Berpondasi keyakinan jelata, urat nadi di hitam buana nusantara Tegaklah ia, sebatang cemara Kukuh dahan penopang langkah Hendaklah ranting bertelinga nyaring Biar hijau daun menimbun merimbun anggun Teruntuk pucuk : tahta bukan sekedar kursi empuk Gemakan suara lantang mengangkasa Agar rimbun cemara dilirik dunia Rangkul hiruk-pikuk dengan santun Dengan segenggam

Terima kasih Nabiku, Untuk perjalanan sangat jauh yang telah Engkau tempuh Untuk ujian kesekian yang telah Engkau tuntaskan Untuk cinta kasihmu yang tak pernah semu Terima kasih… Tanpa perjalanan jauhmu yang menembus langit ketujuh itu Mungkin rakaat sholat akan tetap tujuh puluh Dan bagaimana kami akan menunaikannya Sedang yang tujuh

Hari santri saat ini sungguh spesialCovid masih ingin bertamuThibbil Qulub menggaungMujahadah dan khataman makin melaju Media sosial ramai ucapanTwibbon berseliweran Status WhatsApp turut mengucapkan Selamat hari santri, semua online saat pandemi Dua puluh empat purnama yang lalu,Panggung Krapyak cantik jelitaLukman Hakim Saifuddin baca puisiKrapyak riuh orang berdatanganDzawin mementaskan komediPara santri

Selamat pagi mimpi Sengaja kuucapkan selamat pagi agar mataku segera terbuka Dan kembali pada kenyataan yang ada Agar pikiranku pun ikut terbangun Serta sadar, raga ini hidup dalam realitas bukan bias Mimpi adalah kunci untuk menakhlukkan dunia, katanya Tapi mewujudkannya adalah langkah pertama Mimpi tanpa aksi hanya akan berakhir menjadi

Setahun sudah kita hidup di balik tutup pintu Baris-baris rencana yang telah tersusun rapi Kini harus berakhir sebelum sempat terjadi Segala aktivitas harus dibatasi Protokol-protokol yang mesti ditaati Pembelajaran yang tak mudah dipahami Puing-puing rupiah yang semakin sulit dicari Apa ini akibat dari kejahiliyahan yang kembali terjadi? Di mana kesombongan,

Hari itu, alam mengajak kami bercengkrama Tentang pohon tua di sudut kota Kepada insan-insan yang sedang putus oleh asa Tentang ranting rapuh yang harus menopang berlembar-lembar daun, Tentang bunga yang kembali gugur Ketika buah kecil mulai tumbuh di pohon lain, Tentang buah yang habis sebelum hari panen tiba, Tentang usia

   (oleh: Indah Fikriyyati)   Pelupuk mata layaknya langit abu-abu Gemuruh terdengar bersahutan dari dalam hati Jiwa-jiwa kering dihantarkan menuju altar peraduan Salam perpisahan dilambaikan dari batas gerbang, isak terisak seketika tak bisa dibendung Kehidupan sesungguhnya barulah dimulai Tak ada kasur busa, yang ada hanyalah tikar seadanya Tak ada air

Langkah yang berdetak Tak pernah berhenti menapak Tak pernah memaksa ataupun mendesak Menuntun akhlak insan yang rusak   Setiap lingkar purnama Tak pernah mengalahkan keindahan sinarmu Nama serta jiwa mu takkan pernah redup Menjadi lentera petunjuk dalam gelap gempita.   Angin pun berhembus Tak pernah berdusta Menerobos jiwa yang hampa

  Menjelang sunyi di tengah-tengah mata terpejam Duduk bersimpuh menghadap kiblat Menutup lisan berbisik dalam hati nurani Berteriak tapi tak bersuara Akhirnya air mata menjadi penerus teriakan Merajut segala asa untuk menumbuhkan sejuta harap Jalan berliku dan tajam kau harus berhati-hati Jika tidak kau akan terpeleset ke jurang penyesalan Sedikit

Kubertanya pada pohon Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa hati? Namun pohon hanya menjatuhkan daun Kubertanya pada angin Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa jiwa? Namun angin hanya memainkan ujung kerudungku Kubertanya pada laut Kapan terakhir kali aku sembahyang membawa air mata kepasrahan? Namun lagi-lagi tidak ada jawaban Sekali lagi,