Dalam Kitab Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, pada bab yang membahas niat sebagai sesuatu yang tidak bebas, dijelaskan bahwa setiap perbuatan dianggap sebagai amal jika disertai niat. Misalnya, niat menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan, niat berdagang karena Allah, atau niat makan karena Allah. Niat harus ditanamkan dengan kuat supaya melahirkan cita-cita atau himmah yang kuat.
Sebagai contoh, seseorang yang belajar dengan tujuan meraih prestasi akan memiliki hasil yang berbeda dibandingkan dengan orang yang sekadar belajar tanpa target. Sebab, ketika seseorang memiliki tujuan yang jelas, ia akan lebih serius dalam berusaha. Jika jiwa telah menetapkan niat, maka batin akan menumbuhkan semangat dan mengarahkan fokus pada hal-hal yang dianggap penting.
Jika faktor pendorong suatu tindakan tidak dikenali, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai sesuatu yang mendahului atau dapat tergambarkan dalam diri seseorang. Sebagai contoh, dalam pernikahan ada yang terdorong menikah karena syahwat. Namun, perbedaan mendasar terlihat antara mereka yang menikah hanya karena dorongan syahwat dan mereka yang menikah dengan pertimbangan matang.
Syahwat sering kali dijadikan alasan yang dikemas dalam bentuk niat baik, seperti mengikuti sunnah Rasul, mengharapkan keturunan saleh, atau menjalankan ajaran agama. Namun, hal tersebut tidaklah cukup. Niat dalam pernikahan bukan sekadar pemenuhan hasrat, melainkan sebuah ikhtiar dalam membangun rumah tangga yang kokoh, sehingga dapat melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Oleh karena itu, pernikahan harus dipersiapkan dengan matang, baik secara lahir maupun batin.
Dalam ibadah, ketiadaan niat yang tulus dapat menyebabkan ibadah tersebut tidak terlaksana dengan baik. Dikisahkan bahwa Ibnu Sirrin tidak ikut menyalatkan jenazah Hasan Basri. Ketika ditanya alasannya, ia menjawab: “Karena saya belum memiliki niat.” Salat jenazah adalah sebuah doa, dan doa yang diharapkan supaya dikabulkan oleh Allah harus disertai niat yang kuat. Tanpa niat yang sungguh-sungguh, doa bisa kehilangan faedahnya.
Hal serupa juga dialami oleh Tawus, seorang perawi hadis. Suatu ketika, ia diminta untuk meriwayatkan hadis tetapi ia menolak. Ketika muridnya bertanya alasannya, Tawus menjawab, “Apakah kamu suka jika saya meriwayatkan hadis tanpa adanya niat? Jika saya sudah memiliki niat, maka saya akan melakukannya.” Kemudian para murid memintanya untuk berdoa, ia pun berkata: “Jika saya sudah menemukan niat, maka akan saya lakukan. Tetapi jika belum, saya tidak akan melakukannya!.”
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya niat bagi orang-orang terdahulu. Mereka enggan melakukan sesuatu tanpa niat yang jelas. Namun, kita tidak bisa sepenuhnya menjadikan hal tersebut sebagai pedoman secara mutlak. Sebab, jika semua aktivitas menunggu niat muncul terlebih dahulu, bisa jadi banyak hal tidak terlaksana. Hendaknya kita menata hati agar setiap kegiatan memiliki makna dengan disertai niat yang lurus.
Penulis: Rosyidatul Untsa
Pictured by arsio media Komplek Q
Disarikan dari pengajian PKR dengan Kitab Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin bersama ustadz Moh. Toifur.