Tangis Tak Berwujud

Diposting pada 20 views

Hujan deras malam ini mengguyur desaku, suara petir tak henti-hentinya bersautan di atas langit sana. Bahkan tanah mulai memuntahkan air yang di kandungnya, sungai yang tak lagi mampu membendung apa yang ada di dalamnya, sehingga air mulai meluap dan mengalir tak berperasaan ke halaman rumah warga membawa banyak sampah ke atas permukaan. Mungkin, besok pagi akan menjadi suatu pemandangan yang memprihatinkan bagi mata manusia. Dan untuk semua ini, salahkan manusia yang tak mempunyai rasa malu membuang sampah ke aliran drainase depan rumah!

Ahh, mengapa ini otakku tiba-tiba memikirkan hal seperti itu. Tidak biasanya aku terlalu peduli dengan cuaca bahkan sampai ulah manusia sekitar. Bukan! Salah! Aku sudah terbiasa dengan fikiran seperti ini, keadaan seperti ini, ditambah lagi dengan cuaca malam hari ini yang mendramalisir keadaan di dalam rumahku ini. Jujur, aku benci dengan keadaan ini! Aku benci semuanya!

“Pranggggggg…” suara itu lagi batinku. Sudah menjadi kebiasaan untuk setiap malamku mendengar hal-hal tak mengenakkan telinga seperti ini. Namun, aku tidak berani untuk melihatnya, aku takut, aku tidak ingin melihat ibuku menangis tanpa air mata lagi setiap malamnya, dan aku juga tidak ingin membangunkan adikku yang sudah terlelap dengan tidurnya. Ibu, maafkan aku yang tidak dapat melakukan apa-apa di sini. Tes.. Setetes air mata jatuh dari pipiku tanpa permisi kepadaku. Dan akhirnya aku terlelap meninnggalkan kondisi rumah yang mungkin sekarang tak beraturan lagi, pecah! Semua mungkin telah pecah!

“Rima..” suara ibu memanggilku.

“Iya bu, adik sudah memakai seragamnya bu. Apa makanan sudah siap?” aku tau panggilan ibuku disetiap paginya kepadaku bermaksut apa, karena memang ini sudah menjadi kebiasaan bagiku, ahh padahal baru saja dua minggu, tapi aku sudah terbiasa. Senyum miris menghiasi bibirku.

“Baguslah, iya ini ibu masak sayur kangkung kesukaan kalian. Makannya jangan terburu-buru, ambil nasi secukupnya. Ingat! Tidak boleh ada sebutir nasi yang tersisa di piring kalian nanti, karena sebutir nasi itu akan dipertanggungkan di akhirat kelak nak. Di mana Ara?” belum sempat aku menjawab, Ara sudah muncul di hadapan kami dengan seragamnya.

“Wah, cantik sekali anak ibu.. kalo sudah kumpul semua ayo kita makan sama-sama, Rima pimpin doa mau makan ya?” adikku memang cantik, dia dapat mengubah suasana hati seseorang dengan cepat. Allah adil kepada kami, disaat kondisi keluarga kami yang seperti ini, ada Ara yang bisa tetap menyemangati ibuku. Aku sayang kamu dik, ucapku dalam hati. Lalu aku segera memimpin doa sebelum makan, kemudian kami menikmati makanan bersama. Alhamdulillah sungguh nikmat makanan ini, setidaknya dengan adanya sarapan pagi, dapat membuat ibuku mengembangkan senyumnya kepada kami.

Ikrima Rizkiya An-Nada, nama yang diberikan kakek kepadaku dahulu ketika aku baru lahir. Aku lahir dari seorang ibu yang hebat, beliau mampu mengapresiasi kami sebagai anaknya untuk tidak mudah menyerah. Jika suatu masalah tidak dapat dihadapi, maka harus dikembalikan kepada-Nya. Aku mempunyai seorang adik perempuan bernama Amara Lana Fatiha, panggilannya Ara. Adik yang menggemaskan dengan pipinya yang chubby dan tahi lalat didekat bibirnya bagian kiri. Aku mempunyai seorang ayah yang baik, beliau mampu membuat anak-anaknya tertawa sekaligus menangis karenanya. Ayahku pandai berekspresi, beliau bisa menunjukkan sikap humoris dan lembutnya kepada keluarganya. Akan tetapi, beliau bisa berubah tegas saat aku sebagai kakak tidak memberi contoh yang baik kepada adikku atau pada saat aku dan adikku ketahuan melakukan perbuatan yang kurang baik. Ayahku mengajarkan kapadaku sikap untuk tegas dalam menghadapi masalah dan jangan suka meminta belas kasih dari orang lain. Setiap harinya kami sekeluarga selalu tertawa bersama, menghabiskan waktu bersama. Jikalau hari libur tiba maka ayah akan mengajak kami untuk berlibur bersama. Bahkan dulu aku jarang mempunyai waktu bermain bersama teman karena setiap hari libur, keluargaku selalu mempunyai kegiatan bersama.

