Tradisi ngopi sepertinya memang sudah mendarah daging di kalangan santri putra. Begitu pula para santri di Pondok Pesantren (PP) X, di Kota Y, di Provinsi Z (lha seperti rumus matematika saja, X, Y, Z).
Abdul adalah santri baru di PP X tersebut. Ia berasal dari pelosok Desa A yang jauh dari peradaban modern. Suatu hari, ia ditawari ngopi bareng para santri senior.
Senior A: “Dul, sini Dul, kita ngopi bareng”.
Senior B: “Yo Dul sini, ben nggak sepaneng ngono lah, jadi nggak gampang nyalahin orang, haha
Abdul: “Bayar nggak Kang? (dengan muka polosnya)
Senior C: “Santai, gratis kok”.
Kemudian mendekatlah Abdul kepada para senior. Beberapa saat kemudian, terhidanglah 4 kopi hitam.
Abdul: (dalam hati, bathin) “Kok pada doyan ya?”
Senior A dan B: “Buruan Dul, selak dingin kopimu nggak diseruput”.
Senior C: “Iyo, udah digratisin loh”.
Dengan muka polosnya, Abdul bertanya: “Kang, ini nggak pait po? kok air direbus sampe gosong begitu?”
Senior A, B dan C: $#?!@!#$?. Ya Allah Dul, Abdul! (sambil tepok jidat)