botol kaca

BOTOL KACA

Diposting pada 221 views

Semilir angin menerbangkan anak rambutku. Aku masih duduk bergeming di tepi sungai dangkal sembari melihat pantulan bayangan wajahku. Di dalam tas yang aku gendong, telah aku siapkan satu buah botol kaca dan buku-buku pelajaran siang tadi. Setiap Sabtu sore, aku tak pernah absen menulis di tepi sungai ini.

Aku tidak tahu persis sudah berapa lama aku terdiam di sini. Akhirnya, aku memutuskan untuk menulis sesuatu. Aku menyobek dua lembar kertas di tengah buku tulis. Kemudian, aku mulai menulis dengan pulpen berwarna merah muda kesayangan.

“Kenapa hari-hariku selalu seperti itu(?) Aku tidak tahu, kalimat itu merupakan kalimat tanya atau justru hanya pertanyaan retoris yang tak perlu jawaban. Aku telah melewati enam hari sekolah pada Minggu keempat bulan Juni. Mulai Senin besok, aku harus mengerjakan soal-soal Ujian Kenaikan Kelas sampai hari Sabtu depan.

Hari Senin, aku bangun pagi seperti biasa. Aku juga membantu ibuku menyiapkan barang-barang dagangannya. Kemudian aku membuatkan kopi untuk bapak dengan takaran seperti biasa, dua sendok makan kopi ditambah dua sendok teh gula. Aku tidak tahu kenapa ada takaran seperti itu. Bukankah dua sendok teh sama saja dengan satu sendok makan? Kenapa bapak memarahiku saat aku mencoba mengganti dua sendok teh dengan satu sendok makan? Ya sudahlah.

Setelah pekerjaan rutin itu selesai, aku baru bisa berangkat ke sekolah. Hari senin biasa saja sebenarnya. Tetapi, kenapa aku harus bertemu dengan orang itu lagi?

Selasa, aku melakukan kegiatan rutinku seperti biasa. Kemudian, aku berangkat sekolah dengan ketakutan. Karena orang itu terus menghantuiku.

Begitu juga hari-hari setelahnya. Terkecuali hari Sabtu. Setiap Sabtu, aku merasa bebas karena tidak diikuti oleh orang itu. Dan seperti biasa, aku rutin ke sungai ini untuk sekedar menulis. Lalu, aku buang begitu saja ke sungai. Memangnya ada orang yang mau membaca gulungan kertas dalam botol kaca? Cerita itu hanya cerita jadul, alias jaman dulu.

Aku bingung, sebenarnya apa motif orang itu menghantuiku, mengikutiku, dan tatapannya… kenapa begitu menakutkan? Hari-hariku selalu diliputi ketakutan terus-menerus. Sudah lah, sepertinya tulisan ini sudah cukup banyak”. Kertas itu segera aku gulung.

Baca Juga:  Lentera yang Bersembunyi

Aku membuka tutup botol kaca bekas sirup rasa cocopandan yang iklan produknya hanya ada saat menjelang bulan puasa. Kemudian, gulungan kertas tadi aku masukkan ke dalamnya. Lalu, aku menutup kembali botol sirup itu.

Saat aku hendak melemparkan botol kaca itu ke sungai, tiba-tiba ada tangan yang mencengkeram pergelangan tanganku. Saat menoleh, aku sangat terkejut. Aku ketakutan.

“Kenapa kamu selalu menulis di sini? Lalu, kenapa tulisanmu dimasukkan ke dalam botol kaca yang buruk ini? Memangnya ikan suka makan kaca? Ingat, Nain, ikan bukan kuda lumping”. Dia terkekeh.

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Sepertinya ada yang membungkam mulutku. Tetapi wujudnya tidak kasat mata. Aku benar-benar terbungkam. Orang itu telah berdiri di sampingku sambil memegang botol kacaku yang tidak sempat aku lempar ke sungai. Eh, kenapa orang itu tahu namaku? Bukankah selama ini aku tidak pernah menulis namaku di setiap tulisan yang terbuang itu? Aku tidak yakin kali ini.

