Aku berlari kencang melewati medan terjal jalan tak beraspal. Sesekali tersandung bahkan hampir menabrak pengemudi sepeda onthel yang lewat. Tapi itu semua tak menghalangiku untuk tetap melaju. Keringat sudah mengalir di pelipis bahkan sudah membasahi kerudungku. Tak sabar rasanya untuk segera membuka surat ini. Surat beramplop coklat sama seperti yang pernah kukirim satu bulan yang lalu. Hanya ada satu perbedaan, yang ini berkop sebuah nama universitas ternama di pusat kota sedangkan punyaku bertuliskan nama lengkap beserta alamat rumah.
Semua orang pasti punya mimpi. Begitupun aku. Aku punya mimpi besar tapi entah mengapa menurut orang-orang hanya angan semata. Bahkan kakak perempuanku saja hanya tertawa mendengarku bicara.
“Orang besok kerjanya bakal ngurus rumah kok pake aneh-aneh segala. Apa kau tak puas jika hanya lulus SMA! Jangan bebani kakak lagi lah.”
Walaupun dikatakan dengan nada negatif, aku menganggapnya sebagai cambuk agar bisa lebih baik lagi dan dapat membuktikan bahwa aku bisa.
Jujur, aku bermimpi menjadi seorang penulis. Sejak kecil menulis adalah bagian dari hidupku. Karna aku dikenal sebagai gadis penyendiri, aku lebih suka berteman dengan buku-buku dan pulpen ketimbang dengan anak-anak sebayaku. Mereka sedang bermain petak umpet di luar dan aku asyik menoreh kata-kata di atas kertas.
Almarhum Ayahkulah yang menjadi motivator dalam hidupku, yang mendukung penuh keinginanku. Beliau tak menekanku untuk menjadi seorang guru di desa seperti halnya beliau sendiri. Aku masih ingat kata-kata ayah,
“Hidup ini berisi penuh dengan impian-impian, kita harus punya mimpi, kita harus punya mimpi yang tinggi, kita harus berani bermimpi besar. Anakku, orang-orang besar di luar sana menjadi besar karena mimpi-mimpinya yang selalu besar…!!!”
dan satu lagi yang paling aku suka,
“Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis, menulis”
Berkat motivasi dari beliau, aku dapat menyelesaikan karya-karyaku. Mulai dari cerpen, cerita bersambung sampai artikel. Dan aku yakin, esok hari semua buku-bukuku itu akan dicetak dan bermanfaat bagi orang lain. Aku yakin itu.
Kembali dengan impianku, buku yang aku tulis nanti bukan dijual di toko buku terkenal ataupun diantar oleh tukang pengantar koran, melainkan kujejer rapi dalam beberapa lemari didalam sebuah perpustakaan kecil yang kubangun sendiri. Aku ingin memajukan pendidikan di daerah tempat tinggalku yang tergolong rendah. Belum lama ini aku merasa bahwa pemerintah terkesan ‘pilih kasih’ dalam memberikan akses pendidikan. Nyatanya belum banyak bantuan untuk menunjang pendidikan di sekolah, terkhusus daerah terpencil seperti desa yang kutempati ini. Karna itu aku ingin menyelamatkan masa depan anak-anak yang saat ini sarat akan pendidikan luas seperti halnya kebutuhan jendela dunia, yakni buku. Kalau bukan kita yang membangun Indonesia, siapa lagi? Sayangnya pemikiranku saat kanak-kanak berbeda dengan sekarang. Untuk saat ini yang kuinginkan hanya satu, yakni kuliah. Selain itu, ada sesuatu yang terjadi padaku dan akhirnya dunia menulisku berhenti.
Ketika sudah mulai terlihat sebuah rumah kecil berdinding anyaman bambu yang berada di tempat paling ujung (itu rumahku), aku mulai memperlamban lariku menjadi hanya berjalan. Melewati pintu dengan hati-hati dan langsung masuk ke dalam kamar. Membuka surat itu dan membacanya dengan seksama. Tak lama kemudian aku menelan pahit. Aku ditolak.
Satu bulan tak terasa waktu penantianku menunggu surat ini datang. Tapi ternyata aku ditolak. Beasiswa kurang mampu itu gagal kuraih. Kenapa bisa? Seolah tak ada harapan lagi, aku masih mencari cara agar masuk perguruan tinggi. Apapun itu.
Itu memang kenyataan terpahit bagiku yang membuahkan sisi positif untuk tetap maju walaupun sempat membuatku sedikit drop. Setelah hari itu akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke Ibu Kota. Bermodalkan nekat dan beberapa rupiah dari uang tabungan, kuberanikan diri untuk diam-diam pergi. Aku percaya bahwa tak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Pagi itu aku pergi dengan mengucapkan sebuah mantra ajaib, mantra para pejuang untuk tetap optimis. Bismillah… man jadda wa jadda….. dan sepucuk surat yang kuletakan di atas meja, teruntuk kakakku tersayang.
