Menyusuri sangkala terasa begitu singkat Enigma tentang angan seakan terhapuskan Namun akankah seluruhnya pasti jadi luruh? Yang tahu antar laku tentu hanya kita Untaian tawa antara aku dan kalian Sekejap telah menyeruakkan binar riang Ucap yang tak sengaja merekahkan amarah Nanti lumat sendiri ditelan perbincangan Pesan rindu acapkali membelenggu sendiri

Sadarkah dikau akan setiap gerik tingkah yang tak beraturan ini Kau seenaknya menentukan masa depanmu Tanpa kau sadari banyak orang yang terkadang kau repoti Entah nasib atau keberuntungan mereka hanya berkata iya walaupun tak tahu tujuan utamamu Terkadang terbesit rasa sungkan akan sebuah angan yang sangat mudah didapatkan Pun juga

Setelah ku ambil air suci Ku hampiri benda itu dengan berat hati Karena mata ini pun rasanya masih belum rela terbuka lebar Ku paksakan untuk menatapnya, lantas menjamahnya Ku gelar di ruang kholwat ku   Sajadah, Tempat ku memuaskan diri Menumpahkan segala rasa Rasa syukur atas segala kepercayaan dalam hidup

Merah membara di  barat sana Memancarkan keagungan yang Maha Kuasa Apakah itu senja Kenapa orang selalu memuja Memuja menyebut-nyebut namanya Tak bosan orang melihatnya Menunggu menanti kehadirannya Tuhan..  Apa hanya aku yang tak dapat menikmatinya Menikmati keanggunannya Apakah begitu besar dosaku Tidak mengerti arti keindahan ciptaan-Mu Oh Tuhanku Di saat

Wahai Sujana Sang kelana semesta Fana sudikah kau menatap sejenak dalam hibukmu dan dengarkan aku mengunggah senandika Kau tahu? Semalam sang kemukus melintas dalam sekedipan mata dan tetiba retinaku memendar indah mengapalah bianglala serasa nyata dalam pekat tak bercahaya Ku belai angkasa dengan tegas Menggapai jemarimu   wahai Sujana, aku

Langkahku mulai lelah Sekian waktu terlampaui sudah Tak peduli seberapanya kurapuh Perjalanan tetap harus ditempuh. … Apalah dayaku Manusia berdebu Yang seringkali keliru dan mengadu Seperti tak taunya malu Terus meminta tapi minus usahaku … Di atas sajadah aku bertumpu Pada Sang Kuasa aku mengeluh Atas restu Tuhanku Kelak kebaikan

Perasaanku resah Gelisah tiada tara Usiaku bertambah Langkahku masih saja goyah Pikiranku lelah Hal-hal yang begitu indah Hanya sebatas kata Lika liku kehidupan ini sulit Nyatanya sering sakit Tangisku tak lagi mudah Tak lagi melegakan Meskipun napas sehelaan Dengan segenggam sisa percaya Beriringan kehampaan yang meraja Ku cobakan melangkah Entah

Hai Manusia kuat..  Kau tak perlu memendam rasamu  Jika itu baik untukmu  Kau hanya perlu jujur   Jika kau sedih menangislah    Kuat bukan berarti tidak boleh menangis Tapi ketika kita jujur akan perasaan hati kita Itulah kuat yang sebenarnya    Mari sembuh..  Aku tau lukamu masih berdarah  Bahkan untuk mengobati

Tentang takdir yang bahkan Tak satupun mampu mengelaknya.. Tentang nelangsa sang pendosa.. Tentang penyesalan raga yang Terpenuhi kemaksiatan… Jiwa penuh kekhawatiran.. Tanya yang tak berujung..   Apabila sang khaliq bersumpah Dan para pendusta mendurhakainya Saat rembulan telah hilang cahayanya Saat rembulan telah bersatu dengan matahari Tidak ada yang lebih buruk

Setetes peluh terjatuh rapuh Melepuh di tengah keruh Hiraukan gemuruh yang tak sungguh Dari para buruh yang terusuh Terasa fana namun nyata adanya Derit yang menjerit di tengah sempit Bergelar putar dalam melingkar Tak ada pengakuan dari hirauan kelakuan Memaksa asa terus merasa Walau pilu telanjur membiru Ia tak lelah