Ramadan tahun ini rasanya sangat spesial. Bukan karena NU dan Muhammadiyah berbeda dalam mengawali puasa dan merayakan Idulfitri nya, namun Ramadan tahun ini berbarengan dengan peringatan Paskah dan juga Hari Kartini. Momen ini rasanya seperti menjadi pengingat untuk direnungi kembali bagaimana kitab suci menarasikan peran perempuan.
Sudah banyak sekali kajian tentang bagaimana kitab suci sangat bias gender, baik Islam maupun Kristen. Mengapa Adam diciptakan lebih dahulu dibanding Hawa? Benarkah Hawa adalah makhluk sekunder yang berfungsi sebagai pelengkap dan diciptakan dari tulang rusuk Adam? Benarkah derajat laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan? Apakah penyebab turunnya Adam dan Hawa dari surga adalah karena kesalahan Hawa?
Cerita tentang penciptaan Adam dan Hawa, dan juga pengusiran mereka dari surga sama-sama ada dalam Al-Qur’an yakni pada surah Al-Baqarah ayat 30-36 dan surah An-Nisa’ ayat 1, maupun Alkitab Perjanjian Lama (Kejadian 1 dan 3). Cerita ini menjadi begitu menarik perhatian akademisi gender tentunya. Beberapa orang awam melegitimasi tradisi patriarkhi lewat redaksi kitab suci.
Kembali lagi pada momen spesial Ramadan, Paskah, dan juga Hari Kartini. Di bulan Ramadan, Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Al-Qur’an pertama kali pada tanggal 17. Umat Muslim menyebutnya sebagai peristiwa Nuzulul Qur’an. Pada peristiwa tersebut, Nabi Muhammad SAW pulang ke rumah menemui istrinya yakni Sayyidah Khadijah dalam keadaan takut dan gemetar setelah bertemu dengan Malaikat Jibril. Peran Sayyidah Khadijah di sini sangat penting. Dia memberi support kepada Nabi Muhammad SAW hingga beliau merasa tenang dan kuat. Support ini sungguh berarti bagi Nabi Muhammad SAW karena pengalaman ke-ilahiannya sangat memberikan dampak mental baginya.
Beralih ke peristiwa Paskah, saya ingin menyorot peran Maria Magdalena dalam kebangkitan Yesus. Pada hari Jumat ketika Yesus disalib, hampir seluruh murid laki-laki Yesus pergi meninggalkan Yesus. Sedangkan Maria Magdalena murid perempuan Yesus yang paling setia tetap menunggu Yesus. Ia adalah orang pertama yang Yesus temui dalam kebangkitannya. Ini menarik untuk dilihat bahwa di tengah tradisi patriarkhi, Maria Magdalena tidak masuk dalam lingkaran 12 murid Yesus yang terpilih, yang semuanya diisi oleh laki-laki. Namun, Maria Magdalena lah yang mendapat kesempatan mengalami pengalaman Ilahi bertemu dengan Yesus setelah kebangkitannya. Bukan 12 belas murid laki-lakinya, tapi perempuan.
Peristiwa-peristiwa ini membawa saya dalam perenungan yang lebih dalam. Ya, baik dari Sayyidah Khadijah, Maria Magdalena, dan juga Kartini hidup di tengah tradisi patriarkhi. Ketiga tokoh tersebut mewakili perempuan-perempuan tangguh yang membawa perubahan berangkat dari diri sendiri, bukan bergantung pada konstruk masyarakat. Bukan perempuan yang melulu di dapur, kasur, dan sumur.
Jika kita kaji ulang, pada dasarnya agama tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan. Namun, keterbatasan budaya dan bahasa membatasi ajaran agama. Saya jadi teringat diskusi dengan Dr. Nur Rofiah bil ‘Uzm (salah satu pegiat feminis dengan Teori Keadilan Hakiki) yang menjelaskan tentang bahasa dalam Al-Qur’an. Bahasa Arab yang digunakan dalam Al-Qur’an adalah bahasa yang sangat dipengaruhi oleh sistem gender. Begitu juga dengan bahasa Ibrani yang digunakan Bibel (Alkitab). berbeda dengan Bahasa Jawa yang sangat dipengaruhi oleh sistem sosial. Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan bahasa yaitu ngoko lugu, ngoko alus, krama lugu, dan kromo inggil. Misalnya turu, tilem, dan sare. Semuanya bermakna tidur, namun berbeda konteksnya tergantung orang yang diajak bicara.
Dan, ya Al-Qur’an dan Bibel turun serta ditulis di tengah tradisi patriarkhi dengan menggunakan bahasa yang dipengaruhi oleh sistem gender. Sehingga pada akhirnya, keterbatasan bahasa dan budaya itu membatasai maksud kitab suci. Meskipun begitu, jika kita perhatikan lagi narasi-narasi yang bias gender dalam kitab suci ini pada akhirnya mendapat perhatian oleh para ilmuwan untuk memunculkan kajian-kajian gender dan menuntut penafsiran ulang yeng lebih berkeadilan. Oleh karena itu, adanya momen Ramadan, Paskah, dan Hari Kartini ini membuat saya berpikir,
“Akankah Tuhan memberi momen ini dalam satu waktu untuk kita dapat mengingat kembali peran perempuan dalam agama dan dunia, serta mengkaji kembali pemaknaan agama yang lebih setara untuk semua umat manusia?”
Selamat Hari Kartini!
Oleh: Ma’unatul Ashfia