“Jadi anak desa yang pernah ngirim permohonan beasiswa kurang mampu itu kamu?” Aku duduk di atas kursi beludru dalam ruangan ber-AC. Pria paruh baya yang duduk berhadapan denganku mengintrogasi bak polisi yang tengah menanyai seorang pencuri. Aku menjawabnya dengan anggukan. Jam dinding masih berdetak, jarum pendeknya tertuju pada angka lima.
Setelah itu, percakapan diantara kami berlanjut. Dari raut wajah pria itu menggambarkan kelabu pekat. Lama kelamaan alasan yang dia katakan tidak rasional sampai aku tak dapat menjelaskanya. Beberapa kali mengelak tetap saja dia memberikan jawaban yang berbelit. Akhirnya aku tetap ditolak. Tak ingin kelihatan lemah karna air mata yang sudah mengumpul disudut mata, aku segera beranjak pergi. Untuk kali ini aku menyerah. Ini kedua kalinya pahit menyerang.
Matahari mulai lenyap. Bulan keperakan muncul menggantikan perannya. Aku bergegas pergi dari kawasan universitas, tapi selanjutnya aku harus ke mana? Kurogoh saku celanaku. Uang hanya tinggal beberapa keping. Jadi sudah habis untuk perjalan tadi? Ah, lengkap sudah penderitaanku. Gagal menjadi mahasiswa lalu tersesat di tengah kota. Kalau begini mana bisa pulang? Aku kebingungan dan memutuskan untuk tetap berjalan. Mungkin ada orang yang dengan baiknya mengantarku pulang.
Mataku mengerenyit ketika mendengar sesuatu yang janggal. Suara itu seperti rintihan kesakitan. Aku berjalan agak cepat mengikuti suara itu. Dan benar, aku sangat terkejut ketika seorang wanita berkerudung duduk di trotoar sambil memegangi dadanya. Nafasnya tersengal-sengal hebat. Aku mendekatinya. Ia menatapku dan dengan sisa kekuatan melawan sakitnya ia memintaku untuk mengambilkan sesuatu. Jarinya menunjuk ke arah sebuah tas yang tergeletak tak jauh dariku. Aku menuruti perintahnya. Membuka dan mencari lalu aku menemukan alat bantu pernafasan berbentuk huruf L. Gerak cepat, aku memberikanya dan ia tak tersengal lagi.
Kami duduk di pinggir jalan. Sambil mengucapkan terimakasih, dia memberitahuku bahwa tas ransel dipunggungku jatuh dan isinya berserakan. Segera aku memungutinya dan dia ikut membantu walaupun aku sudah melarangnya. Sambil membereskan barangku, kami berkenalan. Dia bernama Maria. Dari obrolan singkat tersebut aku tahu tentang dia dan ia tahu tentang aku. Ia tahu namaku, rumahku dan niatku pergi ke kota. Sepertinya kami bisa berteman dengan baik. Entah kenapa tiba-tiba ia berhenti. Tanganya beralih pada buku jilid-an tebal kepunyaanku. Lalu ia membukanya lembar demi lembar.
“Ini punyamu?”
“Iya, hanya tulisan semasa kecil. Tak penting.” kataku tersenyum. Maria menatapku. Kulihat ia sedang berfikir sesuatu. Lantas ia tersenyum.
“Malam ini bagaimana kalau menginap di rumahku dulu, kau perlu istirahat setelah perjalanan jauh”, tawarnya. Aku mengangkat wajah. Kulihat ia sudah berjalan menjauhiku.
“Aku tak menawarimu yang kedua kalinya. Kalau mau, ikutlah aku!” Senyumnya bagaikan malaikat. Ya, dia memang malaikat, tepatnya malaikat penolongku. Terimakasih Tuhan. Mungkin ini balasan setelah apa yang telah terjadi padaku tadi. Segeraku mengangguk mengikuti langkahnya yang telah mendahuluiku.
Malam itu aku bercerita lebih panjang padanya setibanya dirumah. Dengan antusias ia menyimak semua yang kukatakan. Dan tak lama, kami tertidur dengan mimpi kami masing-masing.
Entah apalagi rencana rahasia Tuhan di balik semua ini, aku tak bisa menebaknya. Tapi aku bisa merasakanya dan mengalaminya. Siang ini, Maria membawaku ke jalan yang telah ku kubur jauh-jauh dari pemikiranku sebelumnya.
“Hei, bukannya kamu pernah bilang bahwa impianmu menjadi penulis bukan untuk kuliah?”
“Benar, tapi itu dulu.” Jawabku singkat. Ia membetulkan duduknya menghadapku.
“Sekarang begini, aku memberimu masukan. Semua yang kita lakukan adalah hal yang baik. Tapi jika Tuhan berkehendak lain mau bagaimana lagi? Ketika kamu mengalami kegagalan, mulailah bermimpi, mimpikanlah mimpi baru dan berusahalah untuk merubah mimpi itu menjadi kenyataan. Tunggu sebentar….”, Ia beranjak pergi. Aku tak tahu yang akan ia lakukan. Tapi yang jelas tak lama setelah itu ia kembali sambil menyembunyikan kedua tanganya ke belakang.
