Pernikahan Ali dan Sayyidah Fatimah termasuk salah satu peristiwa yang terjadi pada tahun kedua Hijriah, di mana komunitas Syiah merayakan hari tersebut pada tanggal pertama Dzulhijjah. Rasulullah Saw. dengan menolak beberapa pelamar seperti Abu Bakar, akhirnya menerima lamaran Ali bin Abu Thalib dan menyebut pernikahan tersebut sebagai pernikahan atas kehendak dan keputusan-Nya.
Kulaini dalam al-Kafi, meriwayatkan sebuah hadis yang dinukil dari Imam Sajjad as menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. menikahkan Sayyidah Fatimah dengan Imam Ali satu tahun setelah hijrah ke Madinah. Pendapat ini lebih selaras dengan apa yang telah diriwayatkan oleh Thabari dari Imam Baqir as, yang menjelaskan bahwa Imam Ali menikah dengan Sayyidah Fatimah dalam beberapa malam yang tersisa dari bulan Shafar pada tahun ke-2 Hijriah.
Sebagian kaum Muhajirin berkata kepada Ali, “Mengapa engkau tidak melamar Fatimah?” Ia menjawab, “Demi Allah, aku tidak memiliki apapun.” Mereka berkata, “Rasulullah Saw. tidak menghendaki apapun darimu.”
Akhirnya Ali menemui Rasulullah Saw., namun ia tak dapat mengutarakan niatnya karena rasa malu yang menghinggapinya. Untuk ketiga kalinya ia menemui Rasulullah dan melamar Fatimah.
Imam Abu Dawud dan an-Nasa’i meriwayatkan dari Ibnu Abbas berkata, ketika Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya: “Berikanlah sesuatu kepadanya.”—maksud beliau sebagai mahar pernikahan. Ali menjawab, “Aku tidak punya apa-apa.” Nabi Saw. bertanya, “Lalu di mana baju perang huthamiyah milikmu?” Hadis ini dishahihkan oleh al-Hakim. Maksud dari baju perang huthamiyah adalah penisbatan kepada Huthamah bin Muharib, salah satu marga dalam Bani Abdul Qais pembuat baju perang. Ada yang berkata bahwa baju perang itu disebut huthamiyah karena ia tuhatthimu (mematahkan atau menghancurkan) pedang karena kekuatannya.
Dalam riwayat lain disebutkan, Rasulullah Saw. bersabda, “Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar?” Ali menjawab, “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki apapun kecuali baju perangku.” Akhirnya Rasulullah menikahkan Fatimah dengan mahar 12,5 ons emas dan beliau mengembalikan baju perang tersebut kepada Ali.
Dalam pernikahan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah, Rasulullah saw. telah memberikan tuntunan, pandangan, dan wejangan mengenai pernikahan. Setidaknya ada tiga poin yang disampaikan Rasululah pada kesempatan tersebut.
Pertama, pernikahan adalah kuasa Allah. Semua yang ada di jagat raya ini tidak bisa lepas dari kekuasaan dan ketetapan Allah, termasuk pernikahan. Dalam hal pernikahan, Allah telah menetapkan sebuah sistem. Apakah sebuah pernikahan langgeng dan gagal. Jika pasangan suami istri mengikuti sistem yang telah ditetapkan-Nya, maka pernikahan mereka bisa langgeng dan bahagia. Begitu pun sebaliknya.
Kedua, sarana memperoleh keturunan. Rasulullah juga menegaskan bahwa pernikahan adalah sarana untuk memperoleh keturunan. Dalam suatu hadist, Rasulullah menyeru kepada umatnya untuk menikah dengan perempuan yang subur sehingga dapat melahirkan banyak anak. Yang terpenting bukan hanya memperoleh keturunan atau anak yang banyak saja, tapi juga berusaha membentuk generasi yang berkualitas. Yakni generasi yang beriman, bertakwa, dan berilmu.
Ketiga, memperat tali kekerabatan. Salah satu rukun nikah dalam islam adalah adanya wali, khususnya bagi mempelai perempuan. Dengan demikian, baik secara langsung atau tidak, sesungguhnya pernikahan dalam islam tidak hanya melibatkan dua individu (mempelai laki-laki dan perempuan) saja, tapi juga keluarga besar dari yang bersangkutan. Setelah ada ikatan pernikahan, biasanya dua keluarga besar memiliki ikatan yang kuat.
Sumber:
https://islam.nu.or.id/post/read/92414/tiga-pesan-rasulullah-dalam-pernikahan-ali-fatimah
http://id.wikishia.net/view/Pernikahan_Imam_Ali_as_dan_Sayidah_Fatimah_sa
Oleh: Anu’ma Syifaus
Foto: Marisa Morton on Unsplash