Dialog Ahlussunnah wal Jama’ah kembali diadakan di PP. Al-Munawwir Komplek Q sebagai salah satu rangkaian acara OSPEP 2024. Acara ini dilaksanakan pada Sabtu (8/10), yang berlangsung selama 1 jam pada pukul 19.00 hingga 20.00 WIB. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pemateri dialog aswaja kali ini adalah Bapak M. Ikhsanuddin, M.Si, salah satu asatidz di PP. Al-Munawwir Komplek Q yang juga merupakan dosen tafsir di IIQ An-Nur Yogyakarta. Tujuan diadakannya dialog aswaja tahun ini adalah untuk mengenal tantangan santri sebagai ahlussunnah wal jamaah, juga memperingatkan santri untuk senantiasa berhati-hati dalam menghadapi paham-paham baru yang berkembang pesat di Indonesia.
Sekarang ini, islam berkembang di Indonesia dengan korelasi yang luar biasa, khususnya di Yogyakarta. Banyak sekali paham-paham baru yang merangsek masuk dan berusaha untuk tumbuh di dalamnya. Beberapa tokoh menyebutkan bahwasanya siapa yang bisa menguasai kota-kota besar seperti Yogyakarta, Bandung, Malang, maka tiada kesulitan untuk menguasai Indonesia. Hal inilah yang menyebabkan paham-paham baru berfokus menyebarkan ajaran mereka di Yogyakarta.
Lingkungan pelajar dan mahasiswa merupakan sasaran empuk untuk menyebarkan paham-paham baru dengan branding yang progresif, liberal, dan revolusioner. Kelompok syiah seringkali mengembangkan wacana-wacana ajaran mereka melalui pelatihan-pelatihan filsafat islam. Dengan dukungan dari negara seperti Iran dan Perancis, kelompok syiah berkembang secara pesat di Indonesia dan melakukan dakwah secara gencar. Tidak jauh beda dengan syiah, kelompok salafi juga menyebarkan ajaran secara terang maupun secara underground.
Sangat disayangkan, santri dan mahasiswa di era sekarang lebih tertarik kepada buku-buku instan yang belum jelas sanadnya ketimbang membuka kembali kitab-kitab yang ditulis oleh ulama salaf. Santri-santri salaf sudah seharusnya paham dan aware terhadap buku dan kitab-kitab yang dipelajari dan dijadikan rujukan, dengan contoh menjadikan Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai rujukan ilmu hadits, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hambali sebagai rujukan ilmu fiqih, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidy sebagai rujukan ilmu tauhid, Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Baghdadi sebagai rujukan dari ilmu akhlak tasawuf.
Seorang santri tetap harus toleran terhadap kelompok-kelompok islam lain, tetapi yang perlu diperhatikan adalah kekonsistenan dalam mengikuti para ulama salaf, para sahabat, para tabi’in, dan aqibatul mujtahidin, yang kemudian teori ini dikenal sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Bapak Ihsan menyebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam memilih guru dan tempat belajar, yakni telusuri sejarahnya, lihat nasabnya, dan urutkan sanadnya.
Di Indonesia sendiri, kita dapat mempelajari sejarah islam dengan sangat jelas. Islam disebarluaskan oleh walisongo yang memiliki keturunan dan murid-murid alim yang juga meneruskan jejak dalam berdakwah. Bukan hanya dalam berguru saja, santri juga harus pandai memilah forum dan kajian yang sedang marak digandrungi anak muda. “Perhatikan pematerinya, telusuri keilmuannya, tempat belajarnya, sanadnya, nasabnya, referensinya (yang dijadikan rujukan), pelaksananya, dan organisasinya, dalam memilih kajian yang hendak didatangi.” Pesan Bapak Ihsan kepada para santri pada acara dialog aswaja kemarin.
Pada zaman sekarang ini, penting bagi orang tua untuk menanamkan dasar akidah, syariah, dan akhlak kepada anak-anaknya. Hal tersebut ditujukan sebagai bekal seorang anak supaya tidak terombang-ambing dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin bebas ini. Sebagai seorang santri, penting bagi kita untuk tetap waspada namun terus meng-improve kemampuan dan keilmuwan dengan tetap bersandar kepada ulama-ulama ahlussunnah wal jama’ah dalam segala aspek kehidupan, juga dalam menghadapi berbagai tantangan zaman.
Penulis : Amalia Ryadlul Jannah
Foto : Arsip Media Komplek Q