Bolehkah Ziarah Kubur?

Diposting pada

Dalam hadits yang  diriwayatkan oleh Al-Hakim, disebutkan bahwa: “Berziarahlah ke kubur, karena ia dapat mengingat (kehidupan) akhirat.

Rasulullah SAW menziarahi kuburan syuhada’ Uhud  dan kuburan ahli Baqi’. Beliau mengucapkan salam kepada mereka dan berdoa untuk mereka, sebagaimana yang dijelaskan di awal. (HR Muslim, Ahmad  dan Ibnu Majah).

Hukum berziarah kubur bagi wanita masih diperselisihkan oleh para ulama. Sekelompok ulama memakruhkanya dengan status hukum makruh tahrim atau makruh tanzih, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah ra:

أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ  e لَعَنَ زَوَّارَاتِ الْقُبُوْرِ (رواه أحمد و ابن ماجه و الترمذي).

Artinya : “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat para wanita yang sering berziarah kubur.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).

Sebagian besar ulama memperbolehkan kaum wanita berziarah kubur jika aman dari fitnah. Mereka mendasarkan pendapatnya pada beberapa hadits berikut :

Pertama, hadits riwayat Muslim dari Aisyah ra.  Di dalam hadits ini disebutkan pertanyaan ‘Aisyah ra kepada RasulullahSAW : “Apa yang aku ucapkan sewaktuakuberziarah kubur?”. Jawab beliau : “Ucapkan Assalamu ‘alaikum ahlad-diyarilmukminin…

Kedua, hadits riwayat Bukhari yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw pernah melewati seorang wanita yang menangis di samping kuburan anaknya. Lantas beliau bersabda kepadanya :  اِتَّقِيْ وَ اصْبِرِيْ “Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah”. Dan beliau sendiri tidak mengingkari ziarah yang dilakukan oleh wanita tersebut.

       Ketiga, Hadits riwayat al-Hakim yang menjelaskan bahwa Fathimah ra menziarahi kuburan pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib setiap hari jum’at.

Keempat, hadits riwayat Abdullah bin Abi Mulaikah ra menjelaskan,

أَنَّ عَائِشَةَ اَقْبَلَتْ ذَاتَ يَوْمٍ إِلَى الْمَقَابِرِ فَقُلْتُ لَهَا  : يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتِ , فَقَالَ  مِنْ قَبْرِ أَخِيْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ.   فَقُلْتُ لَهَا : أَلَيْسَ كَانَ يَنْهَى رَسُوْلُ اللَّهِ e عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ؟   قَالَتْ نَعَمْ  كَانَ نَهَى عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ ثُمَّ أَمَرَ بِزِيَارَتِهَا

Artinya, “’Aisyah ra pada suatu hari berjalan menuju ke pemakaman, lalu ditanya oleh Abdullah : “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau?”. “Dari kuburan saudara lelakiku, Abdurrahman” jawab Aisyah ra. Tanya Abdullah, “Bukankah Rasulullah saw telah melarang ziarah kubur?”. Jawab Aisyah, “Memang benar beliau pernah melarangnya. Namun beliau lalu memerintahkannya”.

Dari sini terjawablah maksud dari larangan ziarah kubur bagi wanita. Larangan ziarah kubur merujuk pada ziarah yang dikhawatirkan dapat menimbulkan fitnah, contoh: bersolek berlebihan ketika akan ziarah kubur. Selain itu, ziarah kubur dilarang jika disertai tangisan, ratapan serta teriakan untuk orang yang sudah meninggal. Disamping itu, larangan ziarah kubur yang dimaksud adalah pada kaum wanita yang terlalu sering berziarah sebagaimana yang ditunjukkan oleh shighat mubalaghah  Zawwaaraat”. Jika seorang wanita terlalu sering ziarah kubur dikhawatirkan ia menyia-nyiakan kewajibannya kepada suami dan keluarganya.

Jika hal-hal yang menjadi  alasan dilarangnya ziarh kubur tersebut tidak ada,  maka kaum wanita diperbolehkan berziarah kubur. Kaum wanita pun tentu membutuhkan ziarah kubur untuk dzikrul maut (ingat mati) sebagaimana kaum laki-laki. (Dipetik secara ringkas dari kitab Ghautsul ‘Ibad, tulisan Mushthafa al-Hamami dan dari kitab Fatawi,  tulisan syaikh Hasanain Muhammad Makhluf).

Di dalam kitab Fatawi disebutkan, sudah menjadi kesepakatan di kalangan ulama, bahwa ziarah kubur bagi kaum laki-laki adalah sunnah, setelah sebelumnya dilarang pada masa awal munculnya Islam. Sebagian ulama Syafi’iyyah mengambil lafadz lahiriyah hadis “La’ana zawwaaraatil qubuur” sebagai dalil tentang keharaman dan makruh tahrim-nya kaum wanita berziarah kubur. Kemudian dikomentari oleh imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’, bahwa pendapat ini syadz (aneh dan langka) dikalangan madzhab Syafi’iyah. Yang jelas, jumhurul ulama’ memandangnya sebagai perbuatan yang diperbolehkan disertai  makruh tanzih.  Imam Nawawi juga menukil dari penyusun kitab Al-Bahr dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah : 1) hukumnya makruh, sebagaimana pendapat jumhurul ulama,  2) hukumnya tidak makruh. Dijelaskan pula, bahwa tidak makruhnya wanita berziarah, menurut KH Ali Maksum, merupakan pendapat yang lebih khas, jika dipastikan aman dari fitnah.

Benar adanya, bahwa ziarah kubur terkadang menimbulkan dampak negatif. Tidak sedikit orang yang pergi berziarah kubur sambil melakukan perbuatan-perbuatan diluar tuntunan agama. Misalnya kaum lelaki dan wanita bercampur, baik di tengah perjalanan maupun di lokasi makam. Hal  ini tentu tidak dibenarkan oleh akal dan hukum agama. Di lokasi makam, mereka makan-minum, tidur, bersolek dan melakukan perbuatan yang memalukan. Jika kondisinya seperti ini, maka ziarah kubur tidak dibolehkan, karena dapat mendatangkan fitnah atau dampak negatif, bukan semata-mata disebabkan bahwa ziarah kubur itu dilarang.

Dari uraian tersebut, hendaknya buanglah jauh-jauh sikap antipati. Jauhi sikap anti ziarah, memandang sinis kepada orang yang memperbolehkan dan orang yang melakukannya, dan menjulukinya sebagai “Ahli Kubur” (penduduk kuburan). Sikap tersebut menunjukkan kekerdilan terhadap sunnah Nabi (perilaku Nabi) dan seluruh ajaran madzhab dalam Islam.

Rasulullah SAW melakukan ziarah kubur dan mengajarkan kepada para sahabat tentang bagaimana tata cara berziarah. Kajilah kitab-kitab hadits, di sana dapat ditemukan penjelasan tentang kebolehan, anjuran, dan tata cara ber-ziarah kubur. Kitab-kitab susunan para ulama, baik dari kalangan Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah maupun yang lain terdapat penjelasan tentang bolehnya berziarah. Maka jika sudah mengetahui tentang hal ini tetapi masih mengingkarinya, tidak ada daya selain menyerahkannyakepada Allah. WalloohuA’lam.

Dilansir dari pengajian kitab Hujjah Aswaja dengan Gus Kholid