Setiap malam, aku tidak pernah alfa untuk sekedar duduk di teras. Angin malam seakan menjadi nyanyian yang nyaman didengar oleh telingaku. Ia sama sekali tidak membuatku merinding kedinginan. Justru, ia yang mendinginkan emosiku setelah seharian bekerja. Aku tidak sendirian. Aku ditemani dengan secangkir teh manis panas beraroma melati. Minuman ini

Suara tangisan air hujan, becekan air yang menggenang, serta obor api yang seakan berteriak meminta padam. Suasana malam ini memang tak seindah yang diperkirakan. Gelap gulita menyerang seluruh isi pedesaan, membuatku mengeluh karena tak ada satupun sumber cahaya yang dapat menuntun netraku mengambil jalan. Tak sesekali kakiku menginjak potongan ranting-ranting

“Jika kamu hendak berjalan, maka berjalanlah sebagaimana kamu ingin. Dunia memang tempat menuju, tetapi tidak selamanya tentang saling cepat kepada garis ujung. Setiap kita punya rute yang tidak sama, tentu yang paham akan jalannya adalah si empunya rute juga” ujar bapak kepada kura-kura kecil, anaknya, sehari sebelum jatah ruhnya selesai

Jalanan kota selalu panas, sesak, dan tak ramah. Bahkan pepohonan yang seharusnya memberi kesan tentram dan nyaman, nyatanya tak lebih dari sebuah pelengkap tata ruang kota. Bangunan-bangunan pun demikian, tak peduli semenarik apa sejarah dan bentuknya saat ini, ia hanya benda mati yang tak bisa apa-apa, melihat kekacauan di jalanan.

Ke mana aku akan pulang kalau bukan ke rumah? Apa itu rumah? Apakah hanya sebuah benda gabungan bentuk persegi dan segitiga yang saling tumpang tindih? Ataukah ia dapat mewujud sebagai bentuk yang lain? Tak terasa, aku duduk termenung lumayan lama di bangku koridor kelas. Aku asik menikmati nyanyian yang dihasilkan

Lembut tangannya mengusap pipiku, bibir indahnya mengecup keningku. Ia yang kupanggil “ibu”, kini berada tepat di depanku. Setelah sekian lama tak bertatap. Setelah bertahun-tahun tak kujamah tangannya. Tak ada perubahan yang signifikan padanya. Justru bagiku, ia awet muda. Bahkan saat foto bersama pun ayah bergumam seperti anak kembar. “Bu, Riiy,

Hari Selasa. Pagi-pagi sekali aku berangkat sekolah karena piket kelas, walaupun aku tidak terbiasa untuk bangun pagi dan tentunya selalu dimarahi ibu karena kesiangan. Sesampainya di sekolah, aku membersihkan kelas 11B dengan teman-teman lainnya. Setelah itu teman-temanku berdatangan satu-persatu, sekitar 5 menit sebelum pelajaran dimulai semua siswa telah masuk kelas.

Semilir angin menerbangkan anak rambutku. Aku masih duduk bergeming di tepi sungai dangkal sembari melihat pantulan bayangan wajahku. Di dalam tas yang aku gendong, telah aku siapkan satu buah botol kaca dan buku-buku pelajaran siang tadi. Setiap Sabtu sore, aku tak pernah absen menulis di tepi sungai ini. Aku tidak

Seperti biasa, hari ini aku duduk di lantai tiga sambil menikmati senja di tanah Krapyak yang kata orang senja di sini begitu indah, sambil membawa mushaf Al Qur’an yang telah menjadi sahabatku selama dua tahun belakangan ini. Aku mengingat kembali percakapanku dengan kedua orangtuaku tiga tahun lalu, saat aku sempat

Berstatus sebagai seorang mahasiswa sekaligus menjadi seorang santri bukan suatu hal yang mudah untuk dijalankan secara beriringan. Dalam menjalankannya, terkadang salah satu di antara keduanya ada yang harus direlakan dan dikorbankan, karena manusia itu tidak akan mampu memegang dua kendali sekaligus di dalam kehidupannya. Kendati pun mampu untuk menjalankan keduanya