Drama Kontemporer Islami: "Bukan Perayaan Mati Rasa"

Drama Kontemporer Islami: “Bukan Perayaan Mati Rasa”

Diposting pada 97 views

Salah satu kegiatan rutin Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q adalah kegiatan muhadloroh setiap satu bulan sekali dengan bergilir setiap rayon. Kegiatan muhadloroh merupakan program kerja dari pengurus divisi Pengembangan Sumber Daya Santri (PSDS). Pada kesempatan kali ini, rayon yang bertugas muhadloroh adalah rayon Q10.

Rayon Q10 kembali menghadirkan sebuah pertunjukan drama Islami yang menggugah hati, berjudul “Bukan Perayaan Mati Rasa“. Acara ini berlangsung pada malam Jumat yang diselenggarakan di mushola barat, menghadirkan kisah penuh makna tentang kehilangan, pencarian makna hidup, dan kembali kepada cahaya iman.

Perjalanan Emosional dalam Setiap Adegan

Drama ini mengisahkan perjalanan hidup seorang wanita muda bernama Lala yang kehilangan ayahnya. Kesedihan dan kekosongan hati membawanya pada pencarian kebahagiaan di dunia, namun tetap tak menemukan ketenangan. Hingga akhirnya, melalui bimbingan ibunya dan sebuah kajian keislaman, ia menemukan kembali ketenangan dalam iman.

Adegan pertama dibuka dengan suasana duka di rumah Lala. Para pelayat datang mengucapkan belasungkawa, namun Lala terlihat mati rasa, tak mampu mengekspresikan emosinya. Suasana ini diperkuat dengan tata panggung yang minimalis, pencahayaan temaram, dan pengiringan musik latar yang menyayat hati.

Di tengah kebingungan dan kelelahan, Lala mencari pelarian dalam dunia kerja dan hiburan. Ia bekerja keras, mencoba mengejar mimpi dan kebahagiaan material. Namun, semakin ia berlari dari kenyataan, semakin hatinya terasa kosong. Konflik batin ini divisualisasikan dengan pergantian adegan yang dinamis, dari hiruk-pikuk kafe tempatnya bekerja hingga malam-malam sepi yang ia lalui dengan perasaan hampa.

Momen Puncak: Kembali pada Cahaya Iman

Salah satu adegan yang paling menggugah adalah ketika Lala mengikuti kajian keislaman bersama ibunya. Dalam kajian tersebut, seorang ustadzah menyampaikan kisah ‘Ammul Huzn‘, tahun kesedihan Rasulullah SAW yang kehilangan Khadijah dan Abu Thalib. Dari ceramah itu, Lala mulai menyadari bahwa hanya Allah yang tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Adegan ini mengundang haru, dengan penghayatan mendalam dari para pemain serta dialog penuh makna yang menyentuh hati penonton.

Puncak perjalanan Lala ditandai dengan sebuah kabar baik, ia berhasil lolos seleksi CPNS. Air matanya kali ini bukan lagi karena kesedihan, melainkan karena syukur yang mendalam. Dari sini, ia belajar bahwa kebahagiaan sejati hanya bisa ditemukan dalam keimanan dan ketenangan hati.

Drama ini memberikan pelajaran berharga bahwa kehilangan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan titik balik untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Kesedihan yang mendalam dapat menjadi jalan menuju kebahagiaan sejati jika dihadapi dengan kesabaran dan keimanan. Selain itu, drama ini juga mengajarkan bahwa dunia bukanlah tempat untuk mencari kepuasan abadi, melainkan tempat untuk berjuang dan menemukan ketenangan dalam keimanan. Kisah Lala menjadi inspirasi bagi kita semua untuk tidak tenggelam dalam kesedihan, tetapi mencari cahaya dalam kegelapan dan yakin bahwa rencana Allah selalu yang terbaik.

 

Pewarta: Laisa Fikriyatul Muskila

Dokumentasi: Arsip Media Komplek Q