Tanggal 14 Februari bukan hanya untuk hari Valentine, tetapi pada tanggal ini juga dicatat sebagai Hari Peringatan Pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air). PETA merupakan singkatan dari “Pembela Tanah Air” yang juga bentukan junta militer pendudukan Kekaisaran Jepang di Indonesia yang didirikan pada bulan Oktober tahun 1943.
Tahukah Anda mengapa terjadi peristiwa pemberontakan PETA? Pada masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia banyak mengalami penderitaan. Oleh karena itu, timbulah perlawanan terhadap Jepang. Padahal PETA sendiri berada di bawah kekuasaan pemerintah militer Jepang. PETA memiliki peran penting untuk menjaga kemerdekaan bangsa Indonesia meski awalnya bertugas membantu Jepang dalam peperangan Asia Timur Raya.
Dilansir dari buku Masa Pendudukan Jepang (2018), tentara PETA (Pembela Tanah Air) merupakan organisasi militer yang dibentuk oleh tentara Kekaisaran Jepang sebagai tentara cadangan untuk melindungi Indonesia dari serbuan tentara Sekutu. Shodancho Supriyadi, Shodancho Muradi, serta rekan-rekannya menjadi penggerak pemberontakan PETA yang terjadi di Blitar. Mereka semua adalah lulusan angkatan pertama pendidikan komandan peleton PETA di Bogor.
Setelah selesai masa pendidikan, mereka kemudian dikembalikan ke daerah asalnya untuk bertugas di bawah Daidan (Batalyon) Blitar. Melihat penderitaan rakyat Indonesia yang diperlakukan bagai budak oleh tentara Jepang, para komandan muda itu pun tergerak untuk melakukan perlawanan terhadap tentara kekaisaran Jepang.
Pemberontakan dilakukan pada 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan PETA yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi menyerang Hotel Sakura yang merupakan kediaman para perwira militer kekaisaran Jepang. Namun, pemberontakan yang terjadi pada 14 Februari berhasil dihalau oleh penjajah dengan memanfaatkan pasukan pribumi yang tak terlibat pemberontakan.
Shodancho Supriyadi yang merupakan pemimpin dari pemberontakan ini dinyatakan menghilang dalam peristiwa tersebut. Namun, ada satu pemimpin di lapangan yang selama ini dilupakan oleh sejarah adalah Muradi, ia tetap bersama dengan pasukannya hingga saat terakhir. Hingga pada akhirnya, pada 16 Mei 1945 diadili dan dihukum mati dengan hukuman penggal sesuai dengan hukum militer Tentara Kekaisaran Jepang di Everald yang sekarang menjadi Ancol.
–
Oleh : Nala Ikfina Utami
Sumber :
Photo by IDNtimes