Ibnu Sina adalah tokoh penting dalam bidang kedokteran dan disebutkan bahwa beliau adalah Bapak Kedokteran Pertama Dunia. Nama lengkapnya adalah Abu al-Ali Husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali Ibnu Sina atau yang di dunia barat terkenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa dekat dengan Bukhara atau yang kini masuk wilayah Uzbekistan.
Ibnu Sina sejak kecil telah memiliki intelektual yang tinggi. Pada umur 10 tahun beliau telah mempelajari al-Quran dan menghafalkannya. Selain itu, beliau adalah seseorang yang gemar belajar. Terbukti dengan kegemarannya, yaitu membaca buku sebagai sumber ilmu dan pengetahuan. Di usia remaja, beliau memiliki ketertarikan akan hal-hal yang berbau metafisika sehingga mendorongnya untuk membaca dan mempelajari buku karya Aristoteles. Akan tetapi, beliau sempat menemukan kesulitan untuk dapat memahami isi buku tersebut, walaupun sudah membacanya 40 kali. Sampai pada akhirnya, Ibnu Sina menemukan buku karya al-Farabi. Buku tersebut merupakan ulasan dari buku Aristoteles. Setelah itu, beliau mulai mempelajari falsafah dari Aristoteles dan mencoba mengembangkannya dengan pemikiran inteleknya sendiri.
Baca juga Pesantren Vs Keadilan Gender #1
Ibnu Sina mulai mempelajari ilmu kedokteran pada saat berusia 16 tahun. Tidak hanya belajar secara teoritis, beliau juga mengembangkannya dengan melakukan praktik atas teori yang telah diperoleh. Bahkan, beliau mengembara dari desa ke desa untuk mengobati orang-orang yang sakit. Dengan begitu beliau berhasil mengembangkan ilmu kedokterannya serta menemukan teori dan metode-metode baru dalam ilmu kedokteran.
Dalam pengembaraannya, Ibnu Sina tidak hanya dapat mengembangkan ilmunya di bidang kedokteran, tetapi juga pemikirannya dalam ranah kefilsafatan. Buktinya terdapat pada pemikiran-pemikiran beliau yang mencoba menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan Neo-Platonisme mengenai wujud akal dan jiwa, beliau meluruskan pemikiran Neo-Platonisme yang cenderung mempercayai Pantheisme.
Seperti halnya filsuf muslim lainnya, Ibnu Sina mengembangkan pemikiran filsafatnya dalam konteks adanya keberadaan teologi Islam. Salah satu pemikirannya mengenai jiwa adalah terbaginya jiwa antara jiwa bagi tumbuhan, jiwa pada hewan, dan jiwa pada manusia. Akal di sini dimaksudkan sebagai representasi jiwa. Akal yang akan mengarahkan agar jiwa berlaku sesuai kodrat penciptaan jiwa bagi masing-masing makhluk, sehingga tidak ada yang namanya jiwa pada hewan, justru ada pada diri manusia. Oleh karena itu, hubungan antara akal dan jiwa pasti ada di seluruh bagian dari alam semesta.
Baca juga Kisah Ibnu Sina Sembuhkan Pasien dengan Menganjurkannya Segera Menikah
Oleh: Kamar 6E
Sumber: Albab, Ulil dkk,. 2016. Ke-NU-an : Ahlussunah Wal Jama’ah. Semarang: LP Ma’arif NU Jawa Tengah
Foto: islam.nu.or.id