(oleh: Indah Fikriyyati)
Pelupuk mata layaknya langit abu-abu
Gemuruh terdengar bersahutan dari dalam hati
Jiwa-jiwa kering dihantarkan menuju altar peraduan
Salam perpisahan dilambaikan dari batas gerbang, isak terisak seketika tak bisa dibendung
Kehidupan sesungguhnya barulah dimulai
Tak ada kasur busa, yang ada hanyalah tikar seadanya
Tak ada air dingin dari kulkas, yang ada hanyalah air keran yang tak kalah menyejukkan
Tak ada hal yang instant, semua harus sabar menunggu giliran
Bait Imrithi dilalar saban pagi
Aqidatul Awam pun dilalar agar tak mudah dilupakan
Alfiyah selalu membuat resah
1000 bait yang tidak mudah dihafal kecuali memang laduni
Sorogan dan rotan adalah dua hal yang melekat dalam ingatan
Malas menghafal atau telapak tangan akan terkena sabetan rotan
Kehidupan layaknya medan pacuan,
Kau menunggangi kuda
Dan aku juga sama
Kita berlomba saling cepat menuju garis finish
Tapi dalam perjalanan, medan kita tak selalu sama
Ada rumput, pasir, bebatuan, genangan air dan bahkan kerikil tajam
Lalu agar tak cidera di jalan, kita butuh panduan
Kuda mulai bisa berjalan pelan
Kemudian perlahan kita mulai bisa mengendalikan
Sampai akhirnya mahir mengitari lapangan tanpa bala bantuan
Orang-orang menamainya ‘proses’
Dan orang-orang bahkan aku sendiri seringnya lupa
Akan ‘proses’ yang mengantarkan pada kehidupan yang sekarang dijalani
Peraduan di altar memang perih
Seperti luka yang terkena tetesan jeruk nipis
Seperti dahaga di tengah padang sahara
Seperti Rabi’ah menanti kekasihnya
Seperti ruang tanpa isi
Seperti Aku tanpa ridho-mu
Seperti hidup yang tak terarah
Maka,
Kumintakan mantra-mantra itu tak boleh sirna
Ku menyebutnya mantra karena Do’a yang selalu kau panjatkan selalu cepat Tuhan kabulkan
Mantra ajaib yang merubah keporak-porandaan hidup
Mantra ajaib yang menyelamatkanku dari cahaya gelap menuju benderang
Krapyak, 26 September 2018