“S…s…siapa kamu?”

Dia terkekeh, lalu duduk di sampingku. Aku benar-benar mati rasa sekarang. Seluruh tubuhku terasa terkunci, tidak bisa bergerak. Aku menunggu dia menjawab pertanyaan tadi.

“Kamu tidak mungkin mengenalku, Nain”.

“Kenapa? Bukankah kau hanya harus menyebutkan nama saja? Apa susahnya sih?”

Dia terkekeh lagi. Apa orang ini terkena gangguan kejiwaan?

“Baiklah, aku Gery. Kalau boleh aku tebak, usiaku terpaut lima tahun denganmu”.

“O…”

Mulutku sempurna membulat. Banyak sekali pertanyaan yang ingin aku ajukan padanya. Sebentar, aku tidak lagi merasa ketakutan. Sepertinya, dia pandai mencairkan suasana. Kalau aku tidak sadar waktu, aku mungkin bisa berlama-lama dengannya.

“Sudah sore, aku pulang dulu. Nanti dimarahi ibu”.

Aku beranjak dan mulai berjalan menjauhi sungai.

“Memangnya ibu masih memarahimu?”

Aku mengangguk. Sebentar, kenapa dia bisa tahu hampir semua ceritaku? Aku berhenti dan menoleh ke orang itu lagi.

“Aku tahu, kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa mengetahui semuanya. Iya, kan?”

Baca Juga:  Bakti Itu Ada

Aku mengangguk lagi.

“Aku sebenarnya sama kesepiannya denganmu. Aku juga mempunyai hobi yang sama, mengunjungi sungai setiap Sabtu sore. Tapi bedanya, aku tidak menulis di botol kaca sepertimu. Sialnya, aku malah menemukan botol kacamu di depanku. Awalnya, aku hanya ingin tahu. Lama kelamaan, kebiasaan itu menjadi sebuah kesenangan. Meskipun aku belum tahu wajahmu, aku sudah tertarik melalui tulisanmu, Nain.

 

Namamu, aku tahu dari ibu-ibu yang mencuci baju di sungai seberang. Katanya, ada anak yang suka membuang botol kaca di sungai. Satu di antaranya mengenalmu. Aku mendengar dengan baik nama anak itu. Beberapa minggu lalu, aku tahu sekolahmu. Diam-diam aku juga mengikutimu ke sungai dua minggu lalu. Awalnya aku sama sekali tidak tahu Nain itu yang mana. Kemudian, terlintas ide itu. Aku ke sungai terdekat pada Sabtu sore. Berhasil. Kau ada di tepi sungai”.

Dia terkekeh lagi. Kenapa orang ini suka sekali terkekeh seperti itu?

“Lalu, apa yang kau mau?”

“Aku bekerja di salah satu media. Dari tulisanmu, sepertinya kau puitis. Selama ini, aku telah mengumpulkan tulisan dari dalam botol kacamu. Apa kau mau menulis untuk media kami?”

Aku lagi-lagi terkejut. Aku tidak bisa langsung memercayainya.

“Apa yang bisa aku percaya dari anda?”

Dia merogoh saku celana dan mengeluarkan satu lembar kertas kotak kecil. Katanya itu kartu nama.

“Di sini ada kontakku. Kau bisa menghubungiku kapan saja. Kau tidak harus memutuskannya hari ini juga. Kalau kau sudah memutuskan, kau bisa menghubungiku kapan saja”.

Dia berdiri dan menyodorkan kartu nama itu. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Setelah ini, hari-hariku tak lagi diliputi ketakutan. Aku juga masih bisa mengunjungi sungai ini setiap Sabtu sore. Karena bagaimana pun, sungai ini saksi atas semua ceritaku.

Oleh: Mutiara Nurul Azkia

Photo by Andrew Measham on Unsplash