Oleh Ust. Kholid Rozaq
Setiap bulan Ramadlan, di masjid-masjid tentulah diadakan sholat tarawih, dan masjid di pondok-pondok pesantren termasuk di dalamya. Masjid yang berada di lingkungan pondok pesantren akan lebih terasa istimewa pelaksanaan sholat tarawihnya. Keistimewaan ini dikarenakan imam tarawih membaca surat Alquran 30 juz yang terbagi dalam 28 hari, 20 hari, 7 hari bahkan khatam dalam 3 hari.
Para imam tarawih yang dipilih tentunya adalah manusia-manusia istimewa dengan tingkat hafalan yang dapat dikatakan luar biasa. Para imam membaca surat mulai Al-baqarah dan seterusnya dengan panjang ayat disesuaikan dengan jumlah hari di mana Alquran akan dikhatamkan. Semisal imam membaca rata-rata satu setengah juz setiap tarawih, maka akan khatam dalam waktu sebulan.
Begitu pula sholat tarawih yang selalu dilakukan di Masjid Jami Al Munawwir Krapyak Yogyakarta. Imam tarawihnya adalah beliau Kyai Najib Abdul Qodir. Beliau mengkhatamkan bacaan Alquran dalam sholat tarawih pada hari ke 20 bulan Ramadlan. Selanjutnya, beliau pindah menjadi imam tarawih di madrasah Huffadz bergantian dengan santri senior dengan dua kali khatam dalam waktu kurang lebih sembilan hari. Ada yang lebih istimewa lagi di Masjid Al Munawwir, ya Kyai Najib itu. Hampir tidak ada kesalahan dalam bacaan. Beliau membaca dengan “kecepatan” yang tinggi. Namun ajibnya, bacaan itu masih dapat didengar dengan jelas, baik itu makhorijul huruf nya, mad nya dan tajwidnya. Jangankan membaca Alquran, membaca hadist saja beliau bertajwid. Makhorijul huruf beliau sangat luar biasa, walaupun sekarang dengan keterbatasan hampir semua gigi sudah tanggal, tempat keluarnya huruf masih sangat jelas. Mad nya pun terukur dengan skala yang pas dengan kecepatan bacaan, begitu juga tajwidnya, semisal bacaan ghunnah yang tetap bisa disimak dengan baik. Ibaratnya mobil Mercy 5000 cc, nyaman, cepat dan gak terasa tahu-tahu sudah sampai tujuan tanpa merasakan gronjalan jalan. Bagi mereka yang sudah biasa mengaji akan dengan nyaman menyimak bacaan secepat Mercy itu dengan baik.
Daya hafal dan kecepatan pelafalan ayat-ayat Alquran oleh Kyai Najib merupakan sebuah maziyah atau keistimewaan. Namun maziyah ini semestinya tidak datang dengan serta merta turun dari langit. Menurut cerita dari santri-santri senior, Kyai Najib merasa ringan dalam melantunkan ayat-ayat Alquran setelah kurang lebih 30 tahun dalam proses riyadhoh yang terus menerus. Riyadhoh tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan hafalan agar tidak mudah atau tidak akan lupa lagi. Seperti kita melafalkan surat Al-fatihah, maka akan dengan mudah tanpa berpikir lagi kita dapat melafalkan, bahkan lepas bangun tidur sekalipun. Nah Kyai Najib ini dapat diibaratkan semua surat dalam Alquran bagaikan surat Al-fatihah, dalam mudahnya beliau melafalkan. Subhanallah.
Dalam bahasa ilmu psikologi, sesuatu yang dihafal berulang-ulang akan masuk pada Long Term Memory (LTM). LTM adalah sebuah sistem di otak kita yang berfungsi untuk menyimpan secara permanen, mengatur, dan memanggil kembali informasi-informasi diwaktu berikutnya. Seringkali informasi yang disimpan di long-term memory akan dapat kita ingat sepanjang hidup. Jika diibaratkan dengan komponen komputer, short-term memory mirip dengan RAM (Random Access Memory) yakni tempat penyimpanan data sementara sebelum diproses di CPU (Central Processing Unit), data yang tersimpan di RAM akan terhapus atau hilang tertulis ulang dengan data-data berikutnya; sedangkan long-term memory mirip dengan hard-disk yakni tempat penyimpanan permanen data. Seperti halnya otak, apapun yang di-inputkan ke sebuah komputer akan masuk dan diproses di RAM (short-term memory) tetapi tidak semua input atau hasil pengolahan akan disimpan di hard-disk (long-term memory). Proses menghafal yang berulang-ulang itulah proses memasukkan ingatan hafalan pada hard disk dalam otak kita atau masuk pada LTM.
