Tidak Cocok dengan Calon, Golput Jadi Solusi? (2)*

Diposting pada 37 views

Menggunakan hak pilih saja tanpa memperhatikan yang dipilih juga bukan merupakan hal yang baik. Pemerintahan yang baik juga akan didapatkan melalui hasil pemilihan oleh rakyat yang cerdas. Dalam hal ini ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pemilih sebelum menentukan pilihannya. Pertama ia dapat melihat rekam jejak para calon pemimpin. Kedua, cermati program-program yang ditawarkan oleh para calon pemimpin. Jadilah pemilih yang rasional bukan fanatik. Sebagus apapun rekam jejak dan program yang diusung suatu calon apabila ia bukan bagiannya, maka tetap saja jelek di mata orang fanatis. Kemudian terakhir atau ketiga, lihat integritas personal yang dimiliki oleh para calon.

Lalu bagaimana dengan kelemahan dan kelebihan yang ada pada masing-masing calon? Dalam ushul fiqh, terlepas dari hal-hal tersebut, tetap diharuskan untuk memilih. Pertama, ada satu kaidah yang berbunyi, laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu (jika tidak memungkinkan dilaksanakan semua, maka jangan tiggalkan semua). Menurut kaidah di atas, apabila tidak ditemukannya kecocokan pada calon-calon pemimpin, maka kita tidak boleh tidak memilihnya begitu saja.

Kedua, menggunakan kaidah dalam maqashid syariah. Dalam konsep maslahat, ketika ada pertentangan antara maslahat dan mafsadat maka didahalukan maslahat. Lalu bagaimana mengetahui mana yang maslahat dan mafsadat? Salah satunya adalah dengan cara mempelajari rekam jejak para calon pemimpin tersebut.

Ketiga, bagaimana apabila semua calon tidak ada yang baik? Dalam hal ini dipilih mana yang keburukannya paling ringan (akhoffu ad dzororoini) di antara keduanya. Memilah mana dampak negatif yang lebih sedikit dari keduanya.

Keempat, bagaimana dengan calon-calon yang bagus rekam jejaknya, sehingga bingung untuk menentukan, apakah golput menjadi jalan keluar? Tentunya tidak. Apabila baik keduanya, maka pilih mana yang paling baik di antaranya. Apabila sholih (baik) bertemu dengan aslah (paling baik), maka aslah didahulukan.

Baca Juga:  Makna Zakat Profesi

Terbentuknya sebuah negara dengan pemerintahan yang baik adalah keharusan. Bagaimana bila rakyat ingin sejahtera bila pemerintahannya buruk? Oleh karena itu, pemerintahan yang baik merupakan pra syarat terbentuknya negara dengan rakyat yang sejahtera. Dalam kaidah fiqih, ma laa yutimmul wajibu illa bihi fahua wajibun (perkara yang menjadi penyempurnaan dari perkara wajib, hukumnya wajib juga). Apabila terbentuknya baldatun thoyyibatun warabbun ghofur dan khoiro umma adalah kewajiban, maka pemerintahan yang baik juga wajib. Dari mana didapatkan pemerintahan yang baik? Ya dari pemilihan umum yang dilakukan oleh rakyat. Maka bersikap partisipatoris dan aktif dalam politik adalah suatu keharusan.

Mengapa Orang Memilih Golput?

Ada beberapa hal yang menjadi alasan seseorang untuk golput. Pertama, dikarenakan ia buta akan rekam jejak calon pemimpinnya. Ia tidak begitu mengenali siapa nama-nama yang akan menduduki kursi pemerintahan. Terutama pada calon legislatif di daerah-daerah. Masyarakat sebagai pemilik wilayah yang diwakili dalam daerah pilihannya, merasa tidak mengenali para calon legislatif tersebut. Kedua, alasan orang memilih golput adalah adanya anggapan bahwa politik tidak urgen dalam agama. Padahal politik tidak terpisahkan dari agama. Para intelektual dalam Islam semacam Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki konsep al Islamu Ad diin wad Daulah. Bagian dari konsep memoderasikan, memadukan, atau mengintegrasikan agama dan negara yang dalam hal ini adalah politik. Oleh karena itu golput tidak dibenarkan, karena dalam Islam sendiri, tidak menyikapi politik dengan sikap apatis. Justru menyikapi politik sebagai bagian yang integral dari ajaran agama.

Sebagaimana peristiwa piagam madina pada zaman Rosulullah Saw. Suatu gerakan membangun masyarakat madani pada saat itu. Madani berasal dari kata madina yang artinya kota, kota berasal dari kata tamaddun yang bermakna peradaban. Jadi madani adalah masyarakat yang melek peradaban, organisasi, aturan dan politik. Kemudian dikenal dengan istilah civil society.

Dari penjelasan di atas, maka pemilu adalah amrun wajibun dhororiyun li syar’i untuk terciptanya baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur dan khoirul ummah, pemilu awalnya memang dianggap sebagai sesuatu yang sekunder atau hajiyah, namun melihat alasan-alasan tadi, pemilu bisa naik menjadi sesuatu yang dhoruri atau primer. Jika pemilu hanya bersifat sekunder atau memilih tidak memilih sama saja, maka yang terjadi akan terpilihnya pemimpin yang tidak berkompetensi.

Baca Juga:  Gus Muwafiq: Filosofi Tembang Jawa 

Khoirul ummah dalam Alquran surat Ali Imran ayat 110 adalah umat terbaik yang dilahirkan yang menyeruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Untuk melakukan tugas tersebut tidak bisa dilaksanakan secara individualis saja. Tetapi bisa diterapkan dalam undang-undang. Demikian itu adalah bagaimana memahami ayat-ayat tadi dalam konteks kekinian. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “kebaikan yang tidak terorganisir dengan baik akan kalah dengan kejahatan yang terorganisir dengan baik”. Perkataan Sayyidina Ali ditunjukan pada mereka yang memilih berdasarkan fanatik bukan pada rasionalitasnya.

Setelah membaca penjelasan di atas, tentunya dapat diketahui bahwa memilih pemimpin adalah sebuah kewajiban. Golput tidak dibenarkan dalam Islam. Golput tidak akan menyelesaikan berbagai permasalahan atau mengobati luka kekecewaan kita terhadap pemerintah. Dengan memilih kita telah memberi andil untuk kemajuan peradaban bangsa sendiri.

 

*Hasil wawancara dengan Ustadz Maulidi

(Ustadz di Madrasah Salafiyah III dan Dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)