Ustadz Muslih Ilyas: “Tampakkan Identitas”

Diposting pada 166 views

Mengajar menjadi aktivitas sehari-hari bagi Ustadz Muslih Ilyas (59), Ustaz di PP. Al-Munawwir Komplek Q Krapyak, Yogyakarta. Mengajar menjadi aktivitas wajib untuk mengajarkan kepada santrinya betapa pentingnya arti sebuah kedisiplinan.

Kedisiplinan merupakan sesuatu yang sangat identik dengan Ustaz kelahiran 3 Januari  1958, Drs KH. Ustadz Muslih Ilyas. Beliau juga  dikenal aktif di berbagai organisasi regional dan nasional, diantaranya pernah menjabat sebagai sekretaris GP Ansor. Adapun di dunia politik beliau mendapatkan amanah sebagai sekretaris III DPR Provinsi kota Yogyakarta.

Selain aktif di organisasi dan dunia politik, ustaz Muslih juga sempat aktif di dunia dakwah. Terbukti dengan keikutsertaannya dalam Lembaga Dakwa NU (LDNU) dan lembaga dakwah Tunas Melati (Muhammadiyah), yang mana lembaga ini hanya mengorganisir dari beberapa tutor yang mendaftar, seperti tutor untuk mengaji Alquran sampai mata pelajaran di sekolah.

Banyak kisah menarik dari perjalanan hidup Ustaz Muslih. Pernah suatu ketika sebelum beliau naik jabatan di PPP, pada lajnah penetapan calon, semua orang berebut untuk mengajukan dirinya, dalam istilah politiknya dikenal  “perebutan kursi jabatan”. Ketika semua orang berambisi masuk tim, beliau tetap diam tak mempedulikan kekisruhan tersebut. Namun pada akhirnya, dalam sidang pleno tersebut beliau justru terpilih dan ditetapkan sebagai DPR dari fraksi PPP bersama dengan Ibu Ny. Hj. Ida Fatimah Zainal (Pengasuh PP. Al Munawwir Komplek R) dari fraksi PKB.  Menariknya, dari tiga kali berturut-turut menjadi DPR Ustaz Muslih belum pernah berorasi di depan umum dan tidak sepeserpun memakai uang selain uang gaji yang berhak ia dapatkan.

Kisah Selama Nyantri

Momen menjadi santri memang tidak dapat dilupakan bagi sebagian orang, tanpa kecuali Ustaz Ustadz Muslih Ilyas. Beliau mengenang ketika mondok selama 15 tahun tanpa dibiayai oleh orang tua. Dimulai dari nyantri di Lirboyo selama enam tahun dan dilanjutkan di pondok Krapyak. Suatu ketika, sehabis kecelakaan di pondok Lirboyo, beliau disuruh sowan menghadap Kiai Mahrus. Kemudian, beliau disuruh oleh Kiai Mahrus untuk menemui Kiai Pasuruan, yang tak lain adalah mertua Ibu Nafis (Pengasuh Komplek Hindun Anisah PP. Ali Maksum). Kemudian, beliau dititipkan kepada KH. Ali Maksum kala itu.  Dari situlah beliau mengenal Krapyak.

Selama di Krapyak, Ustaz Ustadz Muslih Ilyas diamanahi sebagai tukang memasak (ikut ndalem). Selama beberapa bulan di Krapyak, beliau merasa waktunya banyak terbuang sia-sia, mengingat pengajian hanya dilakukan sore, malam dan pagi hari. Sehingga beliau memberanikan diri sowan kepada KH. Ali Maksum untuk sekolah lagi.  Kiai Ali pun menyetujui keinginan mulia tersebut.

Baca Juga:  Menjadi Kartini Masa Kini Versi Miss Kartini

Setelah menyetujui keinginan Ustaz Muslih, Kiai Ali memberikan beberapa tumpukan kitab pada Ustaz Muslih untuk dipelajari. Lantas Kiai Ali menganjurkan agar Ustaz Muslih masuk kelas satu atau kelas dua Aliyah (setingkat SMA). Akhirnya, Ustaz Ustadz Muslih Ilyas pun berhasil menamatkan Pendidikan SMA di Madrasah Aliyah Krapyak. Setelah rehat beberapa saat, beliau melanjutkan pendidikannya di IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Keputusan untuk kuliah ini diambil setelah memikirkan banyak pertimbangan. Salah satunya adalah biaya masuk kuliah yang waktu itu sebesar Rp. 35.000.

