Cirebon, NU Online
Tanggal 27 Rajab diperingati sebagai hari Isra dan Mi’raj Rasulullah SAW. Peristiwa tersebut harus diperingati dengan penuh keteguhan iman, termasuk dalam situasi dan kondisi saat ini, di mana virus corona (Covid-19) tengah mewabah.
“Iman itulah yang paling baik ketika kita menerima apapun dari semua sisi yang ada dalam kehidupan kita di alam ini,” kata Ketua Majelis Dzikir dan Shalawat Rijalul Ansor Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor KH Faris Elt Haq Fuad Hasyim saat ditemui NU Online di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, pada Ahad (22/3).
Kiai Faris mengatakan bahwa di antara hikmah paling baik dalam peristiwa Isra Mi’raj adalah menerima dengan iman. Sebab, Allah memberikan akal kepada manusia sangat terbatas. Pasalnya, ada teori yang di luar akal dan itu ada, yaitu teori keimanan.
“Akal kadang-kadang terlalu kecil untuk menerima teori keimanan, di antaranya peristiwa Isra Mi’raj,” katanya.
Peristiwa tersebut, menurutnya, memang harus diterima dengan iman karena akal terlalu kecil. Bagaimana tidak, katanya, perjalanan ribuan kilometer hanya ditempuh dalam waktu sepertiga malam saja. “Jelas secara akal, ini kita tidak nyampe,” ujarnya.
Jarak ribuan kilometer itu menembus tiga alam, yakni (1) Alam Lasut atau alam Indrawi meliputi perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis, (2) Alam Malakut dari Baitul Maqdis ke langit ketujuh, dan (3) alam Lahut dari langit ketujuh ke Sidratul Muntaha.” Akal gak mampu menerima. Ini menunjukkan bahwa akal itu ada batasnya,” kata kiai yang pernah menjadi Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Cirebon itu.
Kiai Faris memberikan contoh anak kecil yang pasti memiliki dua orang tua, yakni ayah dan ibunya. Keduanya itu, katanya, disebut sebab, sedang anak disebut akibat. “Tapi teori keimanan gak mesti begitu,” tegas Ketua Bidang Humas, Kominfo, dan Lingkungan Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren itu.
Nabi Adam, misalnya. Ketika Allah berkehendak tanpa ibu dan bapak, maka wujudlah Nabi Adam. Nabi Isa, ujarnya memberikan contoh lain, yang lahir dari seorang ibu bernama Siti Maryam, seorang wanita suci yang dihamilkan oleh Allah.
Dengan iman itu, menurutnya, kita akan berpikir bahwa semua ini kehendaknya Allah swt. Ketika Allah sudah berkehendak, maka apapun bisa terjadi, termasuk ketika kita dilanda musibah virus corona ini.
Ketika iman yang digunakan untuk melihat fenomena ini, maka hal tersebut adalah kehendaknya Allah. “Kalau kehendaknya Allah, maka balik lagi kita sebagai hambanya harus instrospeksi diri. Kenapa Allah sampai memberikan musibah seperti ini sampai jadi isu internasional,” ujar kiai alumnus Pondok Pesantren Al-Falah Ploso, Mojo, Kediri itu.
Pasalnya, Rasulullah saw sudah banyak memperingatkan kita bahwa di akhir zaman nanti bakal banyak wabah penyakit dan hanya umatnyalah yang selamat. Namun, tidak semua umatnya, melainkan mereka yang sering berwudhu.
“Kalau kita kaitkan dengan situasi sekarang, di antara penanggulangan virus corona itu anjuran kedokteran, kita harus memperbanyak cuci tangan. Cuci tangan kan salah satu rukun dalam berwudhu,” jelasnya.
Oleh karena itu, Kiai Faris menegaskan bahwa keimanan itulah yang harus kita pasang di depan dalam situasi apapun. Dengan keimanan itulah, menurutnya, kita sadar bahwa semua ini kehendaknya Allah.
“Kalau kita berpandangan bahwa ini adalah sebuah musibah, maka kita harus instrospeksi diri kenapa Allah memberikan musibah seperti ini. Kalau kita berpaham bahwa ini adalah hukuman dari Allah apalagi. Kita harus instrospeksi diri kenapa Allah menghukum kita seperti ini,” pungkasnya.
–
Sumber: NU Online