Sepuluh menit di ruang tak bernama menatap cermin yang belingsatan “siapa ini, asing sekali.”
Tak banyak bicara, dari sudut yang lain berhikayat “kamu sudah berapa lama kehilangan dirimu sendiri.”
Sesekali jemari satu persatu di tekuk-tekuk, gemetar.
Aku? Siapa yang hilang?
Jam dinding yang berdetak setiap detik, sejenak berhenti. Ikut menghakimi.
“lha ya dirimu.”
Dari sudut lainnya, di cecar dengan pertanyaan yang sama. “sejak kapan kamu kehilangan dirimu?”
Pertanyaan yang sama beradu, kipas angin dan lampu tidur yang sedikit bisu, tetiba bersama-sama lantang berseru.
Tak di beri celah sedikitpun untuk sejenak bersemadi. Terheran, rasanya tak pernah benar-benar kehilangan diriku sendiri.
Di ramai-ramai. Di kesepian. Di malam-malam. Di bulir air hujan. Di apiknya lampu temaram.
Di banyak cerita nestapa. Di derita bahagia. Aku tidak kemana-mana.
“Tidak ada yang dapat disangkal lagi.” Suaranya datang dari sudut yang mana, entah.
“Kamu memang tidak hilang, tapi iya, hatimu,” katanya.
Aku terkejut.
Hatiku hilang kemana?
Cirebon, November 2020
Oleh: Nadiya Qotrunnada
Foto: Nathan DeFiesta on Unsplash