Sejarah Singkat dan Eskalasi Semangat Hari Kelahiran NU ke-96

Diposting pada 163 views

Tepat pada hari ini (31/01), organisasi (jam’iyyah) Islam terbesar di Indonesia sekaligus dunia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) secara resmi didirikan. Lahir pada tanggal 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 H, kini NU telah memasuki usianya yang ke-96 tahun versi Masehi. Setiap tahun, terdapat dua kali peringatan Harlah NU, yakni 31 Januari dan 16 Rajab. Pemrakarsa lahirnya Nahdlatul Ulama ialah K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Chasbullah, bersama sejumlah kiai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Madura yang berkumpul di kediaman Kiai Wahab di Surabaya. Beberapa tahun sebelum Nahdlatul Ulama resmi berdiri, sejumlah kiai telah membentuk organisasi pergerakan Nahdlatul Waton atau Kebangkitan Tanah Air (1916) serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar (1918). K.H. Wahab Chasbullah sebelumnya (1914) pun mendirikan kelompok diskusi yang ia namai Taswirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran. Kemudian, terbentuknya Nahdlatul Ulama merupakan lanjutan dari organisasi-organisasi yang telah berdiri tersebut, tetapi dengan cakupan yang lebih luas.

Perkembangan Organisasi Nahdlatul Ulama

Organisasi Nahdlatul Ulama berkembang melalui jaringan pesantren. Ternyata metode tersebut amat efektif karena pada tahun 1935, NU telah memiliki 68 cabang dengan 67.000 anggota. Hingga tahun 1938, berkembang menjadi 99 cabang termasuk di luar Jawa. Dengan makin banyaknya pesantren, masyarakat yang memeluk Islam pun semakin banyak. Hal ini karena para kiai pesantren menerima dan mengasimilasikan tradisi lokal dengan nilai-nilai Islam. Sehingga warga pribumi tidak merasa tercabut dari akarnya ketika memeluk dan mempraktikkan ajaran Islam melalui transformasi pengetahuan, wawasan, dan literasi yang ada.

Menurut Choirul Anam dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010), terdapat tiga motivasi berdirinya NU, yaitu motivasi agama, membangun nasionalisme, dan mempertahankan akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Jadi, lahirnya Nahdlatul Ulama tidak semata-mata hanya menegakkan syiar agama Islam dan akidah Aswaja, tetapi juga menanamkan spirit nasionalisme (termasuk kemandirian ekonomi). Hal tersebut sebagai bekal berharga untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme. Oleh karena itu, NU disebut sebagai Jam’iyyah Diniyyah Ijtima’iyyah atau organisasi sosial keagamaan. Peran-peran sosial NU mencakup segala lini kehidupan manusia, termasuk problem global atau persoalan masyarakat dunia. Kini, NU dengan para anak mudanya juga aktif di bidang teknologi informasi yang merupakan bekal penting untuk menghadapi tantangan zaman.

Baca Juga:  Kriteria Memilih Pasangan Hidup dalam Islam

Baca juga Profil K.H. Yahya Cholil Staquf, Ketum PBNU 2012-2026

Dalam menyongsong 100 tahun usia NU, terdapat pengukuhan peran kaum perempuan yang lebih. Untuk pertama kalinya sejak Nahdlatul Ulama berdiri, para tokoh mengakomodasi kaum perempuan di dalam susunan pengurus harian PBNU masa bakti 2022-2027. Kiai Yahya mengatakan, beberapa perempuan yang masuk kepengurusan PBNU di antaranya ada di jajaran Mustasyar (Dewan Penasihat), A’wan, dan Tanfidziyah (Dewan Pelaksana). Di tempat dan forum yang sama, Alissa Wahid mengatakan bahwa masuknya sejumlah perempuan dalam jajaran kepengurusan PBNU merupakan terobosan yang sangat penting. Sejak awal perlu adanya kesadaran bersama bahwa ruang perempuan sangat besar di NU. “Selama ini tokoh-tokoh perempuan NU tidak hanya mengurusi kiai tapi juga pondok putri, juga pengajian dan kegiatan di ruang publik juga banyak diurusi Bu Nyai,” ujar putri Gus Dur ini.

Saat ini, Nahdlatul Ulama menjadi organisasi dan komunitas yang berperan sebagai pengawal negara dan penjaga moral bangsa. Semangat berkebangsaan melalui restrukturisasi jabatan yang melibatkan kaum perempuan di PBNU telah menyatakan kesetaraan gender yang sesungguhnya. Tentu kita sebagai generasi mendatang patut merawatnya sesuai harapan para ulama pendiri NU. K.H. Hasyim Asy’ari pernah mengatakan bahwa santri yang baik adalah santri yang ketika pulang ke rumah masing-masing mampu menerapkan ilmunya di pesantren. Ini artinya, santriwan maupun santriwati harus menunjukkan akhlak dan moralitas ketika tamat dari pesantren dan bergiat sebagai apa pun.

Oleh: Aisya Zalfaturrahma

Sumber:

islami.co

nu.or.id

tebuireng.online

www.nu.or.id

Foto : Dokumentasi Pribadi

Baca Juga:  Mari Mengenal HarBukNas