Tidak dipungkiri lagi bahwa menghafal Al-Quran adalah hal yang luar biasa. Kita dapat menemukan ribuan atau bahkan jutaan umat islam yang hafal Al-Quran. Padahal, kitab ini tergolong besar dan surat-suratnya panjang. Kitab yang tersusun dalam 6.666 ayat, 114 surat, dan 30 juz menurut sebagian ulama ini sangatlah istimewa. Belum ada sebuah kitab, baik kitab samawi maupun yang bukan kitab samawi di muka bumi ini yang dihafal oleh umat manusia sebagaimana mereka menghafal Al-Quran.
Menghafal Al-Quran, di mana dulu dunia itu hanya terdengar di pesantren-pesantren tahfidz dan kurang mendapat perhatian. Sekarang hal itu telah membumi di Indonesia.
Para penghafal Al-Quran berangkat dari beragam tingkatan usia, suku dan bangsa. Realita yang ada banyak dari anak-anak kecil di bawah usia sepuluh tahun, bahkan ada yang baru berumur tujuh tahun telah hafal Al-Quran 30 juz. Inilah kenyataan yang terjadi. Padahal mereka tidak mengerti apa makna kalimat-kalimat yang mereka hafal itu.
Kita juga sering melihat orang yang tidak dikaruniai nikmat penglihatan (buta), tetapi Allah swt karuniakan atasnya nikmat Al-Quran. Meskipun mereka tidak dapat melihat kitab Al-Quran bahkan bentuk dan hurufnya pun mereka tidak mengetahui, tetapi Allah swt menganugerahkan nikmat menghafal Al Qur’an. Barangkali hafalan mereka lebih melekat dan lebih matang daripada orang-orang yang memiliki penglihatan sempurna.
Lebih unik lagi, dapat kita jumpai kaum yang sama sekali tidak bisa berbicara dengan bahasa Arab, tetapi mereka mampu menghafal kitab yang berbahasa Arab ini. Bahkan mereka bisa membacanya secara tartil dan fasih, dengan bacaan yang bisa jadi lebih baik daripada bacaan orang-orang Arab sendiri, yang notabenenya berbicara bahasa Arab setiap hari.
Semua ini mengisyaratkan bahwa kemudahan menghafal Al-Quran merupakan salah satu bukti kekuasaannya. Allah swt berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Allah swt menjamin kemudahan bagi mereka yang menghafal Al-Quran sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Quran untuk pelajaran (dihafal), maka adakah orang yang mengambil pelajaran” (QS. Al-Qamar:17)
Seorang penghafal Al-Quran memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah oleh karena itu para hafidz Al-Quran juga dituntut memiliki konsekuensi terhadap kedudukan dan predikatnya yang tinggi itu. sehingga nantinya mereka benar-benar menjadi “Ahlu Al Quran”.
Menjadi hafidz Al-Quran, tentu tidak sembarangan. Ada adab-adab yang menyertainya. Adab-adab yang dibahas di bawah ini merupakan ringkasan dari kitab At Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur`an karya Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An Nawawi rahimahullah dengan perubahan seperlunya yang tidak sampai mengubah makna, insya Allah.
PERTAMA: Berakhlaq dengan Akhlaq Al Qur’an
Orang yang menghafal Al-Quran hendaklah berakhlak dengan akhlak Al-Quran. Seperti Nabi Muhammad SAW. Aisyah R.A. pernah ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, ia menjawab:
“Akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran” [HR Muslim (746)]
Penghafal Al-Quran harus menjadi kaca yang padanya orang dapat melihat aqidah Al-Quran, nilai-nilainya, etika-etikanya, dan akhlaknya, dan agar ia membaca Al-Quran dan ayat-ayat itu sesuai dengan perilakunya. Memiliki kepribadian yang mulia dan menjauhkan dirinya dari segala apa yang dilarang oleh Al-Quran sebagai bentuk pemuliaan terhadapnya. Menjaga diri dari pekerjaan yang rendah, berjiwa mulia, menjauhi para pencari dunia yang bersikap angkuh dan kasar, rendah hati terhadap orang-orang shalih, orang-orang baik, dan kaum miskin, serta bersikap khusyuk dan tenang.
Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata: “Wahai para penghafal Al-Quran, tegakkanlah kepala kalian karena sesungguhnya jalan (kebenaran) telah jelas bagi kalian, berlombalah di dalam kebaikan, dan janganlah kalian bergantung kepada manusia.”