Kembali kepada proses riyadhoh yang dilakukan oleh Kyai Najib, pengalaman penulis “ndereke’ beliau dalam waktu kurang lebih dua tahun memberikan bukti nyata betapa proses menjaga hafalan itu membutuhkan kesungguhan yang tiada henti. Setiap kali melakukan perjalanan, tidak sekalipun beliau lupa untuk nderes dalam perjalanan. Suatu kali saya ndereke beliau menghadiri pernikahan alumni di daerah Subang Jawa Barat. Dalam rombogan tersebut ada Kyai Ibrahim (dulu santri sepuh di komplek L). Sepanjang perjalanan kedua beliau ini “dremimil” mengaji Alquran dengan suara lirih namun masih bisa kita dengar kalau bacaan tersebut adalah Alquran. Bacaan tersebut hanya terhenti ketika sare (tidur) atau istirahat untuk makan dan sholat, selebihnya suara “dremimil” itu terdengar lagi. Terus sepanjang perjalanan kurang lebih 12 jam sampai lah di kota Subang. Percakapan selanjutnya adalah saling tanya antara kedua beliau yaitu antara Kyai Najib dan Kyai Ibrahim. Percakapan tersebut penulis alihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia.
Kyai Najib : “Pak Ibrahim dapet berapa?”
Kyai Ibrahim : “He he he, jenengan berapaaaaa?”
Kyai Najib : “Aku mung entuk 15.“
Kyai Ibrahim : “Saya dapet 17.”
Begitulah kira-kira (seingat penulis) percakapan antar kedua beliau sesampainya di Subang. Maksud angka-angka 15 dan 17 tersebut adalah juz Alquran. Artinya selama dalam perjalanan ke Subang beliau berdua nderes di dalam mobil. Kyai Najib nderes sampai juz 15 dan Kyai Ibrahin nderes sampai juz 17. Luar biasa. Lebih jauh Kyai Najib cerita kepada rombongan yang lain bahwa Kyai Ibrahim ini kalo nderes tidak hanya satu qiraat saja, namun qiraat sab’ah yang lainpun dibuat deresan sehari-hari. Subhanallah. Qiraat Sab’ah atau Qiraat Tujuh adalah macam cara membaca Alquran yang berbeda. Disebut Qiraat Tujuh karena ada tujuh Imam Qiraat yang terkenal masyhur yang masing-masing memiliki dialek bacaan tersendiri. Perbedaan cara membaca itu sama sekali bukan dibuat-buat, baik dibuat oleh Imam Qiraat maupun olehperawinya. Cara membaca tersebut merupakan warisan dari Rasulullah dan memang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan.
Lebih lanjut dalam percakapan tersebut, Kyai Ibrahim menceritakan ketika beliau berdua mondok di Kyai Arwani Kudus untuk tabarrukan. Selama beberapa tahun keduanya melakukan bentuk riyadhoh. Salah satu riyadhoh tersebut adalah mulai nderes Alquran selepas sholat subuh dan khatam 30 juz sekitar jam 9 pagi. Dan itu dilakukan terus menerus. Subhanallah, AllahuAkbar. Praktis beliau berdua nderes 30 juz hanya dalam waktu kurang lebih 4 jam saja. 4 jam berarti 240 menit, apabila dibagi dengan 30 juz ketemu angka 8 menit. Walhasil beliau berdua hanya butuh waktu kurang lebih 8 sampai 10 menit untuk nderes 1 juz. Lebih rinci lagi berarti satu lembar dibaca dalam 1 menit saja. Kami serombongan diam seribu bahasa dan hanya bisa membayangkan betapa luar biasa “laku” yang dilakukan oleh beliau berdua. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan daya hafal beliau berdua sangat luar biasa. Seperti mereka lah manusia-manusia yang benar-benar hamilul Quran.
Semoga tulisan yang singkat ini dapat memberi kita pencerahan dan inspirasi, terutama bagi para penghafal Alquran. Sudahkah kita melakukan riyadhoh? Sudahkah kita menjaga hafalan kita seperti yang beliau lakukan? Andaikan kita bisa meniru sekian persen saja dari riyadhoh mereka, tentulah akan menambah pengisian hafalan kita pada long-term memory di otak kita. Semoga.
Mohon maaf apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan. Terima kasih.