Kuliah dan Dinamika Kampus

Selama kuliah, Ustadz Muslih Ilyas termasuk mahasiswa yang mandiri. Tak ada kiriman uang saku dari orangtua. Semua kebutuhan ia cari sendiri dengan bekerja part time. Tawaran kerja ini didapat dari Kiai Ali As’ad, yakni membantu Kiai Ali As’ad mengetik. Awalnya Ustaz Muslih tidak mempunyai kemampuan mengetik. Namun, seiring berjalannya waktu, dengan kesungguhan dan ketekunannya, beliau bisa mengetik dengan lancar, hingga muncul target berapa lembar harus mengetik setiap harinya. Menjalani aktivitas seperti ini mengakibatkan ngajinya di pondok keteteran. Uang yang didapat dari mengetik memang cukup untuk membayar biaya kuliah, tetapi ia tak bisa mengikuti pengajian di pondok. Namun, jika ia kembali lagi ke pondok, ia khawatir tidak bisa melanjutkan kuliah. Pikiran itu menghantui hari-harinya selama di tempat Kiai Ali As’ad, sampai akhirnya ia putuskan untuk kembali ke Krapyak.

Rejeki memang bisa datang dari mana saja. Doa Ustaz Ustadz Muslih Ilyas untuk bisa menyelesaikan kuliah dan pondok diperlancar. Di pondok, ia membantu memasarkan Kamus Almunawwir karangan KH. M Warson Munawwir (Pengasuh PP Almunawwir Komplek Q), sehingga ia mendapatkan komisi dari hasil penjualannya. Terhitung setiap penjualan satu kamus ia mendapatkan keuntungan sebesar Rp.10.000. Ustadz Muslih Ilyas memasarkan kamus Almunawwir di sebaian besar Pondok Pesantren di Jawa Timur, mulai dari Pasuruan, Jombang, Gontor, Tulung Agung sampai Trenggalek. Dengan pendapatan itulah ia memenuhi kebutuhan kuliahnya. Penghasilannya saat itu sisa jika hanya untuk biaya kuliah.

Disiplin Waktu

Pak Muslih masih sangat mengenang wejangan dari Kiai Ali As’ad :

“Le jangan pernah menyembunyikan identitasmu, di mana saja tampakkan identitas sebenarnya. Jika kamu bisa disiplin maka orang lain akan menyesuaikanmu, bukan kamu yang menyesuaikan dengan orang lain”

Baca Juga:  Kisah Jemaah Haji yang Gagal Berangkat

Ustaz Muslih memang mengamalkan wejangan dari para gurunya dengan sungguh-sungguh. Terlebih ia selalu merasa tak punya keahlian tertentu yang bisa mendorong karirnya. Sebab itulah ia sangat mengandalkan disiplin, karena disiplin akan mendorong kepercayaan seseorang. Ketika kita sudah mendapatkan kepercayaan dari orang lain, maka kita akan mendapatkan kemudahan di berbagai urusan. Contohnya adalah ketika beliau meminta rekomendasi dan tanda tangan orang-orang penting, permintaan itu langsung disetujui, karena mereka sudah percaya dengan Ustaz Muslih.

Selain itu, Ustaz Muslih menceritakan tentang seorang guru yang sudah ditunggu lama oleh murid-muridnya, namun dengan seenaknya guru tersebut datang terlambat. Hal seperti itu akan membuat murid-murid menyepelekan disiplin waktu, karena tokoh yang menjadi panutannya juga tidak bersikap disiplin.

Pernah suatu ketika di hari Jum’at Pak Muslih mengadakan perjalanan dengan seorang tokoh Golkar bernama Pak Joss. Pak Joss adalah seorang Kristian yang taat. Melihat Pak Muslih selalu menggunakan peci, ia menyuruh Pak Muslih sholat Jum’at terlebih dahulu.

“Pak Muslih silakan sholat Jum’at dulu” kata Pak Joss,

“Jadi gini Pak Joss, kita sebagai umat Islam memang wajib untuk sholat Jum’at akan tetapi ketika dalam perjalanan jauh seperti ini kita diberi toleransi untuk tidak ikut sholat Jum’at” jawab Pak Muslih waktu itu.

“Oh.. tidak apa-apa Pak, Bapak sholat dulu saja nanti kita tunggu di restoran itu” ungkap Pak Joss,

Begitulah buah dari kedisiplinan, orang lain tak terkecuali Pak Joss begitu percaya pada Pak Muslih bahwa dengan Pak Muslih sholat Jum’at tetap akan bisa sampai tempat tujuan di waktu yang tepat.

Sejak kecil, Pak Muslih memang sudah belajar memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Ia tak mau membuang-buang waktu untuk hal yang kurang bermanfaat. Oleh sebab itu, ia selalu menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan dan aktivitas. Menurutnya, usia anak harus dipaksa tidak bisa hanya mengandalkan kemauan, dengan begitu kebiasaan memaksimalkan waktu dengan sebaik mungkin akan tumbuh.

( Umi Nur Cahyati dan Nila Putri)