Al Hasan Al Bashri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian melihat Al-Quran sebagai risalah dari Rabb mereka. Oleh karena itu, mereka men-tadabburinya di malam hari dan mengamalkannya di siang hari.”
Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Sepatutnya para penghafal Al-Quran tidak memiliki kebutuhan apapun kepada para penguasa dan orang-orang yang di bawah mereka.” Beliau juga berkata: “Orang yang membawa Al-Quran adalah pembawa bendera Islam, sehingga tidak sepantasnya dia bermain-main bersama orang yang bermain-main, lalai bersama orang yang lalai, dan berbicara yang tidak baik bersama orang yang berbicara tidak baik, sebagai bentuk pengagungan terhadap hak Al-Quran.”
KEDUA: Ikhlas dalam Mempelajari AlQuran
- Orang yang menghafal Al-Quran harus ikhlas dan memurnikan niat ketika mempelajarinya, memurnikan tujuan karena mengharapkan ridlo Allah, mempelajari dan mengajarkan karena Allah semata, bukan karena ingin menyombongkan diri di hadapan manusia dan bukan untuk mencari keduniaan.
Allah berfirman dalam Al-Kahfi:110 yang artinya :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.”
Penghafal Al-Quran harus takut kepada Allah tentang dirinya, memurnikan amal bagi Allah semata. Jika dia melakukan sesuatu yang dibenci Allah, hendaklah dia segera bertaubat dan kembali kepada-Nya.
- Tidak menjadikan Al-Quran sebagai sumber penghasilan. Dari Abdurrahman bin Syibl radhiallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ، وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ، وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ، وَلَا تَغْلُوا فِيهِ
“Bacalah Al-Quran. Janganlah kalian (mencari) makan dengannya, janganlah kalian menjauhinya, dan jangan pula kalian bersikap berlebihan terhadapnya.” [HR Ahmad (3/428). Hadits shahih.]
Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Nabi SAW bersabda :
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَهُ إِقَامَةَ الْقَدَحِ، يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ
“Bacalah Al-Quran sebelum muncul suatu kaum yang menegakkannya seperti menegakkan gelas, mereka menyegerakan (ganjaran)nya (di dunia) dan tidak mau menundanya.” [HR Abu Daud (830)].
Makna “menegakkannya” adalah mereka berusaha membaguskan lafazh-lafazh dan kalimat-kalimatnya dan membebani diri-diri mereka di dalam memperhatikan makhraj-makhraj dan sifat-sifat huruf. Adapun makna “seperti menegakkan gelas” adalah mereka berusaha menyempurnakan bacaan secara berlebihan dengan tujuan riya`, sum’ah, berbangga diri, dan mencari ketenaran.
Adapun tentang hukum mengambil upah dari mengajar Al-Quran, ulama berselisih pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama: tidak boleh mengambil upah darinya. Ini adalah pendapat Az Zuhri dan Abu Hanifah. Pendapat kedua: boleh mengambil upah jika tidak mensyaratkannya. Ini adalah pendapat Al Hasan Al Bashri, Asy Sya’bi, dan Ibnu Sirin. Pendapat ketiga: Boleh mengambil upah meskipun dia mensyaratkannya, sepanjang dia melakukannya dengan alasan dan cara yang benar. Ini adalah pendapat ‘Atha`, Malik, dan Asy Syafi’i.
- Ikhlas dan Jauhi Maksiat
Jadikan niat dan tujuan menghafal Al-Quran untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Janganlah tujuan kita menghafal Al-Quran untuk meraih kedudukan di tengah-tengah manusia, meraup keuntungan dunia, upah atau hadiah. Ikhlas dan ikhlaslah dalam menghafalnya. Karena ingatlah Allah tidak menerima sedikit pun dari amalan yang tidak ikhlas, yang tercampur kesyirikan di dalamnya. Allah tidak mau diduakan dalam ibadah, termasuk dalam menghafal kalam-Nya.