“Mulailah kembali pada impianmu dulu……”, Ia meletakkan buku jilidan tebal milikku di atas meja. Aku menatapnya heran., mengerjap tak percaya dengan apa yang ia katakan.
“Maaf sebelumnya aku lancang, semalam aku membacanya. Dari semua ceritamu kau sangat berbakat. Daripada kau berhenti setelah kejadian kemarin, bagaimana kalau kau kembali menjadi penulis lagi? Seperti kecilmu dulu. Aku mendukungmu, Sa. Kalau perlu, aku bisa menolongmu.”
Langit terasa cerah seketika. Aku tak percaya tentang hal ini. Sekian lama aku mengubur kecintaanku kepada dunia tulis. Lelah bohong pada diriku sendiri, akhirnya seseorang menghargaiku. Setelah empat tahun yang lalu, setelah ayahku meninggal. Duniaku berbalik seketika. Tak ada yang dapat membiayai hidupku dan kakak. Bahkan kerabat kami seakan menjauhi kami seperti benar-benar bukan saudara. Semenjak itulah kakak mendidikku untuk terus belajar demi mendapatkan beasiswa gratis ketika naik ke kelas selanjutnya. Hanya itu yang kami andalkan agar aku bisa terus sekolah. Dengan berat hati kutinggal semua inspirasiku di dalam kertas untuk ku isi dengan belajar, belajar dan belajar.
“I…ni sudah lama aku tak melakukanya, lalu bagaimana?” Kataku terbata. aku tak dapat menahanya. Antara senang dan sedih. Lalu ia menjawab dengan sebuah ayat indah-Nya.
“Tidak ada yang sulit. Allah kan sudah menjamin dalam Qur’an, Laa yukallifulloohu nafsan illaawus’ahaa…. Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya.. Apa itu kurang jelas?”
Tidak ada yang tak mungkin, kata-kata itu begitu indah di telingaku. Mengguncang tubuhku dan memberi senyuman di wajahku meskipun akhirnya disertai dengan senggukan. Aku masih punya harapan. Aku masih bisa maju. Inilah awal yang baru…..
Sejak saat itu aku mulai berlatih dari nol lagi. Bersama sahabat yang meperoleh gelar ganda sebagai Ustadzah pribadiku dan editor sebuah redaksi penerbitan, Maria yang sampai saat ini belum mengusirku dari rumahnya (Oops!). Tentu saja kami patungan untuk pembayaran bulanan. Ini kebetulan atau tidak, aku tidak tahu. Setelah lama bersembunyi dibalik topeng, akhirnya terbuka juga. Aku tak sengaja mengetahui bahwa sebenarnya Maria adalah editor utama disebuah redaksi penerbitan. Katanya, ia terpaksa bohong karena takut pemikiranku berbeda denganya. Takut aku tidak mau menjadi penulis di redaksinya. Bukan hanya kebetulan. Keberuntungan pun kami dapatkan. Kalau saja pada malam itu Maria tidak kambuh di jalan dan aku tak lewat di waktu yang tepat, nasibku takkan jadi begini. Dan masa depanya tak secemerlang ini.
Layaknya air, kadang mengalir ditempat yang tenang kadang juga seperti di roller coaster, layaknya perjuanganku sebagai calon penulis. Yang isinya tidak sesuai dengan temanya lah,yang editanya salah lah, atau yang parah lagi ketika galau ditolak redaksi penerbit. Tapi tenang saja! aku tak pernah lupa dengan mantra ajaib dari Ustadzah, Laa yukallifulloohu nafsanillaawus’ahaa…… lagi galau, ayo dibacaa…
Perlahan tapi pasti, semua kerja kerasku membuahkan hasil. Satu per satu naskah dikirim dan diterima. Dari hobi menjadi pekerjaan hebat, karena bekerja sesuai dengan kata hati akan membuahkan kesuksesan. Dan tak lama lagi impianku akan terwujud. Aku akan pulang di waktu yang tepat. Saat aku sanggup membangun sebuah perpustakaan untuk desa yang sangat kurindukan. Dan teruntuk kakakku yang tentu saja telah menungguku pulang.
Percaya diri bisa melahirkan karya dengan baik, bekerja semampunya dan jangan jadi benalu untuk orang lain (Maafkan aku, Maria. Hehehe…). Modal sebuah kesuksesan bukanlah dari sekedar kemampuan, tapi juga kegagalanya. Seorang yang berhasil dengan banyak peluh tanpa berkeluh. Jadi, semangatlah! Genggam dunia ini erat-erat. Selalu optimis dalam hidup dan terus berfikir positif. Tak pandang dia miskin atau kaya, semua orang pasti bisa. Karena yang menghambat kita adalah keyakinan yang tidak seyakin-yakinya. Dan jangan lupa dengan mantra Ustadzah Maria dalam Surat Al-Baqoroh Ayat 286 :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ……الخ
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya”
Wallahu A’lam Bisshowab