Gus Hilmi: Dari Kamus Al Munawwir Betapa Banyak Murid Mbah Warson

Diposting pada 183 views

Gus Hilmi Muhammad berkesempatan mengisi mauidzo hasanah dalam peringatan Haul Almagfurlah K.H. A. Warson Munawwir yang Ke-6. Kepala Madrasah MA Ali Maksum tersebut menyampaikan beberapa cerita mengenai almarhum, dari cara berpakainnya, organisasi, hingga cerita mengenai perjalanan sebuah maha karya, Kamus Al Munawwir yang mendunia.

Rabu, 12 Februari 2019 sore sekitar pukul 16.00 mendung mewarnai langit Krapyak. Tepat sore itu, Komplek Q memperingati Haul ke-6 sang maestro kamus, K.H. A. Warson Munawwir. Gus Fahmi bertindak sebagai pembawa acara dan Alvin sebagai qori’. Setelah mendengar sambutan keluarga oleh K.H. Muhtarom Busyro dan pembacaan tahlil oleh K.H. R. Najib Abdul Qodir, acara dilanjutkan dengan mauidzoh hasanah oleh Gus Hilmi Muhammad.

Dalam kesempatan tersebut, Gus Hilmi menyampaikan akan pentingnya haul, diantaranya haul merupakan washilah untuk mengingat kematian. “Siapapun yang meninggal, layak dijadikan sebagai mauidzoh atau pelajaran buat diri sendiri,” ujar Kepala Sekolah MA Ali Maksum tersebut. “Orang pintar adalah oang yang bisa menyiapkan dirinya untuk menghadapi kematian,” lanjut beliau.

Kedua, haul kali ini merupakan sarana mengenang kebaikan dan mendoakan almarhum K.H. A. Warson Munawwir. “Beliau guru saya. Dulu saya ngaji bareng Pak Toifur. Pak Toifur orangnya rajin,” kenang Gus Hilmi. Beberapa kitab yang dikaji bersama Mbah Warson adalah Mauidhotul Mu’minin, Muhadzab, Balagho, dan masih banyak lagi. “Sedikit ilmu yang kita dapat semoga bisa bermanfaat,” harap Gus Hilmi.

Gus Hilmi menuturkan bahwa Kiai Warson adalah kiai yang necis. Pergi ke berbagai tempat dengan menggunakan peci hitam. Sedangkan ketika di rumah, menggunakan peci putih. “Hal ini mengajarkan kita tidak usah gaya-gaya. Kalau Pak Yai Najib pecinya hitam, masak saya pecinya putih, kan tidak pantas,” kata Gus Hilmi yang disambut tawa hadirin. Selain necis, Kiai Warson merupakan seorang aktivis. Dari muda beliau sudah menjadi aktivis di berbagai organisasi, dari Ansor, Gemuis, partai politik, hingga pengurus NU.

Baca Juga:  Pengajian Jum’at Pon

Berbicara Kiai Warson tidak lengkap rasanya tanpa membahas mahakaryanya, Kamus Al Munawwir. Dari 1957, kamus ini mulai ditulis. Sebelum adanya kamus Al Munawwir, para kiai menggunakan kamus Al Munjid karya Louis Ma’ruf, pendeta asal Lebanon. Kamus Al Munjid adalah hasil ringkasan dari kamus Al Muhith, pengarangnya adalah Fairuzzabadi. Nama ini kemudian menjadi nama putra pertama Kiai Warson.

Sebab diringkas oleh seorang pendeta, beberapa kata yang terkandung dari ayat-ayat Alquran dan Hadist dihilangkan, hanya syiir-syiir yang ada. Padahal kata-kata ini terdapat di kamus Al Muhith. Selain itu awal mula adanya kamus untuk menjelaskan kata-kata dalam Alquran dan hadist. Kamus sendiri berasal dari bahasa Yunani artinya Lautan. Hal ini kemudian membuat Kiai Warson menyusun sebuah kamus. “Komplek Q ini singkatannya Komplek Q, Qomus,” canda Gus Hilmi.

Sebelum adanya kamus Al Munawwir, hampir tidak ada kiai yang tidak memiliki kamus Al Munjid. “Setelah adanya kamus Al Munawwir, Al Munjid tidak laku. Semua ganti ke Al Munawwir,” tutur Gus Hilmi. Bapak 3 anak ini menceritakan pengalamannya S2 ke Sudan. Beliau menuturkan bahwa barang terberat yang dibawa ke Sudan adalah kamus Al Munawwir. Sesampainya di sana, ternyata hampir semua orang punya kamus ini. Hal tersebut juga terjadi ketika beliau melanjutkan S3 ke Malaysia. “Kamus Al Munawwir tidak hanya kamus yang bersifat lokal saja, tapi internasional. Minimal Asia Tenggara, bahkan di perpustakaan Singapura ada kamus Al Munawwir,” ujar cucu dari K.H. Ali Maksum ini.

Selanjutnya, Gus Hilmi mengatakan bahwa murid Kiai Warson itu banyak. Santri Komplek Q sekitar 300, alumni mungkin ribuan, tetapi dari kamus Al Munawwir santri Mbah Warson bertambah banyak. Para pembaca kamus berarti santrinya Mbah Warson.

Baca Juga:  Pentingnya Taharah bagi Perempuan di Era Milenial

Perjuangan Kiai Warson menunjukkan baktinya untuk Islam dan Muslim. Hal ini lah yang disebut sebagai contoh dari khoirunnaas anfa’uhum linnass. “Orang pintar meskipun sudah di kuburan, tetap hidup sebab kemanfaatan ilmunya masih bisa dirasakan,” dalih Gus Hilmi.

Sebelum mengakhiri ceramah, Gus Hilmi berdoa, agar seluruh yang hadir di majelis dapat mengambil barokah. “Semoga bisa ketularan agar menjadi orang yang saleh, keluarga yang sakinah, dan masyarakat yang tayyibah, “ Ujar Gus Hilmi.