Kisah Khotimat #1 : Kisah Khotimat Juz ‘Amma Termuda

Diposting pada 236 views

Hujan tak terlalu deras membasahi bumi Krapyak pada malam Selasa, 21 Januari 2019. Akan tetapi, hal tersebut tak menghalangi para santri untuk melangkahkan kaki ke Musholla Barat (musbar). Sejak November, mereka telah melakukan latihan khataman. Memasuki Januari porsi latihan semakin bertambah, dari yang hanya tiga kali seminggu, menjadi enam kali dalam seminggu.

Diantara para santri yang mengikuti khataman, Shofia Nayyirotul Maghfiroh merupakan salah satu santri yang tergabung dalam Juz 30 bil hifdzi. Santri kelahiran Ponorogo ini merupakan khotimat termuda selain santri Madrasah Tahfidz Putri Anak (MTPA) yang juga akan melaksanakan khataman pada waktu yang sama. Usianya baru menginjak 13 tahun pada bulan April mendatang. Walaupun demikian, ia terpilih menjadi vocal utama bacaan pada kategori yang diikutinya. Pada proses pemilihan, ia berhasil mengalahkan beberapa kandidat yang usianya jauh di atasnya. Suara lantang dan ketepatan makhorijul hurufnya menjadikan ia terpilih secara langsung oleh pelatih (Bu Alfiatuzzuhriyah).

Shofi, begitu teman-teman biasa memanggilnya memutuskan untuk mondok di Yogyakarta beberapa saat setelah ia lulus dari MI Ma’arif Patihan Wetan Ponorogo. Sebenarnya orangtuanya sudah menyuruhnya mondok sejak ia duduk di bangku kelas 5 MI. Di dekat rumahnya terdapat pondok pesantren, orangtuanya menyarankan Shofi untuk mendaftarkan diri di sana. Akan tetapi, Shofi saat itu belum berkeinginan untuk mondok dan ia beranggapan bahwa pondok tersebut terlalu dekat. Selang beberapa waktu tumbuhlah keinginannya untuk mondok. Dalam hati kecilnya ia sudah menyimpan nama Yogyakarta untuk menjadi destinasi penimbaan ilmunya.

Setelah meminta izin kepada kedua orangtuanya, Pak Jamjuri, memberikan syarat agar ia memilih pondok pesantren di Krapyak. Berawal dari browsing seputar pondok pesantren di Krapyak, ia menemukan Komplek Q. Shofi langsung merasakan kecocokan setelah mencari informasi terkait pesantren yang didirikan oleh alm. K.H. Ahmad Warson Munawwir ini. Tanpa merasa ragu, pada Juni 2018 ia membawa barang-barangnya ke pesantren tersebut.

Baca Juga:  Sambut HSN, Santri Komplek Q Ikut Ramaikan Kirab Santri Krapyak

Awal mula di pesantren, ia mengira tak akan betah tinggal di tempat barunya. Tetapi ternyata tiga hari pertamanya ia tidak menangis. Anggapan tak akan betah berubah menjadi seolah-olah ia akan betah. Memasuki hari ke-empat, ia mulai merasakan kerinduan kepada orangtuanya di rumah, akhirnya ia menangis hingga beberapa hari kemudian.

Sebagai santri baru, ia tak langsung mengikuti kegiatan Pengajian Quran (PQ) setiap malam hari di musbar, ia hanya mengikuti sorogan kitab kepada roisah. Hal ini disebabkan ketidaktahuannya akan kewajiban melaksanakan PQ. Salah satu kru PQ sekaligus senior di kamarnya, Halawatun Nashihah memberitahu akan kegiatan PQ dan Khataman 2019. Setelah itu, ia mulai mengaji kepada roisah.

Salah satu syarat mengikuti Khataman 2019 kategori Juz ‘Amma adalah menyelesaikan hafalan Juz 30 sebanyak tiga kali. Awalnya, ia tak langsung menyetorkan hafalannya kepada roisah, ia hanya membacanya terlebih dahulu. Ia juga tak memiliki buku prestasi sebagai catatan PQ santri, alhasil ia lupa sampai mana bacaannya dan kembali mengulangi bacaan yang sudah dibaca sebelumnya. Selang beberapa waktu, ia mulai menghafal dan menyetorkannya kepada roisah. Berbekal hafalan sejak TPQ, santri yang akan mendaftar sekolah tahun ajaran depan ini dapat menyelesaikan hafalan Juz 30 sebanyak tiga kali putaran dalam waktu yang cukup singkat. Satu kali setor bisa 4-5 surat panjang dan 6-10 surat pendek.

Shofi mengaku bahwa ia sebenarnya takut untuk mengikuti Khataman. Ketakutan ini bukan tanpa alasan. Santri yang baru duduk di kelas I’dad Madrasah Salafiyah III ini takut tidak bisa menjaga apa yang sudah ia hafalkan. “Malu karena tampil di panggung dan dilihat banyak orang,” imbuhnya. Menurutnya itu adalah beban tersendiri baginya.

Baca Juga:  Mengenal Mbah Datuk, Sosok Penyebar Islam di Bali dan Banyuwangi

Kini Shofi mulai mencicil hafalan surat-surat selain Juz ‘Amma. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah awal persiapan untuk mendaftar menjadi santri tahfidz II ketika memasuki jenjang SMA mendatang.

Di usia yang masih muda, Shofi telah mengajarkan semangat menuntut ilmu. Seharusnya ia bisa menjadi cambuk bagi santri-santri lainnya yang notabenya memiliki umur lebih tua darinya untuk belajar, terutama belajar Al Quran. Semoga ia dapat menginspirasi kita semua.