Gedung Asrama

Sampul Buku

Diposting pada 76 views

“Kamu itu niat di pondok nggak sih?”

Perempuan yang ditanya tampak terperangah. Berhenti sejenak, memandangku lama. Namun ia bungkam, meneruskan kegiatannya membuka sepatu. Kemudian bergegas meletakkannya di jajaran rak pada pintu bernama Lina AB3. AB3 di sini artinya komplek atas barat kamar nomor tiga. Memang di pondok ini, hanya ada tiga komplek, yang pertama AT singkatan dari atas timur, AB singkatan dari atas barat dan KP singkatan dari kantor pondok jadi letak kamarnya di atas kantor pondok.

“Na, aku tanya beneran.”

“Iya, aku jawab. Sini duduk dulu.” Ia telah meluruskan kaki di tangga menuju ke komplek AB. Aku pun mengikuti, duduk di dua tangga bawahnya.

“Menurut kamu, aku niat nggak di pondok?”

Lho, kenapa dia balik tanya aku coba? Bocah ini, kebiasaan kalau diajak ngomong pasti begini. “Jangan mulai Na, yang tahu jawabannya kan kamu. Kalau aku udah tahu, ya nggak usahlah tanya kamu.”

“Em. Begini, memangnya indikator seseorang dikatakan serius di pondok itu kaya gimana?”

“Iya itu lho, kaya Vina. Dia itu suaranya bagus, aktif hadrohan, selalu di pondok, sering nderes Quran, ngaji kitab juga lancar.”

Berhenti sejenak, aku meminum air putih dari botol minum yang Lina bawa. Ia cuma tersenyum mempersilakan, “iya Ndah, minum aja.”

“Oalah, kalau gitu berarti aku nggak masuk kategori serius di pondok dong,” perempuan di depanku ini cuma nyengir tanpa dosa, seakan bukan sebuah kesalahan.

“Ya Allah Na.. Apa kamu itu nggak kasihan sama Pakdhe dan Budhe yang sudah kerja keras membiayai kamu di sini?”

“Aku peduli kok sama bapak dan ibu. Mana ada sih anak yang nggak peduli dengan orang tuanya?”

“Lha terus kenapa jawabanmu kaya gitu?” Lina cuma tersenyum, menepuk pundakku lembut. Apakah dia berniat menjawab lagi?

“Besok, kamu akan memahami sesuatu yang lebih penting dari pelabelan orang lain. Duluan ya. Mau mandi nih.” Ia beranjak pergi menaiki tangga dan lenyap di balik pintu kamarnya. Aku sama sekali tidak mengerti teka-teki apa yang sedang ia tawarkan. Memangnya indikator keseriusan orang di pondok itu bukan seperti yang kusebutkan? Ah, entahlah malah bingung sendiri dibuatnya.


Oleh: Desi Nur Istanti

Beberapa hari setelahnya, seseorang datang kepadaku.

Perempuan cantik, dengan mata bulat dan dua lesung pipit di pipi. Namanya Aini, temanku yang tak kalah rajin dengan Vina.

Baca Juga:  Najma

“Indah, lihat Lina nggak ya?”

“Nggak tuh, kalau jam segini dia belum pulang. Nanti jam empat palingan dia udah di kamar. Ada perlu apa kamu nyari dia?”

“Oalah, ini aku mau bahas soal acara besok Kamis sama dia.”

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya, kata-kata Lina masih terngiang di benakku. Indikator seseorang serius di pondok ya.

“Hei, mikirin apa sih? Sampai nggak denger aku ajak omong.”

Tergagap, aku kaget tiba-tiba ditepuk Aini, sedangkan perempuan ini masih menatap dengan dahi berkerut, alisnya yang tebal terangkat sedikit. “In, indikator orang yang serius di pondok itu kaya gimana sih kalau menurut kamu?”

Aini tampak kaget, seperti ada bola besar yang tiba-tiba perlu ia tangkap. Tentu aku yang melemparnya. “Kok tiba-tiba tanya kaya gitu? Okey, aku coba jawab ya. Seseorang yang serius di pondok itu, tahu kapan harus di pondok, paham apa kewajibannya dan bertanggungjawab dengan kehidupannya.”