Imam Al Qurthubi menulis dalam pembukaan tafsirnya “ Bab Tahzir Ahli Al Quran wa al Ilmi min Ar Riya wa Ghairihi” ia berkata:
“Orang yang pertama kali disidangkan pada hari Kiamat ada seorang yang dinilai mati syahid. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Aku berperang membela-Mu hingga aku mati syahid. Allah SWT mengomentari: “engkau berdusta, kerana engkau berperang hanya untuk dikatakan sebagai si pemberani, dan itu sudah dikatakan orang”. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang telah mempelajari Al-Quran, mengajarkannya dan membaca Al-Quran. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibeberkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? ia menjawab: Aku mempelajari Al-Quran, dan mengajarkannya kepada manusia, dan aku membaca Al-Quran demi-Mu. Allah SWT mengomentari jawapannya itu : “Engkau berdusta, kerana engkau mempelajari Al-Quran agar dikatakan orang sebagai orang ‘alim, dan engkau membaca Al-Quran agar manusia mengatakan: dia seorang qari. Dan itu sudah dikatakan orang. Maka vonisnya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka. Selanjutnya seseorang yang Allah SWT berikan keluasan harta, dan kepadanya diberikan seluruh macam kekayaan. Orang itu dihadirkan, kemudian kepadanya dibentangkan ni`mat-ni`mat Allah yang telah diberikan kepadanya, dan ia mengakui hal itu. kemudian Allah SWT bertanya: Apa yang engkau lakukan sebagai rasa syukur terhadap ni`mat-ni`mat itu? Ia menjawab: Setiap aku mendapati jalan dan usaha kebaikan yang Engkau senangi agar aku nafkahkan hartaku untuknya, aku segera menginfakkan hartaku demi-Mu. Allah SWT mengomentari jawapannya itu: “Engkau berdusta, kerana engkau melakukan itu semua agar dikatakan sebagai seorang dermawan, dan itu telah dikatakan orang. Maka hukumannya kemudian diputuskan, dan ia diseret dengan muka menghadap tanah, hingga ia dilemparkan ke neraka”. [HR Muslim (1905) dan Tirmizi (2382), Hasan ghorib].
At Tirmizi meriwayatkan dalam hadits ini : Kemudian Rasulullah SAW menepuk lututku dan bersabda: “Wahai Abu Hurairah, tiga orang itu adalah makhluk Allah SWT yang pertama yang dibakar oleh api neraka pda hari kiamat.” Ibnu Abdil Barr berkata: hadits ini adalah bagi orang yang berniat dengan ilmu dan amalnya bukan kerana Allah SWT.
Ditambahkan Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa yang mencari ilmu bukan kerana Allah atau ia bertujuan bukan untuk Allah, maka bersiap-siaplah ia menempati tempatnya di neraka” . [HR Ibnu Majah (258) Hasan ghorib]
Para penghafal Al Quran harus bertakwa kepada Allah SWT dalam dirinya, dan mengikhlaskan amalnya kepada-Nya. Sedangkan perbuatan dan niat buruk yang pernah terjadi sebelumnya, maka hendaknya ia segera bertaubat dan kembali kepada Allah SWT.
- Menjauhi Maksiat dan Dosa
Hati yang penuh dengan kemaksiatan dan sibuk dengan dunia, tidak ada baginya tempat cahaya Al-Quran. Maksiat merupakan penghalang dalam menghafal, mengulang dan mentadabburi Al-Quran. Adapun godaan-godaan setan dapat memalingkan seseorang dari mengingat Allah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Setan telah mengusai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah”. [al-Mujadilah/58:19].
‘Abdullâh bin Al-Mubarak meriwayatkan dari adh-Dhahak bin Muzahim, bahwasanya dia berkata;”Tidak seorangpun yang mempelajari Al-Quran kemudian dia lupa, melainkan karena dosa yang telah dikerjakannya. Karena Allah berfirman Subhanahu wa Ta’ala :
وَمَآأَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri.” (Qs asy-Syuara : 30).
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan (menjalankan) agama dengan lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Hati itu seperti telapak tangan. Awalnya ia dalam keadaan terbuka dan jika berbuat dosa, maka telapak tangan tersebut akan tergenggam. Jika berbuat dosa, maka jari-jemari perlahan-lahan akan menutup telapak tangan tersebut. Jika ia berbuat dosa lagi, maka jari lainnya akan menutup telapak tangan tadi. Akhirnya seluruh telapak tangan tadi tertutupi oleh jari-jemari.” (Fathul Qodir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir, 7: 442).
Jika hati semakin kelam, maka akan sulit melakukan ketaatan, sulit menghafal dan melekatkan Al-Quran pada hati.
