Sepertiga malam yang tidak pernah basa-basi
Pada langit-langit hitam tubuh ini terdiam
Kepala menengadah, hati berkecamuk resah
Lirih terdengar suara perempuan mengeja ayat demi ayat
penuh harap
Tubuh kami berlindung di bawah atap yang sama,
Tangan kananku memegang kuas
Sedang tangan kiriku memgang palet punuh cat dan berbekas
Ku dengar lagi sayup-sayup suara perempuan mengeja ayat demi ayat dari arah yang berbeda
Seketika imajiku semakin merambat liar dalam buncahan cat akrilik
Tubuh kami berlindung di bawah atap yang sama,
Kami sama-sama terjaga
Dalam pegharapan menuju jalan pulang
Di sepertiga malam perempuan-perempuan itu saling menyimpan harap agar kelak dapat istirahat dengan tenang
Tubuh kami berlindung di bawah atap yang sama,
Tangan kanannya menyangga mushaf
Sedangkan bibirnya komat kamit seperti tidak pernah lelah mengeja dan menjaga
Duduk bersila di atas ubin dengan udara yang tidak tanggung-tanggung menusuk tubuh dari arah mana saja
Dan tubuh kami berlindung di bawah atas yang sama,
Atap yang memberi keteduhan
Seorang perempuan menemukan jalan pulang dan ketenangan pada ayat-ayat dalam mushaf
Seorang perempuan lainnya menemukan damai dan cinta kasih Tuhannya dalam kanvas yang baru saja ia selesaikan gambarnya
Bukankah setiap puan memiliki jalan pulang sendiri menuju Tuhannya?
Lalu apa guna menyimpan perasaan jumawa?
Tubuh kami berlindung di bawah atap yang sama,
Namun, cara kami menemukan jalan pulang ialah berbeda.
Krapyak, 26 September 2018
Oleh : Indah Fikriyati
*Puisi ini terpilih menjadi salah satu puisi yang dibukukan dengan judul ” Suluk Santri : Kumpulan 100 Penyair Islam Nusantara “.