Hilda

Hilda: Potret Perempuan Pesantren Tangguh

Diposting pada 450 views

“Hilda: Cinta, Luka, dan Perjuangan” adalah sebuah novel karya Siti Muyassarotul Hafidzoh, M.Pd. Novel ini menceritakan kisah hidup Hilda, seorang perempuan tangguh dan cerdas, namun memiliki masa lalu kelam sebagai korban kekerasan seksual. Novel ini menyajikan tragedi yang traumatik, perjuangan hidup yang dramatik, dan dengan bumbu kisah cinta yang rumit antara Hilda dengan Gus Wafa. 

“Novel Hilda bukan sekadar romansa, tidak hanya membuat pembaca berdebar-debar baper, tapi juga membuat pembaca Hilda marah-marah, ingin menangis, menganggap dunia tidak adil. Tujuan saya di sini bukan untuk memicu kemarahan pembaca, tapi untuk memberi kesadaran bahwa ada posisi perempuan yang dalam ketidakadilan”, jelas Siti Muyassarotul Hafidzoh atau kerap disapa Mbak Muyas dalam acara bedah buku.

Acara Bedah Buku Makna Potret Perempuan Pesantren Tangguh dalam Novel “Hilda” merupakan rangkaian dari Peringatan Hari Santri Nasional tahun 2022 yang bertemakan “Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan”. Sebagaimana tema hari santri tahun ini, novel Hilda yang ditulis mbak Muyas bertujuan untuk mendorong perempuan agar menjadi manusia yang berdaya, mendorong pembaca untuk menjunjung tinggi martabat manusia, baik laki-laki maupun perempuan.

Awal mula Mbak Muyas menulis novel “Hilda” pada tahun 2017, setelah menjadi peserta di Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pertama. Mbak Muyas melihat belum ada penulis yang mengangkat isu gender dengan kajian keislaman dalam sastra. Karena Mbak Muyas diberi kemampuan dan keahlian menulis, maka dari situlah novel Hilda bermula. Cerita Hilda mulanya diterbitkan sebagai cerita bersambung atau cerbung di website www.fatayatdiy.com . Kisah Hilda ide ceritanya diambil dari kisah nyata namun seluruh isinya fiktif. Pada awal-awal, pembaca Hilda masing sangat sedikit, paling hanya lima orang. Mbak Muyas tidak mengejar di banyaknya pembaca, tetapi berpegangan bahwa kisah ini harus disampaikan. Lambat laun, pembaca Hilda semakin banyak hingga Dr. (Hc) KH. Husein Muhammad, Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, dan Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm. mendorong untuk diterbitkan menjadi novel.

“Karya, sebuah tulisan pasti akan bergerak menemukan pembacanya sendiri”, tutur Mbak Muyas.

Novel Hilda cukup berat karena di bab awal saja sudah menyajikan latar di sebuah pondok pesantren yang sedang mengadakan Bahsul Masail dan membahas masalah “Apakah sama hukumnya perzinahan dengan perkosaan?”. Pendapat dan dalil yang disampaikan oleh peserta Bahsul Masail pada awal-awalnya bernuansa menyalahkan korban dengan berbagai tafsir atas dalil agama yang semakin memojokkan korban. Sangat bernuansa patriarki. Namun Hilda dengan keberaniannya menyampaikan argumen dan dalil yang ramah perempuan, yang berperspektif keadilan gender. Gus Wafa, seorang laki-laki yang memiliki perhatian terhadap isu perempuan saat itu hadir dan menyaksikan Hilda menyampaikan argumen di Bahsul Masail. Ia terpukau dengan kecerdasan Hilda. Gus Wafa jatuh hati pada Hilda.

Novel Hilda menyajikan dua lembaga pendidikan yaitu sekolah dan pesantren tempat Hilda mencari ilmu. Di sekolah, Hilda tidak mendapat keadilan atas perilaku kekerasan seksual yang Hilda alami. Hilda sendiri tidak tahu siapa pelakunya karena ia dibius saat kejadian. Tanpa penelusuran lebih lanjut, Hilda diputus hak pendidikannya, dikeluarkan dari sekolah karena hamil. Sedangkan di pesantren, Hilda menemukan secercah harapan baru dalam hidupnya setelah tragedi yang dialaminya. Ia menemukan lingkungan yang mendukungnya untuk bangkit dan terus bertumbuh.

Korban kekerasan seksual perlu didengar. Pada zaman Nabi Muhammad saw. pernah ada seorang perempuan yang melapor kepada Nabi bahwa ia dilecehkan, Nabi langsung mempercayai dan menanyakan siapa pelakunya. Karena pada saat kejadian kondisinya gelap, perempuan tersebut menunjuk seorang laki-laki yang mirip dengan pelaku, padahal ia bukan pelaku. Ini berarti bahwa kesaksian korban adalah bukti utama. Percaya dulu bahwa ia adalah korban, itu penting. Setelah kejadian tersebut kemudian pelaku pelecehan yang sebenarnya mengaku dan menyerahkan diri kepada nabi. Ini menunjukkan bahwa Rasul Muhammad saw. adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan. Nabi Muhammad adalah seorang feminis.

“Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak atas lima perlindungan: yakni perlindungan jiwa, perlindungan akal, perlindungan agama, perlindungan keturunan, dan perlindungan harta atau dikenal juga dengan Maqashid asy-Syari’ah. Bayangkan saja, korban kekerasan seksual yang tidak memperoleh keadilan, kelima-limanya tercederai”, jelas Mbak Muyas.

