Bakti Itu Ada

Diposting pada 118 views

Setiap malam, aku tidak pernah alfa untuk sekedar duduk di teras. Angin malam seakan menjadi nyanyian yang nyaman didengar oleh telingaku. Ia sama sekali tidak membuatku merinding kedinginan. Justru, ia yang mendinginkan emosiku setelah seharian bekerja.

Aku tidak sendirian. Aku ditemani dengan secangkir teh manis panas beraroma melati. Minuman ini biasa menemaniku. Ia tak pernah marah saat aku tak menyentuhnya hingga dingin karena terlalu lama terbuka. Atau ia juga tidak akan mengomel karena aku membiarkannya. Biasanya, saat pikiranku sedang rumit, aku bisa menghabiskannya dalam sekali teguk. Tapi saat aku sedang merasa bahagia, aku melupakannya. Alih-alih meminumnya, tersentuh pun tidak.

Aku hanya tinggal berdua dengan asisten rumah tanggaku. Beliau seorang ibu dua anak. Kedua anaknya laki-laki. Keduanya memilih pergi ke kota untuk mengadu nasib. Ibu Marni namanya. Ia tiba-tiba datang ke teras dengan membawa sepiring pisang goreng.

Baca Juga:  Kepada Ibu

“Non, ini pisang goreng, baru saya goreng. Silakan dinikmati, mumpung masih hangat”. Bu Marni meletakkan piring di samping minumanku.

“Makasih, bu. Padahal kalau ibu memanggilku dengan nama saja juga tidak apa-apa, lho”.

Bu Marni hanya tersenyum mendengar kalimatku. Aku sudah mengatakannya berulang kali. Tapi tetap tidak mengubah kebiasaannya.

“Saya menghormati, Non”.

“Seharusnya saya yang menghormati ibu”.

Lagi-lagi bu Marni hanya tersenyum. Aroma pisang goreng menyita perhatianku. Aku mencomot satu pisang dan mempersilakan bu Marni ikut menikmatinya juga. Tanpa ragu bu Marni mengambil satu pisang goreng dan makan bersamaku di teras.

“Hmm…enak, bu. Beli pisang dimana? Pisangnya empuk. Oh iya, kita masih punya selai coklat atau keju ga, ya?”

“Saya metik sendiri, Non. Di belakang rumah saya ada pohon pisang. Saya sengaja menanamnya, barangkali sewaktu-waktu butuh. Seperinya masih, saya ambilkan”.

Aku masih manggut-manggut menikmati pisang goreng. Bu Marni Kembali membawa selai coklat dan keju yang sudah diparut.

“Makasih, bu”.

“Sama-sama, Non. Sudah tugas saya”.

Aku mencomot pisang goreng lagi dan kucelupkan ke dalam selai coklat.

“Bu, apa saya boleh bertanya?”

Bu Marni mengangguk.

“Saya tidak bermaksud menyinggung ibu. Saya hanya penasaran saja dengan kabar kedua anak ibu”.

“Tidak apa-apa, Non. Sebenarnya, selama anak saya merantau, saya tidak pernah tahu kabar mereka. Tidak ada nomor yang bisa dihubungi dan mereka tidak pernah memberikan kabar kepada saya”.

Baca Juga:  Akankah Kita Harus Selalu Hidup di atas Harapan Orang Tua?

Aku menghela nafas. Aku yang yatim piatu selalu merindukan kedua orang tuaku. Mengapa orang-orang yang masih memiliki orang tua justru malah menyia-nyiakannya?

“Memangnya, sudah berapa lama mereka pergi?”

“Sudah 5 tahun. Si sulung sekarang sudah berumur 27 tahun, sedangkan adiknya sekarang berumur 22 tahun. Saya masih ingat hari ulang tahun mereka berdua. Saya juga selalu berharap mereka datang saat lebaran. Tapi ternyata…tidak”.

Bu Marni mulai terisak. Rupanya percakapan ini cukup menguras emosi. Aku memeluknya. Aku sudah menganggap bu Marni seperti ibuku sendiri. Meskipun beliau masih memperlakukan aku layaknya seorang majikan.

“Besok, kita coba cari tahu, ya, bu. Insya Allah saya bersedia membantu”.

Bu Marni terkejut.

“Serius, Non?”

Aku mengangguk. Bu Marni tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.

Keesokannya, aku dan bu Marni mencoba meminta tolong ke kantor polisi. Dengan membawa berkas-berkas keluarga, bu Marni mencoba menceritakan sedetail mungkin.

“Baik, laporan saya terima. Adapun untuk hasil pencariannya baru dapat kami sampaikan 2-3 hari lagi”.

“Iya, tidak apa-apa, pak”.

Kami pamit undur diri. Aku mengantar bu Marni pulang. Sementara aku kembali ke kantor karena ada meeting kerjasama dengan perusahaan yang ada di kota. Aku menyalami atasan mereka.

“Selamat siang, pak”

“Selamat siang juga, bu”.

Kami berbincang kemudian dilanjutkan dengan meeting. Selesai meeting, aku mengajaknya berbincang. Aku juga tak segan meminta bantuan padanya untuk mencari informasi mengenai anak bu Marni. Aku memberikan data-data keluarga milik bu Marni yang sengaja aku bawa ke kantor.

Baca Juga:  terimakasih Ibu dan aku (XIIXIIMMXX)

“Saya tahu nama ini”.

Aku terkejut.

“Benar, pak? Namanya? Tanggal lahirnya?”

Beliau mengangguk.

“Boleh saya tahu dia sekarang ada di mana?”

“Boleh sekali, bu. Dia asisten saya”.

Alhamdulillah… Berarti dia ikut ke sini, pak?”

“Ya benar, dia ikut”.

Setelah percakapan itu, aku diajak bertemu dengan anak sulung bu Marni. Ia seorang pria yang gagah dan tampan. Aku segera mengajaknya bertemu dengan bu Marni di rumah.

“Saya selalu mengirimkan surat dan wesel pada ibu. Tapi sepertinya tidak pernah sampai ke tangan beliau. Saya sedih karena tidak bisa pulang. Pekerjaan saya banyak. Saya juga tidak tahu kalau ternyata ibu saya pindah rumah”.

Pengakuan itu terucap dari seorang anak sulung bu Marni. Sungguh beruntung bu Marni memiliki anak yang berbakti. Meskipun baktinya terhalang oleh wesel dan pos, aku bersyukur bisa mempertemukan mereka.

“Nak, sebenarnya ini rumah Non Tika. Bukan rumah ibu. Ibu tidak pernah pindah rumah”.

Kami bertiga tertawa.

 

Penulis: Mutiara Nurul Azkia

Pictured by M.T ElGassier on Unsplash