Baca Juga:  Alat Mandiku,Alat Mandimu, Alat Mandi Kita Semua

Begitulah gambaran keluargaku beberapa minggu yang lalu, karena sekarang kenyataan berbanding terbalik. Semenjak ayah meninggalkan kami dua minggu lalu, keadaan dikeluargaku menjadi tak sehumoris dahulu. Ibu menjadi pendiam dan lebih tertutup, bahkan setiap malam ibuku akan mengeluarkan segala pakaian dan barang-barang ayahku dari dalam lemarinya. Setiap malam selalu begitu, keadaan rumah akan menakutkan karena ulah ibuku, tetapi paginya selalu rapi kembali karena ibuku sudah menata ulang semua pakaian ayahku. Hal ini yang tidak bisa aku terima dari sikap ibuku, beliau sangat mencintai ayah sehingga kepergian ayah berdampak pada sikap dan tindakannya. Ingin sekali rasanya aku bisa muncul dihadapan ibuku setiap malam untuk menghiburnya dan menenangkannya. Karena aku tidak tega melihat adikku yang setiap hari harus bertanya kepadaku mengenai ayah. Bukannya aku tidak apa-apa dengan kepergian ayah, aku terpukul, sangat terpukul. Melihat ayah yang terbungkus oleh kafan, tidak bergerak sama sekali, membuatku merasa bersalah karena belum bisa menjadi anak yang baik kepadanya. Aku ingat akan satu hal mengenai permintaan ayahku kala itu kepadaku.

“Nduk.. kamu ngerti enggak kenapa ayah tak membolehkanmu minta jajan kepada temanmu?” ayahku mendekatiku yang saat itu sedang tiduran di shofa ruang keluarga.

“Hmm.. iya yah, biar Rima tidak kebiasaan meminta-minta teman dan jikalau masih mampu maka memberi lebih baik daripada meminta-minta.” Jawabku seadanya diiringi cengiran khasku.

“Benar sekali, ayah ingin kamu kelak menjadi perempuan yang kuat seperti ibumu. Berpendidikan tinggi meski dari keluarga yang kurang berada karena tekad itu mengalahkan segalanya. Maka mulai sekarang, tanamkan niat untuk sungguh-sungguh belajar dalam hatimu, tapi jangan lupa ibadah itu harus selalu dalam setiap kegiatanmu. Ayah akan bangga jika anak-anak ayah kelak akan lebih sukses dari ayah.” Ayah memelukku saat itu, namun ketika ayah akan menciumku, aku cepat-cepat melepaskan pelukan dari ayah dan pergi begitu saja. Mulai saat itu, ketika ayah akan menciumku aku selalu menghindar, karena apa? Hanya sebuah alasan sepele yang tak masuk akal. Ayah mempunyai kumis yang cukup lebat, dan mulai saat ayahku sakit, karena penyakitnya mengharuskan jari-jari kaki ayahku diamputasi. Sehingga ayahku tidak terlalu memikirkan penampilannya, kumis tumbuh lebat di sekitar mulut dan hidungnya. Ayahku selalu menanggapi sikapku ini dengan senyuman di bibirnya. Tidak pernah bertanya mengapa aku tidak mau diciumnya. Perasaan bersalah yang tak dapat lagi disembuhkan.

“Mbak.. aku tadi di sekolah di panggil bu guru” ucap adikku di sela-sela kami makan siang bersama.

“Kenapa dik, apa kamu berbuat kesalahan?”

“Enggak kok mbak, kata bu guru, besok hari Ahad aku disuruh datang ke kantor desa karena mau diadakan santunan bagi anak yatim, apa nanti aku akan mendapat uang mbak di sana? Enak berati ya menjadi anak yatim.”

Deg… tak bisa ku tahan lagi. Aku kaget dan marah pada adikku, bisa-bisanya dia senang dengan keadaan ini.

