Kyai Henry Soetopo adalah sosok kyai yang terbuka dan amat menyayangi santri-santrinya. Bagi Kyai Henry santri yang nakal ataupun bertingkah macam-macam adalah suatu hal yang wajar, karena bagaimanapun juga santri itu masih dalam proses dan belum sepenuhnya terdidik. Namun, tak jarang lembaga-lembaga pendidikan pesantren memberikan kebijakan drop out kepada santri yang melanggar peraturan.
Hal itu menjadi salah satu perkara yang membuat Kyai Henry sedih. Bagi beliau kenakalan santri tak bisa sepenuhnya dilimpahkan kepada santri, bisa saja dari pihak pengurus yang belum memberikan pendampingan psikologis secara maksimal. Pasalnya wali santri mempercayakan anaknya ke pesantren bukan karena anak-anak itu sudah baik, melainkan membutuhkan pendidikan dan bimbingan terutama dalam berperilaku. Sehingga sangat disayangkan jika santri yang dianggap “nakal” harus dipulangkan kembali kepada orangtuanya sebelum waktunya.
Suatu waktu, ada tiga santri putra, sebut saja mereka satu geng yang melakukan pelanggaran dan telah melewati persidangan pengurus pondok, Kepala Madrasah, hingga pemegang otoritas pesantren, yaitu Mbah Yai. Palu persidangan telah diketuk dan ketiga santri itu sepakat dipulangkan.
Kyai Henry adalah wali kelas dari ketiga santri mbeling itu sehingga beliau tahu betul kenakalan ketiganya. Beliau juga setuju bahwa sanksi yang diberikan untuk ketiga santri itu sudah sesuai, akan tetapi naluri Kyai Henry berkata lain. Beliau melihat di wajah ketiganya masih ada harapan untuk menjadi seorang yang terdidik. Terlintas dalam benak Kyai Henry “Mungkinkah ketiga santri ini masih bisa menjadi baik?”
Sontak beliau teringat sebuah hadist yang intinya mengatakan bahwa manusia tidak bisa divonis jelek saat masih hidup. Bisa jadi orang yang terlihat baik dan bisa masuk surga ternyata hidupnya berakhir su’ul khatimah dan pada akhirnya masuk neraka. Demikian juga sebaliknya karena hidayah Allah tidak seorang pun tahu.
Beliau juga teringat akan kisah sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab yang dulunya jahat dan ingin membunuh nabi, pada akhirnya justru menjadi orang yang terhormat. Demikian juga kisah Raden Said yang kemudian menjadi Sunan Kalijaga.
Baca juga :
- Santri Memanggil: Santri Bergerak Seruan Aksi Damai
- SANTRI PUTRI MENDUNIA
- Puncak Harlah Komplek Q Ke-35
Atas dasar pemikiran tersebut Kyai Henry pun matur dan meminta izin pada Mbah Yai dan pengurus pondok untuk memberikan satu kesempatan lagi untuk mendidik ketiga santri itu agar menjadi orang yang baik dan taat peraturan. Beruntung mbah Yai menyetujui dengan jaminan pribadi yang diberikan Kyai Henry, jika ketiga santri itu melanggar peraturan lagi maka Kyai Henry akan pergi dari pesantren bersama mereka.
Langkah pertama yang dilakukan Kyai Henry adalah memanggil ketiga santri ke ndalem beliau dan menceritakan semuanya termasuk jaminan pribadinya. Semua bisa menerima dan sepakat membuat pernyataan tertulis untuk tidak melakukan pelanggaran lagi. Untuk membuktikan kesungguhan ketiganya, Kyai Henry memberi tugas untuk berkumpul di Komplek Diniyah pukul empat sore tepat. Jika ada yang terlambat satu menit saja, maka perjanjian batal.
Jumat sore pukul 15.30 ketiga santri sudah datang dan menunggu. Kyai Henry memerintahkan ketiganya untuk mencabuti rumput di Komplek Diniyah dan harus sudah bersih sebelum pukul lima sore. Dan apabila ada rumput yang terlewat, Kyai Henry mengancam akan mencabut gigi dari ketiga santri tersebut.
Di tengah hujan deras, ketiga santri itu mencabuti rumput dengan wajah takut dan tegang. Sebenarnya Kyai Henry juga tak tega melihatnya, tapi beliau tetap istiqamah demi komitmen dan mendidik ketiga santri itu.
Setelah selesai bekerja keras menunjukkan kesungguhannya, ketiga santri dipersilahkan mandi dengan air hangat yang telah disiapkan oleh Kyai Henry. Beliau bahkan memberikan teh panas dan makanan untuk ketiganya. Setelah itu Kyai Henry mengecek hasil kerja keras muridnya dan benar rumput-rumput itu bersih 100%. Kyai Henry pun memeluk mereka satu persatu dengan air mata haru yang tak terbendung lagi.
Semenjak kejadian itu, Kyai Henry dan ketiga santrinya menjadi sangat. Ketiganya pun berubah menjadi santri yang manis dan taat peraturan sampai mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Saat ini mereka telah menjadi orang yang sukses, bahkan dua diantaranya telah menyandang gelar Doktor dan menjadi dosen di salah satu universitas di Jakarta.
Dari kisah ini kita bisa tahu bahwa setiap orang berkesempatan untuk memperbaiki diri dan menjadi baik. Oleh karena itu, kita tidak boleh menghakimi seseorang hanya karena kesalahan yang mereka lakukan.
Oleh: Kamar 6D
Disarikan dari buku Catatan Seorang Santri
dengan judul “Santriku Ai Lap Yu” karya Kyai Henry Soetopo
Foto oleh Ahmed Mulla dari Pexels