“Kesetaraan gender di rumah tangga bisa terwujud dengan memperhatikan lima pilar pernikahan, yakni: Pertama Mitsaqan Ghalidan atau perjanjian yang kuat. Komitmen yang kuat antara laki-laki dan perempuan yang menikah. Kedua Zawj atau pasangan, diibaratkan seperti sandal sebagai potret relasi yang mubadalah/ setara. Ada sandal kanan dan kiri. Ketika yang kanan melangkah, maka kiri di belakangnya. Ketika yang kiri melangkah maka kanan di belakangnya. Bukan berarti melangkah bersama dengan meloncat-loncat. Ketiga adalah Taradlin atau saling rida. Saling menerima kelebihan dan melengkapi kekurangan pasangan. Keempat adalah Mu’asyaroh bil Ma’ruf atau bersikap baik terhadap pasangan. Berhubungan baik dengan pasangan dalam hal ini luas maknanya, baik dalam interaksi sehari-hari maupun saat melakukan hubungan seksual suami-istri. Kelima adalah musyawarah, mengutamakan berkomunikasi, berdiskusi, dan bertukar pikiran dalam pengambilan keputusan terkait hidup berumah tangga. Ada satu lagi pilar tambahan, yaitu guyon, hubungan rumah tangga yang sehat itu bisa guyon, bercanda satu sama lain. Tanda-tanda keluarga yang tidak membahagiakan itu ketika sudah tidak bisa diajak guyon”, tutur Mbak Muyas menjelaskan kesetaraan gender dalam rumah tangga.

“Suami saya, Pak Muhammadun (Pak Madun) itu rajin mencuci baju ketimbang saya, karena saya punya riwayat pernah dioperasi sehingga nggak kuat kalau nyuci banyak-banyak, dan suami saya mengerti itu. Toh nanti saya yang jemur, saya yang lipetin. Malah kalau saya sedang sibuk mengurus anak, Pak Madun yang sekalian menjemur bajunya. Pak Madun juga ikut membantu memandikan anak. Jadi kami ada pembagian tugas dalam pekerjaan domestik rumah tangga, saling memahami.”

“Terkadang malah masalahnya bukan dari kami, tapi dari tetangga yang lewat dan berkomentar “Lho Pak Madun, Bu Muyasnya mana? Kok njemur baju sendiri?” “Iya ini, istri lagi ndulang anak” atau komentar lain dari tetangga sesama bapak-bapak “Weeeh Pak Madun rajineee, aku yo gak tau njemuri pakaian” Nggeh pak sekalian olahraga, njenengan mbok sekali-kali bantuin istrimu juga” jawab Pak Madun dengan santai. Pernah juga suatu saat saat Pak Madun sedang memandikan anak yang paling kecil, kakaknya yang laki-laki bertanya kepada Mbak Muyas “Ibu, berarti nanti kalau aku jadi bapak harus bisa memandikan anak juga ya bu?” Oh iya harus bisa begitu, mengasuh anak bersama.“ tutur Mbak Muyas menceritakan kehidupan rumah tangganya disahut dengan gelak tawa para santri peserta bedah buku.

Jadi terkadang suara dan komentar dari luar pun tidak semuanya perlu didengarkan, kalau laki-laki yang dikomentari tidak mengetahui dengan baik relasi yang setara, maka akan mudah tersinggung dan merasa direndahkan sebagai suami. Tetapi jika sudah memahami relasi adil gender, maka akan santai menanggapinya seperti Pak Madun.

Orang-orang yang masih menanggap sebelah mata perempuan, yang selalu mendiskriminasi korban kekerasan seksual, jangan kita anggap sebagai musuh. Karena boleh jadi mereka belum tahu, belum tercerahkan bagaimana kesetaraan martabat laki-laki dan perempuan. Kita punya tanggung jawab untuk meneruskan pesan nabi bahwa setiap manusia adalah Hamba Allah, bukan hamba suami, bukan hamba laki-laki, bukan hamba majikan, atau penghambaan pada sesama makhluk lainnya. Kita punya tanggung jawab untuk mengedukasi sesama bahwa perempuan bukan hanya makhluk seksual, tapi juga makhluk intelektual dan makhluk spiritual. Saat laki-laki maupun perempuan sudah tercerahkan, maka ketika menikah dalam rumah tangga yang ada adalah relasi adil. Ketika di masyarakat yang ada adalah masyarakat adil. Ini sesuai dengan pancasila sila kedua. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pada kesempatan bedah buku kali ini, Mbak Muyas juga membacakan karya puisinya yang berjudul Aku Seorang Perempuan

Baca Juga:  Aku Seorang Perempuan

“Korban kekerasan seksual itu layak dicintai, layak mendapatkan hidup yang bahagia.” tutur Mbak Muyas.

Kemudian Mbak Muyas menutup dengan kutipan dari Syams Tabrizi yang diterjemahkan oleh Buya Husein Muhammad

لا تكمل المحبة بين اثنين حتى يقول كل للاخر : انت انا

Laa tukmilu al-mahabbatu baina itsnaini hatta yaquulu kullun lil-akhori: anta ana.

“Tidak sempurna cinta dua orang, sampai mereka masing-masing mengatakan: kau adalah aku yang lain.”

 

Oleh: Hanin Nur Laili

Sumber: https://youtu.be/aM7xo945Bew

Pictured by: Dokumentasi pribadi.