Sabtu malam (13/05/2023) Komplek Q mengadakan Majelis Sholawat dan Halal bihalal. Dimeriahkan hadroh dari tsamrotul muna sebagai pra acara. Acara dihadiri oleh pengasuh, para ustadz dan ustadzah Madrasah Salafiyah III beserta seluruh santri putri Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q.
Dipandu oleh Ria Audina, master of ceremony malam ini, dimulailah serangkaian acara yang diawali dengan pembacaan ayat suci al-qur’an oleh Fatkhia Lina, setelahnya penyampaian sambutan-sambutan. Sambutan yang pertama oleh Mbak Reni Wahyuni selaku Lurah Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek Q. Setelah sambutan, Mbak Reni memimpin pembacaan ikrar syawalan yang berisi tentang serangkaian permohonan maaf dengan diawali syahadat dan istighfar. Pembacaan ikrar ini diharapkan mampu melebur khilaf antara santri dan pengasuh, santri dengan ustadz, begitu juga sebaliknya.
Dilanjutkan sambutan yang kedua oleh Ustadz Agus Najib, S. Ag. selaku Kepala Madrasah Salafiyyah III. Sambutan yang terakhir dari pengasuh pondok yang diwakili oleh beliau Dr. H. M. Kholid Arif Rozaq, S.Hut., MM.
Pembacaan maulid dibaiyah dipimpin oleh para ustadz dan ustadzah Madrasah Salafiyyah III dan diiringi hadroh dan lantunan shalawat dari Tsamrotul Muna. Acara berlangsung sangat khidmat kemudian dilanjutkan pembacaan doa oleh Ustadz H. M. Ikhsanudin, M.S.I. Memasuki acara inti yakni mauidhoh hasanah oleh Ustadz Tajul Muluk, M.Ag.
Beliau menyampaikan bahwasanya fenomena hari ini itu “missing” yang dimana jika orang-orang zaman dahulu mengatakan apa yang tidak bisa mereka lakukan dan mereka berpendapat tentang hal-hal yang benar-benar diketahui. Berbeda dengan orang zaman sekarang. Sudah tidak begitu tahu, tidak pernah mencari tahu tetapi berani-beraninya mengatakan sesuatu itu luar biasa. Mengapa demikian? Karena orang zaman sekarang terjebak pada prasangka-prasangka yang ada dalam kepala mereka. Jika kita lihat dan bandingkan sekilas nampaknya lebih pintar orang zaman sekarang. Hal tersebut disebabkan karena orang zaman sekarang itu seolah-olah serba tahu, padahal pengetahuan mereka itu hanya sebatas kumpulan dari simpulan-simpulan ahli terdahulu. Mereka hanya menafsirkan apa yang mereka ketahui, apa yang mereka lihat, tanpa mereka tahu bagaimana prosesnya.
Maka dari itu, Ustadz Tajul menegaskan kepada para santri bahwa proses yang sedang dialami di pondok pesantren itu dinikmati karena semua itu bertujuan agar saat di luar nanti para santri sudah melekat terkait ilmu pengetahuan melalui pengalaman yang luar biasa. Jangan merasa sok pintar dan tidak mau belajar, jika kita hanya mengandalkan yang instan-instan saja kita akan menjadi orang yang tidak objektif. Kesempatan dan proses mencari ilmu itu harus dimanfaatkan agar apabila ilmu pengetahuan kita sudah menubuh ilmu, maka akan ada penolakan-penolakan terhadap hal-hal yang sifatnya tidak bisa diterima oleh akal.
Dalam mu’amalatul qur’an itu ada tiga tingkatan, yang pertama adalah tilawah wa qira’atan, kemudian tingkatan kedua yaitu fahman wa tafsiran, dan tingkatan yang terakhir yaitu ittiba’an wada’watan. Kita sebagai santri harus punya kemampuan tersebut sebagai barometer. Saat ini kita diberi rejeki oleh Allah berupa waktu yang lapang untuk berinteraksi dengan Al-qur’an, berinteraksi dengan ilmu pengetahuan. Puaskanlah kesempatan tersebut sembari setiap selesai melakukan itu semua kita meminta kepada Allah agar senantiasa didekatkan.
Sebagai penutup dari mauidhah hasanah, Ustadz Tajul mengajak para santri agar kita sebagai seorang santri jangan hanya menjadi “penikmat” di media sosial namun jadilah “pengamat”, jangan hanya jadi “konsumen” tetapi jadilah “produsen”, yang ikut andil menyebarkan apa yang bisa kita sebarkan. Akan berbeda hasilnya dengan yang ada di luar sana karena santri memiliki keilmuan, maka ia bertanggung jawab atas apa yang disebarkan.
Serangkaian acara telah dilalui, ditutup dengan pembacaan doa oleh Ustadz Agus Najib S.Ag.
Tradisi halal bihalal ini lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana terwujudnya persatuan di lingkungan pondok pesantren. Sebab itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif karena mewujudkan kemaslahatan bersama. Wallahu A’lam Bisshowab.
Pewarta: Sabrina Amelia
Foto: Dokumentasi Pribadi