini juga udah lagi jalan.. eh tapi… cie… Ust.Amir… yang ada manis manisnya”. Sambil jalan menuju kamar mandi.

***

“Assalamualaikum, puasa pertama masih sueger ngaji pagi, nanti pertengahan letih lesu, menjelang akhir dua kali lipat semangatnya, sebab mau mudik, ya.. begitulah nikmatnya mondok.” Awalan yang  manis dari sang ustaz

Satu jam berlalu, inti dari ngaji pasaran pagi ini adalah bahwa ada 2 hal pokok didalam sholat:

  1. Shaf pertama hendaknya menyempurnakan salat,
  2. Shaf berikutnya mengikuti shaf di depannya

Ngaji selesai, Mbak Fatma dan Nadia juga santri santri lain kembali ke kamar masing-masing. Istirahat sejenak lantas sibuk dengan kegiatannnya masing-masing. Ada yang langsung nderes, ada yang langsung mutola’ah, dan ada yang langsung melaksanakan salat dhuha.

***

“Ramadan itu ibarat syurgawinya santri banget, ya walaupun sebenarnya buat smua orang sih… Cuma kalau di kalangan pondok pesantren, santri itu menang banyak Mbak,” celetuk Nadia tiba-tiba.

“Kok bisa gitu Na?” Tanya Mbak Fatma keheranan.

“Ya iya lah Mbak… Nih ya, yang pertama santri itu identik sama gratisan, yang kedua kita bisa ketemu ustaz-ustaz muda yang di luar bulan ramadan sama sekali gak pernah ngajar kita. Selain mumpuni dalam mengajar, kita bisa ngaji sambil nyawang. Hahhahahahahha”. Terang Nadia yang diakhiri gelak tawa.

“Kamu ini, bisa aja Nad… Nad… Ati-ati… Pahala berkurang 100%”. Canda Mbak Fatma kemudian.

“Astaghfiruallah hal adzim… iya ya Mbak… tapi ya… memang begitulah adanya, hiburan santri hehehe..” jawab Nadia terkekeh.

“Iya sudah… sudah… kita sudah deket masjidnya nih..” kata Mbak Fatma.

“Ouh iya gak kerasa alhamdulillah”. Jawab Nadia.

Bukan hanya masyarakat desa yang turut serta berbuka dengan takjil gratis yang disediakan oleh banyak masjid, santri pun ikut andil. Selain bisa menjalin silaturahmi dengan masyarakat desa, momen ini juga menjadi strategi menghindari penyakit akhir bulan yaitu kanker alis kantong kering.

Ada banyak makna di balik bulan penuh ampunan, di antaranya adalah mengajarkan kita untuk menahan diri dari hal-hal yang kurang bermanfaat, menambah jalinan silaturahmi, belajar istiqamah dalam kebaikan. Dan yang paling penting adalah ramadan memberikan gambaran bagaimana rasanya di posisi mereka yang kekurangan karena kita harus menahan lapar.

Oleh: Silfi Ainun

Foto: Dokumentasi Pribadi Komplek Q