“Ara!!! Bisa tidak kalau ngomong itu difikir dulu! Kamu senang ayah meninggal??!” aku menggebrak meja dan meninggalkan adikku sendiri di meja makan. Aku marah, sungguh marah. Apa dia tidak bisa mengerti kata ‘yatim’ itu apa? Aku pergi ke kamarku dan menutup pintu kamar. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa ketahuan siapapun.

Baca Juga:  Tuhan Bersamanya

Pada malam hari, aku keluar kamar setelah aku tertidur tadi sore di kamarku. Aku lupa tidak melakukan shalat maghrib, Ya Allah.. ampuni hamba. Hamba terlalu marah dengan adik hamba tadi dan juga keadaan rumah yang tak kunjung-kunjung membaik. Mengapa disaat manusia terlalu memikirkan masalahnya dan terlalu berlarut-larut dengan kesedihannya, dia selalu masa bodo dengan sekitarnya? Selalu merasa dia yang paling menderita, dan tidak punya siapa-siapa. Ingat kepada Sang Pencipta saat masalah sudah di ujung dan tak lagi mendapatkan jalan keluar. Padahal di balik itu semua, Allah selalu ada buat hamba-Nya, Allah memberikan masalah kepada hambaNya, maka kewajiban seorang hamba sabar dan tabah dari semua masalah yang menimpanya tersebut. Serahkan semua kepada Allah, karena di dunia ini tidak ada yang abadi. Allah lah yang maha kekal.

Aku tersadar, dan segera keluar dari kamar. Aku pergi mencari adikku, namun nihil. Adikku tidak ada di mana-mana. Aku takut, apakah dia sangat marah padaku. Aku pergi menuju kamar ibuku, di sana aku melihat beliau mulai mengeluarkan pakaian-pakaian ayahku dari lemarinya. Sungguh, aku merasa belum bisa menjadi anak yang baik baginya. Aku mendekati ibuku, dan menahan apa yang akan ibu lakukan kembali.

“Sudah ibu, sudah.. cukup. Ibu, adik tidak ada di rumah..” ucapku dengan sedikit bergetar karena menahan tangis. Namun, ibuku tetap melanjutkan aktivitasnya dan menghiraukanku. Beliau seperti tidak menyadari kehadiranku, tak ada air mata yang mengalir dari kedua matanya, namun aku yakin luka di hati ibuku sangat besar hingga air mata tak lagi turun membasahi wajah cantiknya.

“Ibu!!! Apakah ibu mau kehilangan untuk yang ke dua kalinya?!! Adik tidak ada di rumah bu, jika keluarga kita tidak ada yang bisa menerima keadaan ini, maka semua akan menjadi saling menyakiti bu! Ibu.. ayo kita cari Ara… hiks” aku sudah kehilangan kesadaranku, hingga aku berani membentak ibuku sendiri. Namun, apa yang ku katakan benar. Aku lihat ibuku berhenti, dan beliau menatapku dengan raut penyesalan. Beliau memelukku yang telah terduduk lemas dengan tangis yang terus menerus bercucuran. Ibuku menangis sambil memelukku. Ku rasakan kehangatan dan kedamaian yang lama tidak lagi ku rasakan akhir-akhir ini. Aku sungguh menyayangi ibuku.

Kami mencari adikku di luar rumah, keadaan sudah gelap. Ibuku tak henti-hentinya berdoa untuk adikku. Air mata juga masih terus mengalir dari kedua matanya. Saat aku dan ibu berniat untuk mengambil motor guna mencari adikku, terdengar suara dari arah ruang makan. Dan ternyata dugaanku benar, adikku dengan muka tanpa dosa sedang berusaha membuka bungkus roti dari kulkas. Aku dan ibuku berlari menghampiri adikku dan memeluknya erat. Dia yang merasa gerah dan keheranan dengan sikap kami lalu mengeluaarkan suaranya.

“Aku lapar bu, apakah ibu tidak masak lagi? Kenapa mbak Rima meluk-meluk aku, sambil nangis lagi, padahal tadi siang marah-marah gak jelas. Ihh kangen ya sama Ara? Emang Ara itu ngangenin yaa.. hehehe”

Begitulah adikku, dia selalu bisa menghibur kami sekeluarga dengan kepolosan dan sikapnya. Syukur tak henti-hentinya kami ucapkan kepada Allah Swt. Ibuku kembali seperti dahulu, dan adikku tetap dengan kepolosannya, sedangkan aku? Aku melanjutkan belajarku di bangku MTS. Allah selalu punya cara terbaik bagi masalah hamba-Nya.