Bersama pemuda, remaja, dan anak-anak dusun Kembaran sowan ke beberapa kiai dan habaib sekitar Magelang dengan didampingi ibu-ibu dan bapak-bapak. Kegiatan ini telah menjadi kegiatan rutin pemuda dusun setiap tahun. Berangkat sekitar mulai pukul 10 pagi dengan satu kendaraan mobil terbuka dan beberapa sepeda motor.
Ada sekitar delapan tujuan yaitu Bu Nyai Badriyah, Bapak Kiai Taqiyudin, Bapak Kiai Mustofa, Bapak Kiai Usman Ali, Habib Umar bin Yahya, Gus Mudrik, Gus Basyir, dan Habib Zainal Abidin bin Husen Aidid. Foto di atas merupakan foto tempat tujuan terakhir, yaitu Habib Zain yang bertempat tinggal di Muntilan. Silaturahim di rumah Habib ini sangat mengesankan. Beliau menceritakan kisah perjalanan dari lulus SMA hingga bisa kuliah S1, menikah, dan lulus S2. Semua mata tertuju kepada beliau dan mendengarkan dengan seksama.
Habib Zain bercerita, lulus SMA beliau bekerja sebagai kuli di usaha meubel. Setiap pagi beliau bertugas mengangkati kursi. Sampai suatu saat beliau ditanya oleh juragan,
“Kamu lahirnya dimana, Zein?”
“Di Magelang.”
“Magelang itu kota apa?”
“Kota harapan.”
“Berarti kowe nek nang Magelang gur duwe harapan. Nek arep wujudke harapan metu seko Magelang.”
Akhirnya beliau keluar dari Magelang, dengan membawa uang hasil bekerja sebagai kuli dan pergi ke Malang. Di sana beliau mencoba melakukan usaha membuat telur asin. Beliau pun sempat disukai oleh Janda, tetapi Abah beliau tidak memperbolehkan dan Umi juga tidak setuju. Hingga akhirnya beliau dijemput sang Ayah dan dijodohkan dengan salah satu Syarifah di Pati. Sayang, ternyata Abah dari Syarifah itu tidak memperbolehkan.
Waktu terus berjalan, beliau dijodohkan lagi dengan keponakan yang memiliki percetakan Toha Putra dan bekerja di sana. Beliau mendapat tugas memperbaiki Alquran yang rusak. Sampai suatu saat beliau berpikir, urip kok meng semene, arep nguripi anak bojo seko ngendi. Uang hasil kerja pun hanya cukup untuk membeli rokok. Sebelum beliau bekerja di Toha Putra, beliau sempat bekerja di BPL listrik yang bertugas memasang listrik di rumah-rumah.
Beliau ingat kata teman-temannya yang kuliah di Semarang yang mengatakan, “Habib Zein iku pinter kok”. Akhirnya beliau memutuskan untuk kuliah. Beliau kuliah satu kelas dengan calon istri yang dijodohkan tadi. Waktu berjalan satu tahun menuju akad nikah, tiba-tiba Habib Zain berkata kepada calon tersebut,
“Alifah, nek aku ra sido bojo karo kowe, berarti aku entuk karo Jowo.”
Beliau mendaftar kuliah pun dengan berhutang. Beliau bilang kepada Umi untuk kuliah. Dan Umi mendoakan. Pada akhirnya Ayah beliau membatalkan pernikahan. Saat itu calon dari perempuan berumur 27 tahun, sedangkan Habib Zain umur 21 tahun.
Tak terasa kuliah berjalan satu tahun, tetapi Ayah beliau tidak bisa membayar uang kos. akhirnya Habib Zain tinggal di kos temannya. Umi Habib Zain selalu menjadi motivator beliau sehingga kuliah 7 tahun selesai sambil bekerja. Bahkan beliau ketika mengumpulkan skripsi tinggal di menit-menit terakhir pengumpulan skripsi. Akhirnya beliau lulus dengan ipk 3.01 dan setelah itu beliau lanjut S2.
Habib Zain pun berpesan kepada kami, memiliki cita-cita itu yang konkrit sehingga mudah untuk menggapai. Beliau juga bercerita ketika melanjutkan kuliah S2 dengan biaya beasiswa istrinya. Sedangkan kondisi istri hamil. Pada semester 6 beliau mulai mengajar ngaji hingga bisa membiayai kuliah sambil memperbaiki diri dan memperbaiki mental. Akhirnya S2 selesai dan beliau saat ini mengajar di STAIA Syubbanul Wathan Magelang.
Akhirnya kami mohon pamit dan sowan kami ditutup dengan doa.
Ahad, 9 Juni 2019
Oleh: Asmak Anisah