Pagi yang gaduh. Usai sholat subuh, semua santri berkumpul di mushola, masih lengkap dengan mukenah dan sajadahnya. Terdengar lantunan Surah Yasin yang menggetarkan hati. Pipi-pipi merona itu basah dengan guyuran air mata, begitu pula aku. Air mata ini tak butuh beragam notifikasi untuk jatuh, meluber, kemudian membanjiri pipi dan mukenahku. Hati ini sudah tak karuan: gelisah, takut, sedih, dan perasaan yang macam-macam telah lancang mendobrak seluruh bilik di dalamnya. Tentu bukan hanya aku yang merasakan demikian. Beberapa santri mulai sesenggukan. Kalam-kalam langit dilantunkan semakin keras. Namun tangisan-tangisan juga tak kunjung mereda. Hampir satu jam keadaan bertahan seperti ini. Ku lihat di balik jendela. Seorang perempuan yang akrab disapa “Cimut” sedang berlari tunggang langgang. Ku perhatikan dia sembari membaca Surah Yasin. Lalu sampailah dia di pusat siaran pesantren, dia mengambil mic dengan air mata yang tak kalah melimpah dari air mataku. Digenggamnya mic itu dengan gemetar, nampaknya suaranya akan terdengar parau. Perempuan itu berusaha mengatakan sesuatu. Disisa-sisa usahanya berbicara, aku bisa mendengar sebuah kalimat yang sangat menyayat.
“Bapak… kapundut.”
Begitulah kira-kira kalimat yang dengan susah payah dia selesaikan. Mendengar hal itu, sontak tangisan di Mushola Barat itu semakin menjadi. Dada ini terasa penuh sesak. Air mata tak terelakkan lagi. Kami semua larut dalam kepedihan. Kami kehilangan. Gema haru Surah Yasin seketika berubah menjadi raungan duka yang menyayat hati. Rasa tidak percaya mendominasi dada. Ingin sekali kaki ini berlari memastikan apa yang dikatakan lurah pondok itu hanya kabar bohong, hanya sebuah gurauan yang tidak lucu atau mungkin salah bicara saja. Akan tetapi ketidakberdayaanku membelenggu bisu. Hati ini mulai membenarkan kabar pahit yang baru saja tersiar. Tidak mungkin ada seorang santri yang menyiarkan berita bohong seperti itu. Tidak mungkin kabar itu bohong jika Mbak Cimut menyampaikannya dengan penuh ketidakberdayaan. Aku sendiri lemas. Hati dan pikiranku kacau. Kehilangan ini sungguh menyakitkan. Tak ada mata yang kering. Tak ada sedikitpun senyuman yang tampak disunggingkan.
Saat itu, ucapan belasungkawa berbondong-bondong menghujani pesantren. Saat mobil ambulan yang membawa jenazah mulia bapak tiba, suasana semakin mencekat. Tangis semakin pecah. Krapyak berduka, hatiku bukan satu-satunya yang terluka. Aku bukan satu-satunya yang menangis.
“Cukup Mbak.” Aisyah menghentikan ceritaku. Pipinya sudah dibanjiri air mata.
“Loh.. kamu menangis Dek?”
“Iya Mbak.. Aku memng tidak pernah bersua dengan Bapak. Tidak pernah mendengar suara Bapak. Aku tidak pernah melihat secara langsung kebaikan yang dilakukan Bapak. Aku hanya mengenal beliau melalui buku biografi yang diberi pengurus. Tapi entah mengapa, sedih sekali hatiku mendengar cerita ini. Aku tidak sanggup membayangkan suasana hari itu Mbak.”
Mendengar pernyataan Aisyah, air mataku pun ikut meleleh.
“Mbak.. Aisyah belum pernah bertemu Bapak, tapi rasanya Aisyah sangat merindukan sosok Bapak Yai kita itu Mbak. Hiks..hikss” Aisyah kembali sesenggukan. Ku peluk dia erat-erat.
“Itu bukti bahwa Bapak Yai kita itu sosok yang luar biasa Dek. Beliau mampu menyentuh hati siapapun, bahkan orang-orang yang tak sempat bertemu beliau. Beliau memang secara fisik telah meninggalkan kita. Tapi lihatlah! Kamus Almunawwir yang ditulis oleh Bapak senantiasa menemani perjalanan santri-santrinya. Bapak akan selalu ada dalam hidup kita Dek. Menemani perjalanan kita menuntut ilmu di pesantren ini.”
“Artinya pengabdian Bapak abadi ya Mbak. Meskipun beliau telah wafat. Aisyah jadi pengen maqbaroh ke bapak besok Mbak. Aisyah rindu sekali.”
“Sama Dek. Mbak juga rindu sekali sama Pak Yai. Besok setelah ngaos bandongan kita ke maqbaroh, sekalian mengajak mbak santri yang lainnya.”
Aku dan Aisyah pun bersiap untuk tidur. Dari balik selimut, air mataku kembali mengalir tanpa perintah. Ceritaku malam ini membawaku pada kejadian enam tahun silam ketika bapak sedo. Aku menahan tangisku sekuat mungkin. Takut Aisyah si anak baru yang lembut hatinya itu menangis lagi.
“Bapak, kulo kangen.”
TAMAT
oleh: Dehab