“Bukan yang selalu di pondok? Kaya Vina dan kamu misalnya. Kan kalian istiqomah banget di pondok. Nggak pergi terus setiap hari.”

Aini tertawa lepas, teman-teman yang berlalu lalang sampai menengok heran. “Gini ya Ndah. Setiap orang punya kesibukannya masing-masing. Apalagi kita ini masih mahasiswa semua rata-rata. Aku sering di pondok karena memang malas aja mau keluar, toh kerjaanku masih bisa di handle dari sini. Malah aku nggak nyaman kalau ngerjain sesuatu di tempat ramai.”

Aku masih menyimak dalam diam. Perempuan di depanku, memberi jeda dengan mengambil minum dari kamar depan. Tak lama kemudian, ia kembali lagi duduk di sampingku.

“Aku lanjut, maaf tadi haus banget.”

“Iya nggak apa, santai aja In.”

“Sampai mana tadi? Oh iya tempat ramai. Aku lebih suka di tempat sepi kalau ngerjain tugas, tapi bukan berarti orang lain sama dengan aku kan? Setiap jurusan juga lingkungannya pasti beda, polanya juga beda. Belum lagi, karakter dan cara belajar orang juga nggak sama Ndah. Lina deh misalnya, dia itu suka banget kan bepergian. Soalnya memang anak-anak kelasnya ada banyak project lapangan. Nggak mungkin kan dia handle dari sini? Tapi toh dia tetap menunaikan kewajibannya di sini, ngaji ya ngaji, aturan ya usaha di taati. Aku aja salut malah sama Lina.”

Baca Juga:  Tangis Tak Berwujud

“Kamu? Salut sama Lina? Kok bisa?” Mungkin ekspresiku sudah seperti orang bodoh. Saking kagetnya, aku nyaris jatuh dari tempat duduk.

“Haha, ati-ati dong. Sampai segitunya ya kagetmu,” ia tersenyum geli dengan kedua lesung pipitnya. Kemudian jeda mengambil alih pembicaraan, untuk sejenak hening.

“Ketika aku tanya soal pondok, Lina langsung sarankan tempat ini. Katanya ia sudah lama cari informasi. Awalnya aku bahagia banget, dapat teman daftar. Tapi ternyata, aku mungkin lebih beruntung dari dia. Ah, maksudnya dari segi finansial dan dukungan orangtua. Lina, orang tuanya belum setuju, banyak faktor mulai dari riwayat kesehatan hingga kondisi finansial. Dia anak pertama, jadi harus berpikir buat adiknya juga. Kamu tahu berapa lama dia harus meyakinkan dan menunggu keadaan berpihak ke dia?”

Aku hanya menggeleng, memproses banyak informasi baru yanh belum kutahu. Padahal aku ini saudara Lina, tapi malah tak tahu apapun soal informasi ini. Aini tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

“Tiga tahun Ndah, tiga tahun. Butuh waktu selama ini untuk membuktikan kalau dia sudah yakin dengan tekadnya. Membantu kedua orangnya, kuliah maupun kesehatan dia usahakan stabil. Nabung juga, supaya punya biaya masuk, minimal setengahnya,” perempuan di depanku meneteskan air mata, pelan tapi pasti. Aku pun tak jauh beda, kaget bukan main dibuatnya. Bahkan akupun tak ada apa-apanya dengan bagaimana Lina berjuang untuk sampai sini. Tanpa terencana, air mataku meleleh juga. Rasanya malu sekali, kudekatkan tangan mengepal di dada.

“Lina nggak suka dikasihani. Terlebih kamu saudaranya.”

“Aku bukan kasihan,” tapi malu, kalimat ini hanya terucap dalam hati. “Terima kasih ya, sudah berbagi cerita.”

Aini mengangguk, kemudian seseorang dari kamar depan memanggilnya. Ia segera bergegas, melambaikan tangan ke arahku, “udah dulu ya.”

Aku mengangguk, bukan sebatas anggukan mengiyakan namun juga dalam tabir perenungan. Picik sekali ya pikiranku? Semua orang kan beda-beda, baik kesibukan maupun latar belakang. Kita tidak berhak menilai orang lain dengan standar yang kita buat sendiri. Karena kita, belum tentu pernah ada di posisinya. Memangnya sudah yakin kalau kita lebih baik dari orang itu?

Oleh: Desi Nur Istanti