Dialog santri berlangsung pada Selasa (5/11) bersama Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A. dan Suhada, ST., MBA., IPM., sebagai pemateri. Acara yang bertemakan “Optimalisasi Media Dakwah Pesantren” di Aula Kompleks G PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta dimulai pukul 10.00 WIB. Ada sekitar 50 santri perwakilan dari beberapa kompleks di Al-Munawwir yang menghadiri acara tersebut.
Sesi pertama, materi disampaikan oleh Gus Hilmy—panggilan akrab santri. Sesi kedua dilanjutkan oleh Bapak Suhada. Awal mulanya beliau bercerita mengenai kisah pengalamannya selama mondok dan masuk dunia kampus. Beliau bercerita bagaimana mulai mengenal isu Islam radikal yang bermunculan dan berkembang di kampus. Bertahan kuliah hanya satu tahun di Malang kemudian pindah ke Yogyakarta di kampus impiannya. Sebagai santri yang pernah mondok dan berbekal pengalaman di kota sebelumnya, beliau aktif berkecimpung dalam organisasi keagamaan di kampus. Bahkan, di rohis beliau dipercaya sebagai ketua karena dianggap paling netral yang dapat mengayomi anggotanya yang notabene dari berbagai haluan.
Keresahan beliau mengenai isu-isu Islam radikal yang bekembang di kampus, membuat beliau menjadi aktivis yang menyuarakan mengenai isu-isu tersebut. Beliau mengamati bahwa problematika isu-isu Islam tersebut sangat mudah mempengaruhi mahasiswa baru yang haus akan agama, belajar membaca Alquran, dan praktek ibadah sehari-hari. Tidak ada wadah yang mampu menampung tersebut selain dari golongan-golongan mereka.
Radiks secara bahasa berarti akar. Sesuatu yang radiks adalah sesuatu yang dalam sehingga jika dalam memahami agama itu sampai rootnya. Akan tetapi, makna radiks ini menjadi bergeser ketika ada sebuah gerakan yang dianggap radikal dengan adanya perubahan yang mendasar. Menurut beliau,
“Radikalisme adalah orang yang dalam beragama menganggap pemeluk agama lain sebagai musuh atau ancaman bagi dirinya dan ia menginginkan negara ini diatur berdasarkan ajaran agamanya yang secara hukum tidak sesuai dengan sesuatu yang sudah digariskan.”
Beliau mengamati bahwa target group yang perlu dijaga dari radikalisme adalah masyarakat yang baru mengenal Islam—biasanya dari kelompok artis hijrah dan abangan yang tobat dengan semangat agama yang tinggi—kemudian kaum intelektual kelas menengah, dan santri yang pernah mondok tetapi belum matang keilmuannya.
Melihat keresahan tersebut beliau menjadi aktif untuk menggalakkan media-media di pesantren. Beliau pun berharap adanya media pesantren yang mampu bersaing yang dapat dijadikan rujukan yang dapat dipertanggungjawabkan keilmuannya. Saat ini di sela-sela kesibukannya, beliau juga tengah mengembangkan media yang harapannya mampu menjadi rujukan para santri.
Sesi akhir diadakan tanya jawab yang dipandu oleh moderator, Fairuzul Mumtaz. Sebelum acara ditutup, Pak Suhada berpesan sebagai santri kita harus melek terhadap teknologi. Acara pun berakhir dan ditutup pukul 12.00 WIB.
Oleh: Asmak Anisah