Lembut tangannya mengusap pipiku, bibir indahnya mengecup keningku. Ia yang kupanggil “ibu”, kini berada tepat di depanku. Setelah sekian lama tak bertatap. Setelah bertahun-tahun tak kujamah tangannya. Tak ada perubahan yang signifikan padanya. Justru bagiku, ia awet muda. Bahkan saat foto bersama pun ayah bergumam seperti anak kembar.
“Bu, Riiy, ayo siap-siap, kita dinner di resto apung dekat rumah nenek. Satu jam lagi kita jalan.” Teriak ayah dari ruang keluarga.
“Laaah Ayah aja masih santai kok.” Jawab ibu dari dapur.
Kemudian ayah berjalan menuju dapur menghampiri ibu dan aku.
“Sudah sana mandi, dandan yang cantik, masaknya ditunda dulu buat besok.” Sahut ayah sembari melepas celemek ibu.
“Ah Ayah, aku sudah rindu masakan ibu, malah disuruh menunda dulu, gimana sih, anaknya lapar juga.” Rengekku kepada ayah.
“Makan roti sobek dulu sana buat ganjal, terus mandi, habis itu dandan yang cantik ya, pokok satu jam lagi harus sudah siap. Ayah tunggu di mobil.” Jawab ayah ketus.
“Iya iya, bawel ah ayah.” Jawabku kesal.
Satu jam kemudian, aku menuju mobil dengan memakai jilbab pasmina warna hitam, hoodie merah muda dan celana jeans, ditambah sepatu warna merah muda pula. Disusul ibu dengan gaun indah berhias bunga, dengan warna merah muda dan jilbab warna navy, beralas high heels setinggi lima centimeter.
“Loh loh loh, kok ayah seperti single parents mengasuh anak kembar beda kepribadian.” Celetuk ayah heran.
“Iya ih Ibu sok muda banget.” Ketusku.
“Tidak apa-apa dong, kita kembar duo merah mudah.” Jawab ibu heboh.
Tak lama kemudian, ayah menyalakan mesin mobilnya, ibu dan aku memakai sabuk pengaman. Mobil melesat dengan kecepatan normal. Sepanjang perjalanan ibu menceritakan betapa bahagianya selama bertugas di Singapura. Memiliki banyak kenalan dosen baru, bertemu mahasiswa-mahasiswa yang lucu, dan memiliki pengalaman perjalanan yang menyenangkan. Di tengah-tengah asiknya ibu bercerita, ayah menceletuk.
“Ada dosen yang ganteng tidak Bu?”
Ibu dengan sigap menjawab “ tidak ada.”
Dengan tatapan menggoda ayah menjawab, “Yaqin?”
“Yang ganteng cuma ayah, kan yang ibu cinta cuma ayah seorang.”
Aku hanya tersenyum kecil di kursi belakang, tidak berani menyela obrolan atau mencampuri pembicaraan, karena aku juga rindu suasana harmonis seperti ini. Setelah tiga bulan ditinggal ibu bertugas dan ayah juga sibuk dengan bisnisnya di Surabaya.
Meskipun begitu, aku sangat bersyukur karena di tengah-tengah kesibukan mereka selalu saja mau meluangkan waktu untukku dan untuk kita bertiga. Sesederhana dinner kali ini sangatlah berharga. Mengingat lusa ayah sudah harus terbang lagi ke Surabaya. Dan ibu, meskipun di rumah pastilah akan disibukan dengan laporan ini itu, koreksi makalah mahasiswanya dan lain sebagainya.
Obrolan manis dan candaan mereka masih saja mengalir, dan aku masih memilih diam dan tersenyum kecil seraya berdoa dalam hati
“Tuhan, tolong tetap jaga kekompakan, keharmonisan, dan kehangatan di keluargaku ini. Seberapapun waktu yang kau berikan, entah sehari, sejam, bahkan setiap menit yang ku lalui bersama mereka, aku akan selalu mensyukurinya. Keluarga kecil yang bahagia dan penuh cinta bak warna merah muda bajuku dan baju ibuku”
Oleh : Kamar 2A
Photo by Elle Hughes from Pexels