Selain menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, niat menjadi salah satu rukun puasa. Oleh karena itu, niat berpuasa merupakan sesuatu yang tidak boleh ditinggalkan oleh orang yang berpuasa. Terlebih, dalam melaksanakan puasa Ramadan.
Dalam perspektif fikih formal (hukum), niat akan menentukan sah tidaknya suatu amal ibadah. Sedangkan dalam perspektif fikih moral, niat dapat menentukan berpahala atau tidaknya suatu amalan. Maka, niat menjadi penting sebelum melakukan suatu kegiatan ataupun ibadah. Sesuai dengan hadis riwayat Imam Bukhari, Nabi Saw bersabda:
إنما الاعمال بالنيات
“Sungguh, setiap perbuatan itu tergantung niatnya.”
Niat puasa Ramadan menjadi pembahasan yang panjang dalam kajian fiqih lintas mazhab, terutama mengenai diskursus satu kali niat untuk puasa sebulan penuh. Ada dua pendapat mengenai hal ini:
Menurut kalangan Syafi’iyah, niat puasa untuk sebulan penuh cukup untuk puasa satu hari yang pertama saja. Hari-hari berikutnya tetap wajib niat. Jika tidak, maka tidak sah puasanya kecuali hari yang pertama.
Sedangkan menurut Imam Malik, niat puasa ramadan untuk sebulan penuh sudah mencukupi, tidak perlu niat lagi di hari-hari berikutnya. Niat puasa sebulan penuh di malam pertama ramadan sudah cukup untuk puasa sebulan penuh (Hasyiya Qulyubi wa ‘Umairoh 2/67, Al-Majmu’ Syarah Muhadzab 6/303, Hasyiyah al-Bajuri 1/288).
Dalam kitab Al-Bajuri juz 1 halaman 429 dijelaskan:
وعند الإمام مالك أنه يكفي نية صوم جميع الشهر في أول ليلة منه وللشافعي تقليده في ذلك لئلا ينسى النية في ليلة فيحتاج للقضاء
“Menurut Imam Malik diperbolehkan puasa satu bulan hanya dengan niat satu kali pada malam pertama ramadan, dan bagi mazhab Syafi’iyah boleh mengikuti (taklid) terhadap pendapat tersebut agar ketika suatu hari lupa niat puasa maka tetap berpuasa dan tidak wajib mengqadhanya.”
Dengan demikian, kalau kita menganut Malikiyah, kita diperbolehkan mengambil tindakan hati-hati pada malam pertama bulan Ramadan dengan melakukan niat puasa sebulan penuh. Apabila ternyata kemudian terjadi ‘udzur (berhalangan), maka harus memperbarui niat untuk hari-hari berikutnya. Namun, Syafiiyyah, Hanafiyah, dan Hanabilah, tidak memperbolehkan hal ini, alias harus melakukan niat puasa setiap malam selama bulan Ramadan.
Lantas, bagaimana niat puasa Ramadan?
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى
“Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadan tahun ini, karena Allah ta’ala”
Mengenai sifat dan ekspresi niat puasa, para fuqaha’ (ahli fikih) memiliki perbedaan pendapat pula. Fuqaha’ Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa niat cukup dalam lintasan batin saja; bahkan makan atau minum di waktu sahur karena mau berpuasa, sudah dianggap sebagai niat. Jadi, jika tidak mengucapkannya secara eksplisit, maka sudah diakui berniat. Sedangkan menurut fuqaha’ Syafi’yyah, bahwa walaupun boleh dalam lintasan batin, tetapi niat puasa itu harus jelas dan lebih baik jika diucapkan secara lisan untuk memantapkannya.
Di kalangan umat Islam Indonesia sendiri, yang mayoritas mengaku Syafi’iyyah, ada kebiasaan mengucapkan niat bersama-sama sesudah salat tarawih dan witir yang dipimpin oleh imam, agar terungkap niat secara jelas dan tidak lupa untuk niat puasa esok hari. Walaupun yang demikian tidak ditemukan di zaman Nabi, tetapi hal tersebut merupakan kebiasaan baik yang tidak bertentangan dengan syariat dan tidak perlu dipermasalahkan.
Sumber:
–
Oleh: Anu’ma Syifaus Safa’ah
–
Foto: Poster Template