Sejak adanya wabah Covid-19, pemerintah menganjurkan untuk melaksanakan seluruh aktivitas dari rumah seperti; bekerja dari rumah, belajar dari rumah, serta beribadah dari rumah. Hal ini tentu berdampak pada kegiatan-kegiatan ibadah yang biasa dilakukan sehari-hari. Misalnya, salat berjamaah. Salat berjamaah memiliki daya tarik tersendiri, yakni memiliki keutamaan 27 derajat dibanding salat munfarid (sendiri). Lalu, ketika ada anjuran untuk beribadah dari rumah, bagaimana pelaksanaan salat berjamaah itu sendiri?
Biasanya, masyarakat muslim berbondong-bondong meramaikan masjid sekadar mengikuti salat berjamaah lima waktu. Namun, pandemi virus korona ini tentu membuat sebagian orang memilih salat di rumah. Lantas, bagaimana hukumnya ketika salat berjamaah dilakukan dengan pengeras suara, sedangkan posisi imam berada di masjid sementara makmum berada di rumah masing-masing?
Dalam pelaksanaan salat berjama’ah, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, musyahadah (makmum dapat melihat [gerakan] imam). Jika shalat jama’ah tersebut dilakukan di tempat terpisah, misalnya; imam berada di masjid, sedangkan makmum berada di luar masjid, maka jarak di antara keduanya tidak boleh melebihi 144 meter. Tujuannya adalah, agar jama’ah dapat melihat langsung gerakan imam.
Syarat lainnya, yaitu makmum dapat mengakses menuju ke [tempat] imam melaksanakan salat. Namun, dalam persyaratan musyahadah al-Makmum ila al-Imam bisa juga menggunakan perantara rabith. Rabith adalah makmum yang bisa melihat atau mengetahui gerakan imam secara langsung dan makmum lainnya menjadikannya sebagai penghubung melihat atau mengetahui gerakan salat imam. Dari penjelasan para ulama sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, persyaratan penyaksian makmum tersebut berupa penyaksian penglihatan atau mata.
Dalam penjelasan lebih lanjut, Syekh Zakariya al-Anshari berpendapat, salat jama’ah yang dilakukan di dua tempat yang berbeda, misalnya, imam di suatu tempat [masjid], sedangkan makmum shalat di tempat lainnya [rumah], maka persyaratannya adalah taqarub (jarak dekat). Jarak dekat dihitung tidak lebih dari 300 dzira’ atau 144 meter. Sehingga, ketika jarak antara imam dan makmum melebihi 144 meter, maka jama’ahnya tidak sah.
Referensi
Ahmad bin Muhammad Ibn Hajar al-Haytami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Vol.II/hlm. 320.
Zakariya al-Anshari, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj,Vol. I/ hlm. 549.
Sumber: Tanya jawab dengan Ustaz Tajul Muluk
Oleh: Anu’ma Syifaus S.
Foto: rawpixel on freepik.com