KETIGA: Membiasakan untuk Mengkhatamkan Al Qur’an dalam rentang waktu tertentu
Para salaf radhiallahu ‘anhum memiliki kebiasaan yang berbeda-beda dalam lama waktu mengkhatamkan bacaan Al Qur`an.
Akan tetapi hal ini berbeda-beda menurut keadaan seseorang. Barangsiapa yang hanya bisa memahami Al Qur`an dengan pemikiran yang mendalam, maka hendaknya dia membatasi bacaannya sesuai dengan batas pemahamannya. Begitu pula bagi orang yang disibukkan dengan menyebarkan ilmu atau urusan agama yang lainnya dan kepentingan kaum muslimin secara umum maka hendaklah dia membatasinya sebatas tidak sampai menerlantarkan tugasnya. Adapun jika dia bukan termasuk golongan yang tersebut di atas, hendaklah dia memperbanyak bacaannya sepanjang tidak menimbulkan kejenuhan atau terburu-buru.
Ibnu Abi Dawud meriwayatkan dari sebagian ulama salaf bahwa mereka mengkhatamkan Al-Qur’an dalam setiap bulan, ada juga yang khatam setiap sepuluh hari, ada juga yang hanya seminggu mengkhatamkan Al-Qur’an, bahkan ada juga yang khatam Al-Qur’an yang hanya ditempuh sehari semalam.
Diantara yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari semalam adalah Utsman bin Affan r.a, Tammim Ad-Daari Said bin Jubair, Mujahid, As-Syafi’i dan lainnya. Diantara yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tiga hari adalah Sali bin Umar r.a. Qadhi mesir di masa pemerintahan muawiyah.
Sebagian ulama terdahulu tidak menyukai mengkhatamkan Al Qur`an dalam waktu satu hari dan satu malam berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَفْقَهُ مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Orang yang membaca (menamatkan) Al Qur`an dalam waktu kurang dari tiga hari tidaklah dapat memahaminya.” [HR Abu Daud (1394). Hadits shahih.]
KEEMPAT: Hendaklah dia menjaga hafalan Al Qur`annya dan jangan sampai melupakannya.
- Selalu bersama Al-Quran, sehingga Al-Quran tidak hilang dari Yaitu dengan terus membacanya dari hafalannya (muroja’ah).
Dari Ibnu Umar r.a.: bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Perumpamaan orang yang hafidz Al-Quran adalah seperti pemilik unta yang terikat, jika ia terus menjaganya maka ia dapat terus memegangnya, dan jika ia lepaskan maka ia akan segera hilang.” Hadits diriwayaktan oleh Bukhari dan Muslim.
Telah diriwayatkan dari Abu Musa Al Asy’ari radhiallahu ‘anhu dari Nabi SAW, beliau bersabda:
تَعَاهَدُوا هَذَا الْقُرْآنَ. فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَهُوَ أَشَدُّ تَفَلُّتًا مِنَ الْإِبِلِ فِي عُقُلِهَا
“Jagalah Al-Quran ini. Demi jiwa Muhammad yang berada di tangan-Nya, sungguh ia lebih mudah lepas daripada unta yang berada di dalam tali kekangnya.” [HR Al Bukhari (5033) dan Muslim (791)].
- Cara menjaga hafalan Al-Quran dapat melalui beberapa cara, yaitu muroja’ah sendiri atau dengan orang lain, membentuk halaqoh, Kegiatan semaan Al-Quran atau dengan Mengajar Al-
Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya dari Utsman r.a. bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Yang paling baik diantara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya”.
KELIMA : Hendaklah lebih banyak membaca Al–Quran di malam hari dan terlebih utama lagi di shalat malam. Alasannya adalah karena pada waktu itu lebih mudah bagi hati untuk berkonsentrasi, jauh dari berbagai hal yang menyibukkan dan melalaikan, lebih terjaga dari timbulnya riya`.
Demikianlah uraian mengenai adab-adab bagi para penghafal Al-Quran (baik yang telah sempurna maupun yang masih proses menyempurnakan hafalan). Meski terkadang agak sulit diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, namun usaha yang terus menerus akan menghasilkan kemudahan dan ketentraman nantinya. Semoga kita termasuk hamba-hamba yang dikaruniai Allah sebagai pecinta kalam-Nya, pelestari firman-Nya, pendamba Rahmat dan Ridhonya. Aamiin 🙂
Oleh : Qorry ‘Aina